
Saya mulai memperhatikan bandara sejak bertemu dengan Ms. Ji, seorang guru dari Beijing. Ms. Ji sering berkunjung ke Indonesia. Ia sangat menyukai Bandara Udara Internasional Soekarno-Hatta, terutama terminal 2 yang menurutnya dapat menerjemahkan budaya Indonesia dengan baik. Banyaknya penghijauan dan penggunaan material kayu menambah kesukaannya akan terminal 2. “Suasananya hangat dan menyenangkan, tidak seperti Terminal 3 di Beijing yang dingin. ” kata Ms. Ji. Saya tertegun karena apresiasi saya terhadap Bandara Soekarno-Hatta tidak pernah setinggi itu.
Lalu saya mereka kembali kenangan akan Terminal 2 Bandara Soekarno Hatta. Kenangan yang terjadi malam hari pada pertengahan tahun 1999. Begitu keluar dari gang penghubung antara Boeing 737 dengan ruang tunggu terminal 2F, saya memandang para calon penumpang di ruang tunggu. Saya iri dengan mereka yang baru saja memulai perjalanan sementara saya baru saja mengakhirinya. Kecemburuan semakin bertambah ketika saya dan penumpang lainnya terpaksa harus menyeret barang bawaan menuruni tangga yang membelah di tengah ruang tunggu.
Plafon kayu yang rendah dan berwarna gelap membuat suasana hati semakin muram. Walau bila saya berpikir positif, material kayu dan ruang-ruang terbuka membuat suasananya mirip seperti resort-resort tropis. Namun sayang, saya jarang sekali bisa berpikir positif, terutama bila tangga-tangga tadi baru saja menyiksa dengan beban delapan kilogram yang saya bawa sendiri.
Selepas koridor resort tropis tersebut hadirlah kumpulan repetisi yang membosankan dengan waktu yang lama. Sayamenyeret koper di atas serangkaian travelator yang tidak ada habisnya. Satu-satunya hiburan menaiki travelator itu adalah deretan iklan-iklan Fujifilm atau Kodak dengan warna cerah. Saat itu masa kejayaan mereka, masa ketika kita masih memotret dengan rol film dan selfie hanyalah sebuah kata tanpa makna. Mereka masih punya kuasa untuk mengisi semua iklan di sepanjang travelator tanpa ujung. Kita pun akan disuguhkan semacam kartun dengan si model iklan yang duduk, berdiri, bersandar, lalu duduk, berdiri, bersandar, lalu duduk lagi, berdiri dan bersandar lagi dengan senyum sumringah yang sama.
Setelah melihat wajah-wajah yang begitu ceria, saya semakin tertekan di bagian imigrasi, memandang wajah para petugas yang tidak pernah ramah menyambut kepulangan saya ke tanah air. Dari bagian imigrasi, saya menuju pada repetisi terakhir dengan durasi paling lama, yaitu repetisi koper yang diputar ulang minimal 3 kali. Akhirnya perjalanan ini akan ditutup oleh semburan udara bersuhu tinggi yang mengenai muka saya begitu pintu otomatis terakhir terbuka. Selamat datang di Jakarta.
Paul Goldberger, kritikus arsitektur pemenang Pulitzer, dalam sebuah artikel di situs CNN, mengatakan bahwa bandara diciptakan sebagai pintu masuk yang dramatis. Namun, seringkali perencanaan terminal kedatangan yang merupakan pintu masuk itu malah tidak sebagus terminal keberangkatannya. Karena alasan operasional, terminal keberangkatan selalu mendapatkan porsi bangunan yang lebih menguntungkan, yaitu lantai atas dengan plafon sangat tinggi, rangka atap yang diekspos, dan jendela-jendela kaca besar dengan pemandangan pesawat yang tinggal landas. Menurutnya, terminal kedatangan sebuah bandara lebih menyerupai sebuah jalur keluar, seperti sirkulasi servis, yang seolah memaksa kita turun ke level bawah untuk mengambil bagasi.
Tapi akhirnya saya menemukan satu bandara yang bisa menawarkan pengalaman kedatangan dengan intensitas yang sama menakjubkannya dengan pengalaman keberangkatan. Bandara itu adalah terminal 3 Beijing International Airport yang menurut teman saya “dingin dan kurang menyenangkan”.
Terminal 3 Beijing International Airport adalah salah satu proyek ambisius Olimpiade 2008. Oleh sebab itu, perannya sebagai pintu masuk negeri Cina menjadi semakin penting. Demi kebanggaan dan harga diri bangsa berpenduduk terbanyak di dunia ini, Norman Foster, arsiteknya, berjanji membuatkan seekor naga, makhluk mitologi yang sangat dihargai dalam budaya negeri Cina.
Begitu menginjakkan kaki di terminal kedatangan di T3 Beijing International Airport, tiba-tiba saya merasakan transisi dari kabin pesawat yang padat menjadi terminal yang terang dan lega. Pencahayaan alami ini tidak terlepas dari peran 155 buah modul skylight pada langit-langit. Saat memperhatikan plafonnya, saya mendapati bahwa dari balik kisi-kisi metal, samar terlihat struktur rangka berwarna merah. Komposisi garis pada plafon semakin menarik karena berada pada lapis-lapis yang berbeda. Bila diperhatikan sambil berjalan, lapisan-lapisan garis itu akan terlihat bergerak, saling bertumpang tindih. Efeknya membuat kita bisa merasa melihat seekor naga baru saja melesat di atas.
