Author
bird’s eye view lanskap kota Auroville (sumber gambar: land.auroville.org)

Di batas desa

Pagi - pagi 

Dijemput truk

Dihitung seperti pesakitan

Diangkut ke pabrik

Begitu seterusnya

 

Mesin terus berputar

Pabrik harus berproduksi

Pulang malam

Badan loyo

Nasi dingin

 

Bagaimana kalau anak sakit

Bagaimana obat

Bagaimana dokter

Bagaimana rumah sakit

Bagaimana uang

Bagaimana gaji

Bagaimana pabrik? Mogok?

Pecat! Mesin tak boleh berhenti

Maka mengalirlah tenaga murah

Mbak ayu kakang dari desa

 

Disedot 

Sampai pucat

 

Pantun karya Widji Thukul1

Solo, April 1986

 

Konsistensi dari tema ini membuat hati saya merasakan keraguan yang mendalam. Tidak banyak orang yang dapat menebak persis lokasi “tema” ini berada di mana - bukan, maksud saya bukan sebuah kata yang tertera persis pada puisi ini. Namun, sang presiden pun juga kurang lebih berleha-leha untuk membasmi keberadaan “tema” ini.

 

Tema tersebut adalah keluh kesah manusia. 

Kemanapun perginya keluh kesah manusia, tak ada yang tahu pasti kapan dan apa yang akan diperbuatnya. Hal yang hanya bisa kita lakukan adalah bagaimana meningkatkan kualitas peradaban manusia. 

Dalam era global warming dan juga penurunan kualitas kehidupan manusia dalam kota, setiap negara dalam dunia ini ingin mengusung sebuah konsep perkotaan yang bernama “Smart City” - sebuah tipe kota yang mungkin saja dapat menjawab semua permasalahan pada era yang memburuk ini. 

Secara general, istilah smart city merupakan sebuah area urban yang maju yang mengedepankan perkembangan ekonomi berkelanjutan dan kualitas hidup yang tinggi dengan mempunyai keunggulan dalam berbagai bidang utama; ekonomi, mobilitas, lingkungan, manusia, kualitas hidup dan pemerintahan.

Akan tetapi, pemahaman orang selalu berbeda satu sama lain. Indonesia adalah salah satu contohnya. 

“Namun saya tekankan, smart city bukan sekadar belanja teknologi. Tujuan utama smart city adalah meningkatkan pelayanan masyarakat dengan cara yang inovatif…” kata Rudiantara, Menteri Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia.2

Indonesia, dalam proses pembangunan 100 Smart City mengatakan seperti demikian. Bagaimana dengan yang lain? Negara Amerika Serikat ingin mengacung tangan dan menjawab pertanyaan.

Maybe because the way I came to smart cities was through thinking about sustainability and climate change and cities, I’ve really never been able to separate the two. For me a smart city has to be baking in the sustainability agenda to be ‘smart’…” jawab Boyd Cohen,  seorang ahli strategi perkotaan dan iklim yang bekerja dalam keberlanjutan dan pengembangan kota pintar.3 

Pada tahun 1968, bermula sebuah pengidean tipologi Smart City yang berlokasi di India. Semasa itu, banyak mahasiswa melakukan pemberontakan di berbagai bagian dalam dunia, contohnya protes mengenai perang Vietnam, gerakan ” dalam Amerika Serikat dan juga penindasan dalam negara-negara seperti Czechoslovakia. Mahasiswa tersebut ingin memberontak untuk sebuah mimpi yang belum terwujud - sebuah dunia yang penuh dengan kedaulatan dan persaudaraan.4

 

Di saat yang sama, pada bulan Februari tahun 1968, sebuah kota didirikan di India yang bernama Auroville. Dan programnya berkata seperti demikian:

Sebuah tempat yang tidak dimiliki siapa pun

Sebuah tempat tanpa hierarki yang formal

Sebuah tempat di mana uang tidak menjadi tuan yang berdaulat

Sebuah tempat penuh dengan kebebasan dan persaudaraan4

 

