
Pada tahun 2012 komikus asal Amerika bernama Chris Ware menerbitkan komik berjudul Building Stories. Selain mengemparkan, komik tersebut memicu banyak perdebatan karena format tampilan produk, serta isi ceritanya tidak biasa.
Dari segi tampilan, ia hadir dalam sebuah kotak berukuran 29.7 x 6.5 x 42.5 cm. Di dalamnya terdapat 14 bundel terpisah tanpa ada petunjuk mengenai urutan atau cara membaca. Setiap bundel memiliki format ukuran dan bentuk yang berbeda antara lain: komik strip, majalah, booklet, surat kabar, dan pamflet. Selain menggunakan panel-panel konvensional, komik ini memanfaatkan gambar-gambar arsitektural (seperti denah, tampak, potongan, dan aksonometri) dan inforgafis dalam bercerita.
Gambar 1. Sampul depan dan belakang kotak, serta keempat belas bagian terpisah. Chris Ware membutuhkan waktu kurang lebih 10 tahun untuk menulis Building Stories. Pada prosesnya, komik tersebut diterbitkan secara terpisah dan berkala di berbagai majalah dan surat kabar (Acme Novelty Library #18 (2007), The New Yorker, Nest Magazine, Krames Ergot, The Chicago Reader, McSweeney’s iPad apo, dan The New York Times Magazine). Pada tahun 2013 komik ini dianugerahi Eisner Award (sejenis piala Oscar untuk komik) dalam empat kategori sekaligus: best design, best lettering, best writer-artist, dan best album.
Dari segi cerita, komik ini berkisah tentang lima penghuni sebuah bangunan apartemen di Chicago dengan kisah hidupnya masing-masing yang saling bersinggungan. Pertama, seekor lebah yang tinggal di taman di depan apartemen tersebut; kedua, ibu tua pemilik apartemen yang hidup di apartemen tersebut sejak lahir; ketiga, seorang mahasiswi sekolah seni penyewa apartemen yang kaki kirinya diamputasi; serta keempat dan kelima, sepasang suami istri penyewa apartemen yang hidupnya tidak bahagia. Cerita tentang bagaimana apartemen ini mewadahi interaksi kelima karakter di atas menyorot isu-isu terkait humanitas yang sering dianggap banal dan terlalu gelap untuk dibicarakan, misalnya tentang hidup yang kesepian, ketergantungan hidup terhadap orang lain, dan trik-trik kotor dalam mempertahankan pernikahan. Penggambaran gelapnya isu-isu tersebut menjadi unik karena fokalisasinya dilakukan melalui lebih dari satu perspektif. Akibatnya, sebuah cerita yang sama bisa diceritakan beberapa kali berdasarkan sudut pandang karakter yang berbeda.
Gambar 2. Ketiga panel ini menceritakan kegelisahan si istri akan hubungannya dengan si suami.
Gambar 3. Panel-panel ini memperlihatkan bagaimana si suami, meskipun kesal terhadap si istri, justru pada akhirnya mengkhawatirkan istrinya tersebut. Si istri pun, meskipun tidak bisa tidur karena gelisah, tetap bersikap acuh tak acuh terhadap suaminya.
Ada dua perdebatan perihal komik ini. Yang pertama, banyak kritikus yang mempertanyakan bagaimana komik ini harus dinamai. Pertanyaan ini muncul karena ekplorasi bentuk komik, sentralnya penggunaan infografis, serta gambar-gambar arsitektur. Jika dalam buku legendaris terbitan tahun 1992, Understanding Comics, Scott McCloud mendefinisikan komik sebagai, “juxtaposed pictorial and other images in deliberate sequence, intended to convey information and/or produce an aesthetic response in viewer,” jelas karena formatnya yang demikian komik ini tidak menerapkan urutan membaca yang konvensional. Lantas, apakah ia dapat disebut komik?
Perdebatan kedua adalah antara para kritikus dan Chris Ware. Secara terpisah, para kritikus menyampaikan empat alasan mengapa komik ini adalah komik tentang arsitektur. Pertama, bangunan apartemen di Chicago merupakan tempat berlangsungnya hampir semua kejadian dalam komik; ia menjadi benang merah dari keseluruhan cerita. Kedua, dengan memberikan porsi bagi bangunan apartemen untuk menyuarakan sendiri memori dan pikirannya, komik ini mengangkat arsitektur menjadi setara dengan subjek-subjek (manusia) lainnya. Ketiga, penyajian cerita dalam bentuk infografis dan gambar arsitektur membuat proses membaca komik seakan seperti membaca diagram arsitektur. Terakhir pengalaman membaca tersebut dapat dikatakan analogis dengan pengalaman memasuki dan bermanuver di dalam sebuah bangunan arsitektur, di mana pembaca mengalami setiap ruang satu per satu dan pada akhirnya menginterpretasi sendiri narasi dari keseluruhan komik tersebut. Sebaliknya, menanggapi kritik ini, Chris Ware -melalui wawancara yang digalang oleh Melanie van der Hoorn untuk penelitiannya dalam buku Bricks and Balloon- mengatakan bahwa penggunaan bangunan dalam komik ini hanyalah untuk melayani cerita. Ia menegaskan bahwa esensi komik ini adalah perihal memori.
Gambar 4. Gambar aksonometri terpotong digunakan untuk menampilkan bangunan apartemen itu sendiri dalam menceritakan memori sepanjang masa hidupnya. Setiap ruang dalam bangunan menjadi panel dalam halaman komik ini.
