Djakarta Warehouse Project 2013, Kesenangan Ruang Berpesta

Dalam berpesta kita lebih merayakan kesenangan inderawi dibandingkan kenyamanan sebuah ruang.

Author

13 Desember 2013, saya menyaksikan langsung musik-musik beraliran trance pada acara Djakarta Warehouse Project (DWP) 2013 di Eco Park Ancol. Ada 30 artis lokal dan 15 artis internasional yang membawakannya. Anak-anak muda dari berbagai pelosok Indonesia berdatangan. Ditambah beberapa warga negara asing. Malam itu kami adalah anak muda yang ingin bersenang-senang. Dalam keramaian dan kesumpekan tiga puluh ribu orang yang berpesta, kami menghiraukan guyuran hujan besar yang tak henti sepanjang acara.  

Hujan telah mengguyur Ancol sejak pukul dua siang. Angin keras menyertai hujan, menerbangkan berbagai macam dekorasi yang sudah disiapkan hingga tidak berfungsi lagi.

Sampai gerbang dibuka hujan badai tetap berlangsung. Orang-orang tetap mengantre pada tiga pintu gerbang yang tersedia. Mereka datang dengan pakaian serba terbuka. Mungkin karena mengira cuaca di Ancol akan sepanas biasanya atau agar mereka dapat bergerak dengan bebas saat bersenang-senang.

Pukul enam sore, saya dapat menerobos antrean karena saya memiliki lapak untuk  official merchandise di acara ini. Keuntungan lain dari berdagang pada acara ini adalah saya dapat menyisir area panggung pada malam sebelumnya.

Ada tiga panggung pada acara ini. Panggung pertama,terletak dekat dengan pintu masuk.Ia merupakan ruang tertutup semacam auditorium besar dengan plafond yang tinggi, hampir 10 meter sepertinya. Artis yang akan bermain di sana bukan artis yang kami dan mungkin kyalayak ramai incar. Panggung kedua berbentuk amphitheater. Sangat menarik karena posisinya nyaman untuk bisa duduk dan melihat langsung sang artis. Hanya saja, bukan artis di sana juga yang kami incar.

Yang ketiga adalah panggung yang paling megah. Artis–artis nomor satu kelas dunia akan bermain di sana secara berurutan.Panggungnya memiliki dekorasi dengan kualitas kelas dunia: tiga LCD TV besar setinggi 8 meter dan lebar 6 meter, lampu-lampu beraneka warna yang terang dan pengeras suara yang besar. Di panggung itu terdapat kepala burung garuda yang besar. Panggung itu berada di ruang terbuka seluas dua kali lapangan sepak bola.Hujan bisa dengan leluasa menyerbu area itu. Saya membayangkan hamparan rumput luas yang sudah tak jelas bentuknya, tanah becek dan beribu-ribu orang kuyup dalam keramaian. Bagimana jadinya berpesta di tempat seperti itu? Biar bagaimanapun, panggung ketiga itulah yang hendak kami datangi.

Panggung Ketiga

Pukul sembilan malam, saat barang dagangan sudah habis, kami mulai menuju panggung ketiga. Ia adalah panggung terjauh dari posisi kami.

Saat berjalan ke sana, kami mencari berbagai macam petunjuk bantuan. Pengetahuan kami akan letak panggung tersebut buyar. Nampaknya efek dari minuman sudah mulai berpengaruh. Dengan langkah lemas, kami mencari tiang–tiang dan papan petunjuk orientasi letak panggung. Tindakan sederhana itu jadi sulit dilakukan.

Hujan masih mengguyur. Kami menjadi waspada, apakah ada genangan air atau tidak. Kami sering menunduk. Sulit untuk mengadahkan kepala ke atas untuk mencari papan penunjuk  karena tentu akan terguyur hujan. Tidak ada satupun dari kami yang menemukannya. Kami hanya berjalan saja mengikuti kerumunan orang yang kami anggap memiliki tujuan yang sama.