Sebelum Auroville didirikan, banyak kota di India termasuk Delhi sudah mempunyai tingkat polusi yang tinggi, sistem-sistem transportasi yang kurang fungsional dan degradasi kualitas kehidupan manusia secara general. Lalu, ada dua orang yang bernama Sri Aurobindo dan “Mother” yang menginginkan sebuah perubahan mengenai kota-kota ini di India. Mereka akhirnya ingin melakukan sebuah eksperimentasi – suatu “sandbox” yang ingin mereka coba lakukan.5

Dengan “sandbox” ini, mereka dapat melakukan banyak percobaan tanpa gangguan dari pemerintah kota. Sebuah kota percobaan untuk dijadikan contoh yang unggul bagi kota-kota sekitar – baik dari percobaan sistem transportasi, sistem edukasi, ekonomi hingga ke pengolahan tanah dan makanan - dan bahkan bagi dunia.5

Berbeda dengan apa yang dikatakan dunia mengenai sebuah “smart city”, Auroville tidak ingin disebut seperti demikian, melainkan, sebuah “conscious city”.6

Jika Auroville ingin dikatakan sebagai smart city, maka ia merupakan “smart city” yang mengikuti filosofi “human-centered”, di mana “human unity” ingin dijadikan suatu hal yang nyata. Hal ini dapat dilakoni orang-orang di sana dikarenakan memikirkan aspek “spiritual” di atas “material”.6

Beberapa hal yang membuat Auroville menjadi “smart city” adalah adanya smart agriculture (mutualisme antara manusia dengan lahan), smart responsive systems (penggabungan antara pikiran manusia dengan teknologi), multidisciplinary medicine system (budidaya pengobatan kesehatan manusia dalam berbagai aspek), dan pemakaian material yang berkelanjutan yakni tanah. 

 

Pertama, telah lama sejarah panen dalam bidang agrikultur dicemari oleh penggunaan zat-zat kimia agar dapat bertumbuh “lebih baik”. Namun, tidak diketahui bahwa sebenarnya, metode ini merusak kualitas tanah, sehingga tanah yang lebih gersang bermunculan. Tak hanya demikian, “water table” pada lapisan bawah tanah juga semakin rusak.7

 

Water table menjadi kurang stabil akibat adanya saltwater dari laut dan penggunaan air yang berlebihan oleh bangunan-bangunan diatas tanah

Water table menjadi kurang stabil akibat adanya saltwater dari laut dan penggunaan air yang berlebihan oleh bangunan-bangunan diatas tanah

(gambar diambil dari buku “Auroville: Smart City of Another Kind”)

Dalam hal ini, Auroville mencoba untuk mengembangkan sebuah agrikultur yang regeneratif, dimana tidak hanya ada produksi pangan, tetapi warga juga perlu menjaga kesuburan tanah. Satu metode yang digunakan adalah memperhatikan persentase air yang dikirim ke “water table” dan yang dipompa kembali untuk kegunaan agrikultur. Dengan hal ini, mereka dapat mencari cara untuk menghemat penggunaan air pada bagian tanah agar tanah masih lembab dan subur.7

Metode kedua yang digunakan adalah “memberi makan” tanah. Mereka menggunakan biomass yang bisa didapat dari tinja manusia dan hewan setelah melewati proses pirolisis. Kemudian, menggunakan “pupuk hijau” yang terdiri dari tanaman-tanaman seperti, millet lokal, gliricidia, bunga matahari Meksiko, sesbania, dan indigos. Dengan demikian, ini akan menjaga kestabilan ekosistem.8

Menariknya, aksi pembajakan dedaunan di dasar hutan juga tidak diperbolehkan. Pada saat pohon-pohon menjatuhkan daunnya, akan terbentuk suatu “sampah hutan” yang akan melewati proses dekomposisi oleh fauna sekitar. Tanah yang “hidup” adalah campuran antara lingkungan sekitar dengan makhluk hidup seperti cacing tanah, kumbang dan siput yang akan membentuk sebuah kesatuan harmonis yang bekerja sama secara baik, seperti sel dalam tubuh.8

 

Kedua, Auroville juga mempunyai “smart responsive systems” (gabungan antara pikiran manusia dengan teknologi). Elemen ini saya ingin perjelas melalui beberapa kasus. 