Untuk memahami dan meluruskan perdebatan ini, saya meminjam ilmu naratif (narratology). Mieke Bal pada tahun 1975 mengajukan sebuah cara memahami naratif, yaitu dengan meganalisis narasi berdasarkan dua lapisan, yaitu lapisan isi (cerita yang dibawakan komik) dan lapisan medium (bagaimana komik tersebut digambar, diatur penyusunannya, dan dimuat dalam bentuk buku).
Pada lapisan isi, memori yang Chris Ware sebut sebagai esensi dari komik tercermin dari rangkaian cerita hidup kelima karakter. Seperti pernyataan 1 dan 2 yang disampaikan para kritikus, arsitektur menjadi objek melakatnya memori. Bekas-bekas aktivitas manusia terekam dalam perubahan tampilan permukaan arsitektur. Seperti terlihat pada Gambar.4, melalui keterangan-keterangan pada bangunan apartemen, ia dapat menceritakan memori tentang kejadian-kejadian yang pernah dialami. Dengan demikian, Building Stories merupakan sebuah komik tentang memori manusia yang tidak dapat terlepas dari arsitektur.
Di lapisan medium, selain mengandalkan panel konvensional komik ini memanfaatkan gambar-gambar arsitektur dan infografis. Perihal ini Chris Ware menyatakan, “I only use a cartooned or “wrong” version of isometric perspectiveto try to represent how one remembers spaces, not how spaces appear to the eye.” Menurut Chris Ware, manusia tidak membayangkan ruang dalam bentuk gambar perspektif yang utuh sebagaimana ruang itu terlihat, melainkan dalam potongan-potongan gambar yang lebih konseptual, yang bahkan tidak dapat dilihat di dunia nyata.
Gambar 5. Dalam memorinya manusia memvisualisasikan suatu kejadian secara konseptual, bukan perspektival.
Lebih jauh lagi, contoh di atas memperlihatkan bagaimana Chris Ware menggabungkan gambar elevasi dengan gambar plan oblique dan gambar overhead view untuk melukiskan bagaimana karakter-karakter dalam komik tersebut mengingat suatu kejadian. Ia memanfaatkan watak komik yang memungkinkan terjadinya ambiguitas dalam penggunakan gambar-gambar arsitektur untuk merepresentasikan memori. Dalam proses membaca, pembaca tidak mempertentangkan ambiguitas dari gambar arsitektur tersebut, melainkan menerima bahkan merayakan penggunaannya sebagai cara untuk memahami sebuah kejadian. Dalam hal ini, intensi untuk bercerita tentang memori ditempatkan pada prioritas yang lebih tinggi dibandingkan aturan gambar arsitektur yang ketat akan kepresisian.
Pemahaman yang sama perihal memori juga berlaku dalam penggunaan infografis dalam menyusun panel-panel dalam komik ini. Dalam ingatannya, manusia dapat merelasikan suatu kejadian dengan kejadian lain secara non-linier. Chris Ware mengeksplorasi dan mengkritisi pemahaman umum tentang sekuensialitas dalam komik dengan menggunakan infografis yang menyebabkan proses pembacaan menjadi tidak linier.
Gambar 6. Pembaca dapat membaca panel manapun terlebih dahulu, namun saat ia selesai membaca keseluruhan halaman, ia dapat menginterpretasi sendiri kejadian yang sedang diceritakan.
Pada akhirnya Building Stories tetap dapat disebut ‘komik’ karena ia tidak keluar dari definisi komik yang dirumuskan Scott McCloud di atas. Penggunaan gambar arsitektur dan infografis di dalamnya tidak menghilangkan baik faktor sekuensilitas maupun keberadaan plot dalam narasi -yang biasanya tidak dijumpai di penggunaan gambar arsitektur dan infografis dalam proses desain arsitektur di studio.
Menurut saya komik ini menjadi menarik untuk direfleksikan dalam kegiatan belajar dan berpraktik arsitektur. Pertama, komik sebagai medium dua dimensi ini dapat dikatakan memberikan pengalaman arsitektural yang analogis dengan pengalaman yang dapat diberikan arsitektur. Kedua medium ini sama-sama dapat digunakan untuk memperlihatkan (showing) dan menyampaikan (telling) sebuah cerita/ide arsitektural melalui pengalaman (performance) yang ia hadirkan bagi manusia. Relasi pembaca (dalam lapisan isi dan medium) dengan komik dan arsitektur memungkinkan pembaca untuk mengalami secara aktif proses pencerapan makna yang hendak disampaikan.
Kedua, di sini saya hendak mencatat bahwa fenomena penggunaan gambar arsitektur dan infografis semacam ini dapat menggelitik arsitek dan akademisi arsitektur untuk mempertanyakan kembali metode aturan gambar arsitektur dan penggunaan media komik dalam praktik berarsitekturnya. Apakah tujuan dan bagaimanakah cara merepresentasikan arsitektur demi tujuan tersebut? Manakah metode dan medium yang tepat?
Catatan: untuk melihat, membaca, dan mengalami komik spektakuler ini, sila datang ke Omah-Library di Jl. Taman Amarilis II no.15-16, Jakarta Barat, http://omah-library.com/
Judul: Building Stories
Pengarang: Chris Ware
jumlah halaman: 246 pages
dimensi: 29.7 x 6.5 x 42.5 cm
tahun terbit: 2012
penerbit: Pantheon Books
kota terbit: New York
isbn: 978-0224078122
editor: andreas anex