Saya memperhatikan orang-orang yang berjalan bersama kami. Mereka terlihat kuyu, lusuh dan lelah. Mereka menunduk sambil berusaha memperhatikan jalan. Tidak ada yang menjadi patokan pada malam itu. Tidak ada dinding sebagai pegangan. Tidak ada jarak antara satu orang dengan yang lain. Semuanya saling mendorong. Hanya ada satu tujuan yang sama, menemukan panggung ketiga. Dalam keramaian itu, saya merasa setiap orang dapat saling merasakan penderitaan yang lain: kehilangan orientasi dan rasa aman yang diberikan oleh ruang sebagai bentukan fisik.

Lambat laun kami mulai kelelahan. Kami ingin beristirahat dan duduk. Kaki mulai terasa pegal. Mencoba menghilangkan rasa ini, saya kemudian duduk dan memijit kaki. Tidak sadar, saya melihat kaki ini sudah penuh dengan lumpur. Sela–sela jari dipenuhi tanah basah. Belum sempat untuk membersihkannya, tiba–tiba semua orang berjalan begitu cepat. Kami sadar bahwa artis yang ingin kami tonton akan tampil. Semua orang berjalan cepat .

“Woi, bentar lagi, woi! Abis ini Alesso, terus abis itu Zedd!” Seru seorang perempuan berbadan kecil, dengan mata setengah terbuka kepada teman–temannya.

Hujan semakin deras. Kami berjalan lebih cepat. Tidak jarang menabrak orang–orang dari arah yang berlawanan. Karena takut keadaan akan bertambah parah kami saling berpegangan. Karena meraih tangan teman di belakang itiu sulit, maka  kami saling menarik bagian belakang baju, berformasi layaknya sebuah kereta api.

Sambil berjalan, saya melihat orang–orang lain datang dari arah yang berlawanan berpakaian serba terbuka. Lengan dan perut sebagaian wanita terbuka. Para pria mulai menanggalkan pakaian. Basah. Hujan terus mengguyur tiada ampun. Ketika bertabrakan, saya merasakan kulit pengunjung lain. Bersentuhan langsung dengan pundak, bahu, lengan dan tidak jarang juga dengan pipi saya. Hendak meminta maaf, namun siapa peduli. Siapa yang sempat. Semua seperti berlomba.

Ketika melihat cahaya dengan warna yang beragam menyorot ke langit , kami semua girang dan kelelahan ibarat mencapai garis akhir. Warna yang silih berganti, merah, hijau, kuning, putih, biru, melintasi langit dengan jeda waktu sepersekian detik. Ketika kami mulai melihat keramaian, tempat orang–orang berkumpul dan menari. Kami tahu bahwa kami sudah sampai di area panggung ketiga.

Banyak sekali orang berkumpul. Kami memutuskan untuk berdesakan di belakang. Kami tidak punya kekuatan lagi untuk menerobos ke depan. Kami lantas berbaris menghadap ke arah panggung. Walau  tidak terlalu terlihat, setidaknya musik yang dimainkan masih keras terdengar.

Musik yang ditawarkan memang  luar biasa. Kalau orang kenal istilah “pecah”, musik itu memang “pecah” luar biasa. Selain karena memang kualitas peralatan musik yang dipakai sudah standar internasional, sehingga lagu yang dimainkan jernih terdengar, faktor utama ialah lagu itu sendiri.

Ketika lagu-lagu dimainkan, di area panggung ketiga, serentak semuanya berteriak. Semuanya bergoyang dengan berbagai gaya. Ada yang hanya mengangkat tangan sambil menutup matanya. Ada yang menggeleng–gelengkan kepala sambil menutup mata, lalu jongkok, dan berdiri lagi. Ada juga yang goyangannya ibarat cacing kepanasan, bergetar–getar sambil berteriak, mengajak teman–temannya untuk lebih heboh lagi.