Kasus pertama adalah banyaknya tiang listrik TNEB (Tamil Nadu Electricity Board) dan transformator outdoor yang memperburuk pandangan di jalanan kota. Kasus seperti ini juga dibahas pada rencana perancangan kota Tokyo 2020, yakni kurangnya estetika jalanan secara visual. Solusi yang diberikan dalam permasalahan ini adalah menyimpan saluran listrik dibawah tanah.9

 

 Tiang listrik dan transformator yang berada di atas tanah juga mempunyai probabilitas tinggi untuk terkena bencana seperti angin topan. Di gambar tersebut contohnya, tiang listrik terkena badai siklon dengan kecepatan 120 km/jam di daerah pantai Cuddalore-Puducherry pada Desember 30, 2011

Tiang listrik dan transformator yang berada di atas tanah juga mempunyai probabilitas tinggi untuk terkena bencana seperti angin topan. Di gambar tersebut contohnya, tiang listrik terkena badai siklon dengan kecepatan 120 km/jam di daerah pantai Cuddalore-Puducherry pada Desember 30, 2011

(gambar diambil dari buku “Auroville: Smart City of Another Kind”)

Biasanya, ketika mengunjungi kota-kota, anda akan melihat transformator distribusi yang besar. Namun. yang mereka lakukan adalah menembus distribusi “high-tension” lebih dalam ke fabrik urban dan menggunakan transformator distribusi yang kecil dalam jumlah yang besar - hal ini akan berakibat sedikitnya kehilangan energi dan penurunan voltase yang rendah.7

Kasus yang kedua adalah sebuah sistem sumber energi berkelanjutan yang efektif dan efisien pada skala kota. 

Pada perancangan kota Auroville, mereka ingin menggunakan sistem fotovoltaik - sebuah metode konversi energi solar menjadi energi listrik - atap solar pada beberapa bangunan utama (e.g. kluster balai kota yang terdiri dari Gedung perkantoran Auroville Foundation (15 kW), Gedung perkantoran SAIIER (10 kW), atap ruang listrik dibelakang Kafe Morgan (10 kW)) sebagai pusat sumber energi satu kota Auroville.10

Jika titik-titik pusat pada beberapa bangunan utama ini dihubungkan ke sistem distribusi listrik Auroville, sewaktu mereka menghasilkan lebih banyak energi solar daripada apa yang dikonsumsi, maka mereka akan mengekspor energi berlebihan ini ke sistem distribusi listrik Auroville lagi. Energi listrik berlebihan ini dapat digunakan oleh area-area residensial sekitar oleh karena sifat listrik yang mencoba untuk mencari rute terdekat. Dengan demikian, kabel listrik ini tidak hanya digunakan untuk konsumsi energi (seperti bagi area residensial), tetapi juga untuk distribusi energi (seperti alokasi energi listrik berlebihan dari titik-titik pusat kepada area residensial).10

Secara pengaplikasian, mereka menggunakan teknologi ini dalam proyek-proyek pemerintah India, yaitu sistem “group net-metering” dan “virtual net-metering”.10

Dalam sistem “group net-metering”, suatu bangunan dapat membagi energi solar dengan bangunan lainnya apabila kedua bangunan tersebut mempunyai jaringan servis koneksi dengan pusat jaringan yang sama. Misalnya, sebuah perpustakaan – yang terhubung dengan pusat jaringan bernama Sri Aurobindo Ashram –  mempunyai atap solar yang menghasilkan 30 kW, namun ia hanya menggunakan 3 kW. Maka, jika dihubungkan dengan peraturan “group net-metering”, bangunan yang juga terhubung dengan pusat jaringan Sri Aurobindo Ashram, misalkan, Ashram Nursing Home, bisa mendapat surplus energi solar dari perpustakaan tersebut. Dalam istilah energy (kwH), kelebihan energi ini akan tertulis sebagai “kredit” dalam tagihan energi Ashram Nursing Home.10