Tidak seperti bandara Soekarno Hatta, terminal kedatangan ini terletak di lantai 3. Penumpang yang tiba akan langsung diarahkan ke bagian imigrasi pada level yang sama. Setelah itu, mereka baru turun ke lantai 2 dengan eskalator. Di lantai 2 ini, kita akan bertemu dengan para calon penumpang selanjutnya, karena di lantai inilah terminal keberangkatan berada. Bila di terminal 2 Soekarno Hatta saya sering merasa tidak rela saat harus turun ke area pengambilan bagasi dengan disaksikan oleh para calon penumpang di sebelah kiri dan kanan, di sini, kontak terdekat antara saya dengan para calon penumpang hanya sebatas selayang pandang berjarak 20 meter yang terhalang dengan aneka ruangan, eskalator, dan lift. Selain itu, tempat pengambilan bagasi dan terminal keberangkatan sama-sama terletak di lantai 2. Di sini, saya tidak merasa dianak-tirikan.
Di level kedua ini, penumpang bisa menggunakan automated people mover (APM), yaitu semacam kereta listrik tanpa masinis yang mampu mempersingkat perjalanan menuju tempat pengambilan bagasi menjadi hanya 2,5 menit. Tetapi saya memilih untuk menggunakan travelator, menikmati bangunan ini dengan perlahan, mengamati setiap pergerakan yang terjadi pada elemen bangunan yang sebenarnya sedang diam.
Di sebelah kiri travelator adalah deretan kolom dari pipa baja berwarna jingga. Melewati deretan kolom ini, saya teringat pada sebuah pengalaman masa kecil, yaitu ketika saya berada dalam mobil yang melaju dan mengira bahwa pohon-pohon di luar itu juga sedang bergerak. Demikian halnya kolom-kolom tersebut. Asosiasi dengan ingatan sewaktu kecil membuat saya merasa telah akrab dengan keadaan sekitar. Saya begitu menikmati ketika satu per satu bayangan dari “pohon-pohon jingga” itu menerpa wajah saya.
Melamunkan pohon-pohon yang bisa bergerak sendiri sebenarnya adalah tindakan berbahaya. Terutama bila kita berada di tempat asing yang membutuhkan perhatian penuh agar tidak tersesat. Namun di sini Foster berhasil menciptakan sebuah sistem yang logis dan sederhana sehingga bangunan itu sendiri yang mengarahkan ke mana kita harus menuju. Struktur rangka yang dicat dengan 12 warna gradasi merah, jingga, dan kuning ternyata dimaksudkan agar pengunjung dapat mengenali arah. Area kedatangan dan keberangkatan juga dipisahkan oleh jalur-jalur sirkulasi sehingga penumpangnya tidak akan tercampur.
Meskipun tidak memperhatikan papan penunjuk arah, saya berhasil mencapai tempat pengambilan bagasi dan menemukan koper tua saya dengan cepat. Dengan kecepatan ban berjalan 10 meter/detik, sistem pengaturan bagasi di bandara ini hanya membutuhkan waktu 4,5 menit untuk membawa sebuah bagasi dari pesawat ke salah satu dari 17 ban berjalannya.
Sebenarnya, saya tidak akan merasa keberatan bila ternyata harus menunggu lama untuk mengambil bagasi. Saya justru merasa sedih karena harus secepat itu meninggalkan bangunan ini. Ketika saya keluar dari terminal 3 untuk menunggu kendaraan, saya malah mendapatkan kejutan terakhir – kanopi coklat keemasan yang membentang jauh ke depan dan ke samping di peron tempat menunggu bis. Kita hanya dapat melihat lengkungannya yang indah, namun tidak bisa melihat ujungnya. Saya mulai menduga bahwa mungkin kanopi emas ini sebenarnya adalah sirip panjang seekor naga.
Meskipun secara ruang, Terminal 3 Beijing International Airport ini memang memiliki keunggulan, namun kedua pengalaman tentang bandara di atas memang sangat subjektif dan dipengaruhi oleh suasana hati. Apa yang saya rasakan tentang Terminal 2 Bandara Soekarno-Hatta sangat dipengaruhi oleh perasaan “pulang” kepada rutinitas yang monoton. Sementara yang saya alami di Terminal 3 Beijing adalah perasaan “datang” pada sebuah petualangan baru di negeri asing. Kita memang jarang menganggap bandara kita sendiri sebagai objek yang menarik. Bahkan di dalam ruang tunggu terminal keberangkatannya, kita pun terlalu sibuk dengan pikiran kita sendiri – apakah kita sudah memesan hotel yang tepat? Apakah kita sudah membawa uang yang cukup? Ke mana saja objek wisata yang akan kita kunjungi?
***
Pada suatu pagi di Bulan Agustus 2013, saya kembali menjalani jalur yang sama dengan yang saya alami pada 14 tahun yang lalu, sebuah prosesi yang sering saya anggap membosankan. Kali ini, saya mencoba memperhatikan dengan lebih seksama kisi-kisi kayu berwarna gelap, plafon yang sudah mulai dimakan usia, pot-pot tanaman yang terlihat seperti plastik. Tapi semua itu tidak lagi penting karena saya tahu, saya sudah pulang.