Kami hanya merangkul erat pundak satu sama lain, berlompat bersama–sama, lalu saling melihat dan tersenyum. Kami membentuk lingkaran sambil melompat, ibarat sebuah tim sepakbola ketika salah satu pemainnya mencetak gol. Sesekali salah satu dari kami keluar dari lingkaran untuk menuangkan minuman ke gelas kami masing–masing. Gelas yang kami bawa tentunya gelas plastik. Hal ini memaksa kami untuk selalu memegangnya, karena kalau kami meletakan gelas ini di tanah, maka sudah pasti akan rusak.

Tanah tempat kami berdiri memang becek, namun tidak sebecek tempat lain karena masih ada tanah keras di poros lingkaran yang kami buat  untuk meletakan botol minuman. Botol minuman itu berfungsi sebagai titik pusat, sehingga lingkaran kami ini tetap tidak bergeser. Di dalam lingkaran kami dapat melihat wajah kami masing–masing. Semuanya terlihat senang, sumringah, dan terus menyanyikan lagu bersama.

Area menonton di panggung ketiga sungguh padat. Jarak antara satu dengan yang lain, sudah tidak ada. Adu pundak itu sudah biasa. Asal jangan adu  kepala, apalagi adu kepalan. Merokok menjadi sulit karena bisa menyundut orang di samping.Sudah tidak bisa bergerak ke kiri dan kanan, lantas gerakan kaki kami tertahan oleh tanah yang sudah basah dan menjadi lumpur. Berkali kali kami harus mengangkat kaki, menyisihkan tanah yang menyelimutinya.Berkali–kali kami salah mengambil sandal , yang terlepas ketika kami melompat kesenangan. Lapangan itu sudah menjadi pemakaman sandal jepit nampaknya. Berulang kali saya menatap ke langit. Berusaha bernafas di tengah kerumunan semua orang. Berusaha meraih kekuatan dari ruang kosong di atas. Berusaha untuk tetap sadar dari kelelahan dan kesenangan ini.

Semua hal tadi  bukan halangan untuk merasakan kesenangan. Dalam ruangan yang begitu luas, namun padat oleh ribuan penonton, kami merasakan suatu “kebersamaan.” Suatu kesenangan yang dirasakan bersama walau tidak diwadahi dengan ruang yang nyaman.

Kesenangan  itu terjadi hingga fajar menyingsing. Luar biasa. Kami berdansa sampai pagi di tengah kubangan lumpur. Dengan sandal yang hilang sebelah, wajah penuh dekil dan rambut basah seperti anjing tercebur kolam, kaki penuh dengan lumpur, tetap terangkai senyum di wajah kami masing-masing.

Kenyamanan Ruang Senang-senang

Kenyamanan memang memiliki berbagai macam interpretasi. Pada pengalaman di atas, ruang bukan hanya dibentuk dari elemen fisik. Ruang dibentuk melalui elemen–elemen indrawi. Sesuatu yang bisa dirasakan dan mengusik indra. Keadaan yang saya paparkan, bisa dikatakan sebagai suatu keadaan yang tidak nyaman jika parameter kenyamanan adalah memberikan ketenangan dan  kenyamanan seperti duduk pada kursi karya Charles dan Ray Eames pada ruang dengan bukaan yang cukup untuk sinar matahari, lantai parket kayu sungkai yang hangat, dan plafon yang cukup tinggi. Tidak. Kenyamanan yang saya dapatkan adalah karena rasa senang. Karena ada suara yang terdengar enak di telinga, karena ada cahaya yang memanjakan mata, dan karena ada kehangatan yang didapat ketika bersama–sama dengan teman. Semuanya itu memang sentimental. Tapi bukankah kenyamanan itu dibentuk oleh indera pada tubuh, lalu ia yang membentuk ruang?



comments powered by Disqus
 

Login dahulu