Sistem “virtual net-metering” juga menggunakan teknik yang sama. Misalnya, Anda hidup di sebuah apartemen. Anda tidak mempunyai atap personal, karena atap apartemen umum bagi semua penghuni. Lalu, seorang developer meletakkan sebuah atap solar dengan energi 500 kW di sebuah area jauh dari premis apartemen, dan Anda berpartisipasi pada pembiayaannya, 1% secara finansial. Dengan begitu, 1% dari energi yang dihasilkan akan tertulis sebagai kredit dalam tagihan Anda – seluruh keuntungan sebuah sistem atap solar ada di tangan Anda.10 

 

Kasus ketiga adalah membuat sebuah sistem yang dapat terintegrasi hampir kepada berbagai aplikasi (cadangan air, monitor energi bangunan dan sistem solar, kecil maupun sedang ukurannya) dan memonitor data namun juga meng-kontrol sekaligus menstabilkan output data sesuai dengan kondisi on-site sebenarnya.11

Teknologi tersebut disebut Wattmon yang dibuat oleh seorang bernama Akash Heimlich. Wattmon terdiri dari sebuah “datalogger” (alat untuk mengkoleksi informasi dari lingkungan sekitar) dan sebuah “inverter”, alat yang dapat mengumpul data dan mengubahnya menjadi wujud yang masih dapat dimengerti orang non-teknikal, yakni dalam bentuk grafik. Proses ini menimbulkan sebuah istilah yang bernama “remote monitoring and control”.11

 

Perangkat Wattmon dapat menerima data dari suatu lingkungan dan sekaligus mengkontrol lingkungan tersebut. Hal ini dapat mempermudah pekerjaan manusia dalam memonitor suatu lingkungan seperti perkebunan hidroponik, dalam perihal mengetahui kapan tanaman perlu air, mengkontrol suhu radiasi yang diterima oleh tanaman dan lain-lain

Perangkat Wattmon dapat menerima data dari suatu lingkungan dan sekaligus mengkontrol lingkungan tersebut. Hal ini dapat mempermudah pekerjaan manusia dalam memonitor suatu lingkungan seperti perkebunan hidroponik, dalam perihal mengetahui kapan tanaman perlu air, mengkontrol suhu radiasi yang diterima oleh tanaman dan lain-lain

(gambar diambil dari buku “Auroville: Smart City of Another Kind”)

Dalam hal pengaplikasian, tim Akash Heimlich pernah menggunakan teknologi Wattmon pada atap solar dalam kantor mereka. Dengan penggunaan grafik dari Wattmon, mereka dapat melihat seberapa banyak daya baterai yang digunakan. Sistem ini juga mati secara otomatis jika daya solar sudah terpenuhi, lalu, menyala lagi jika daya baterai sudah rendah – semua proses ini dapat dilihat secara online. Ini yang dinamakan sistem “smart charging”.11 

Ketiga, mereka mempunyai sistem medikasi secara multi-disipliner. Pada masa-masa yang akan mendatang, dunia ini akan menimbulkan lebih banyak penyakit yang bervarian dan kompleks daripada sebelumnya. Demikian, diperlukan suatu komunikasi yang utuh diantara banyak bidang medikasi.12

Dalam sebuah rumah sakit yang bernama Sante, sekumpulan terapis termasuk allopathic, ayurvedic, obat TiongHoa (dengan akupuntur dan shiatsu), perhatian yang berelasi terhadap kelainan psikologi (psikologi, hipnotis, konsultasi keluarga) dan lainnya telah bergabung untuk mengaplikasikan “multidisciplinary medicine”.12 

 

Salah satu terapi diantara pengobatan multidisipliner adalah Watsu. Terapis akan membantu pasien berelaksasi dalam air hangat sambil menggerakkan, merentangkan dan memijat badan pasien

Salah satu terapi diantara pengobatan multidisipliner adalah Watsu. Terapis akan membantu pasien berelaksasi dalam air hangat sambil menggerakkan, merentangkan dan memijat badan pasien

(gambar diambil dari buku “Auroville: Smart City of Another Kind”)

Terapi yang bernama Ayurveda fokus terhadap kesehatan fisik dan emosional seperti membersihkan tubuh dari penyakit. Salah satu cara yang diterapkan kepada pasien adalah dengan pijat seluruh badan

Terapi yang bernama Ayurveda fokus terhadap kesehatan fisik dan emosional seperti membersihkan tubuh dari penyakit. Salah satu cara yang diterapkan kepada pasien adalah dengan pijat seluruh badan

(gambar diambil dari buku “Auroville: Smart City of Another Kind”)

Semua ahli dapat terbuka dan memahami satu sama lain, dan menggunakan pengetahuan tersebut untuk menolong pasien dalam proses pemulihan. Namun, perlu diketahui bahwa setiap dokter memahami limitasi daripada kedisiplinan diri mereka masing-masing.12

 

Dan yang terakhir, mereka mencoba untuk menggunakan material berkelanjutan, berkarbon rendah dan rendah harga, yakni tanah. 

Sangat ironis jika Auroville menggunakan material tanah yang disebut “low-tech”, yang memerlukan sedikit sekali pengetahuan dalam memakainya. Namun,  karena sebuah “smart city” pada era ini perlu menjadi solusi bagi permasalahan “climate change”, maka konstruksi tanah menjadi sebuah solusi unik dan kontekstual.13 

Beberapa bangunan di Auroville mengupayakan integrasi antara material tanah dengan bahan lain seperti semen untuk membuat elemen-elemen bangunan. Di gambar tersebut mereka menggunakan tanah untuk batu bata sebagai dinding, dan campuran semen dan tanah untuk membuat kolom bangunan

Beberapa bangunan di Auroville mengupayakan integrasi antara material tanah dengan bahan lain seperti semen untuk membuat elemen-elemen bangunan. Di gambar tersebut mereka menggunakan tanah untuk batu bata sebagai dinding, dan campuran semen dan tanah untuk membuat kolom bangunan

(gambar diambil dari buku “Auroville: Smart City of Another Kind”)

Masa depan dari perkembangan berkelanjutan juga berarti menghasilkan sebuah kesadaran yang lebih dan akuntabilitas terhadap darimana asal material bangunan dan pengaruh-pengaruh yang diberikan kepada lingkungan.13  

Penggunaan material lokal secara maksimal akan meminimalisir biaya transportasi, sembari menyediakan kesempatan-kesempatan dalam memperkenalkan fitur lanskap ekologikal. Pada masa depan, bangunan-bangunan perlu mematokkan kriteria desain dengan konteks, iklim dan ekologi – tidak hanya untuk bangunan, tetapi juga terhadap seluruh lingkungan binaan, dengan pertimbangan terhadap sumber daya yang berkelanjutan dan pengelolaan lahan.13 

Organisasi Auroville Earth Institute (AEI) berspesialisasi dalam bangunan-bangunan dengan tingkat jejak karbon dan emisi dalam konstruksi yang rendah – dimana bahkan seringkali lebih hemat energi daripada sebuah bangunan berstandar LEED (Leadership in Energy and Environmental Design) yang berperingkat emas.13  

Pada beberapa workshop mereka mengenai material tanah, mereka mengajarkan beberapa teknik pembangunan yang kerap berhubungan dengan sifat materialnya tersendiri. Contohnya, dengan adanya tanah yang sudah berupa bentuk batu bata yang lebih solid, maka dapat ditelusuri lagi teknik pembuatan struktur dome, vault dan arch.13

 

Workshop di Auroville Earth Institute mengajarkan berbagai teknik membangun dengan batu bata, yakni berbagai tipe arch seperti pointed arch dan semi-circular arch dan berbagai tipe dome seperti corbelled dome dan cloister dome

Workshop di Auroville Earth Institute mengajarkan berbagai teknik membangun dengan batu bata, yakni berbagai tipe arch seperti pointed arch dan semi-circular arch dan berbagai tipe dome seperti corbelled dome dan cloister dome

(gambar diambil dari buku “Auroville: Smart City of Another Kind”)

Salah satu alat produksi compressed earth blocks di Auroville Earth Institute

Salah satu alat produksi compressed earth blocks di Auroville Earth Institute

(gambar diambil dari buku “Auroville: Smart City of Another Kind”)

Pada akhirnya, sekali lagi, adakah yang mau mengacungkan tangan untuk menjawab pertanyaan ini?

“Apa itu Smart City?”

Auroville, dengan sigap, berpendapat bahwa dirinya merupakan Smart City, dan bahkan melebihi.

"Melebihi, kau bilang? Bukannya kalian sudah menjelaskan panjang lebar?" dunia menggaruk-garuk kepalanya sambil mengangkat alis.

"Iya," sahut Auroville. "Smart City yang kami kemukakan lebih menyentuh aspek manusiawi, walaupun tidak juga melupakan aspek teknologinya. Misalkan, manusia dapat menjalani hidup yang lebih makmur dengan keuntungan decision-making yang lebih demokratis, melalui teknologi dan pengetahuan dalam smart agriculture (mutualisme antara manusia dengan lahan) dan teknologi dalam smart responsive systems (penggabungan antara pikiran manusia dengan teknologi). Selain itu, kami juga mementingkan aspek kesehatan fisik maupun mental manusia melalui multidisciplinary medicine system (budidaya pengobatan kesehatan manusia dalam berbagai aspek) yang membudidayakan tenaga kerja manusia agar mengangkat aspek manusiawinya. Namun ada satu hal lain yang membuat tipologi Smart City kami menjadi Smart City yang sebenarnya."

"Hmm.. Kalau begitu apa?"

"Smart City kami menggunakan material yang tidak diekspor, namun menggunakan material lokal dan berkelanjutan, yaitu tanah. Material ini juga kami pakai karena aspek spiritual yang kami percayai dalam budaya dan kultur. Dengan begitulah, adalah berbagai alasan mengapa kami merupakan tipologi Smart City yang sebenarnya."

 

 

_____________________________________________________________________


1Galeri Rupa Lentera di Atas bukit. 2013. Kumpulan Puisi Wiji Thukul tentang Kaum Buruh. https://id-id.facebook.com/notes/galeri-rupa-lentera-di-atas-bukit-kerjapembebasan/kumpulan-puisi-wiji-thukul-tentang-kaum-buruh/592054657471941/ (diakses tanggal 7 Mei 2020)

2Shelavie, Tiara. 2019. Memasuki Tahun ke-3, Gerakan Menuju 100 Smart City Pilih 25 Kota Kabupaten untuk Proses Pendampingan. https://www.tribunnews.com/nasional/2019/05/15/memasuki-tahun-ke-3-gerakan-menuju-100-smart-city-pilih-25-kotakabupaten-untuk-proses-pendampingan (diakses tanggal 7 Mei 2020)

3Maxwell, Lily. 2019. Boyd Cohen on the Future of Smart Cities: Sustainability, Technology & Citizen-Centricity. https://hub.beesmart.city/strategy/en/smart-city-leaders/boyd-cohen-interview-future-of-smart-cities (diakses pada tanggal 7 Mei 2020)

4Auroville Press Publishers. 2018. Auroville: Smart City of Another Kind. (1):25 - 26

5Auroville Press Publishers. 2018. Auroville: Smart City of Another Kind. (1):11 - 26

6Auroville Press Publishers. 2018. Auroville: Smart City of Another Kind. (1):14

7Auroville Press Publishers. 2018. Auroville: Smart City of Another Kind. (1):52 - 61

8Auroville Press Publishers. 2018. Auroville: Smart City of Another Kind. (1):38 - 47

9Auroville Press Publishers. 2018. Auroville: Smart City of Another Kind. (1):69 - 75

10Auroville Press Publishers. 2018. Auroville: Smart City of Another Kind. (1):76 - 84

11Auroville Press Publishers. 2018. Auroville: Smart City of Another Kind. (1):85 - 9

12Auroville Press Publishers. 2018. Auroville: Smart City of Another Kind. (1):134 - 138

13Auroville Press Publishers. 2018. Auroville: Smart City of Another Kind. (1):215 - 221






comments powered by Disqus
 

Login dahulu