
Setelah 4 tahun mempelajari arsitektur, saya bekerja sebagai seorang penari di Jakarta. Mereka bilang ini dua dunia yang berbeda. 4 tahun bisa jadi sia-sia. Akibat kemalasan untuk mencerna, saya mengamini dan terus menari. Rasanya seperti siap mati bahagia, karena saya begitu terlena dengan rasa orgasme di atas panggung ketika disinari tata cahaya dan tatapan mata.
2 tahun ternyata cukup bagi badan saya untuk memberikan tanda bahwa keriaan ini rasanya terlalu sempurna untuk berlangsung lama. Pada satu hari di tengah proses sebuah produksi pementasan, saya mendadak sakit. Hasil rontgen dan diagnosis berujung pada kesimpulan bronchitis. Adrenalin sudah tidak cukup kuat untuk bisa memotivasi dan memanipulasi otak, berat badan saya turun drastis dan bertahan di angka 38 Kg selama 3 bulan. Saya menyerah.
Kembali ke dunia arsitektur dan bekerja kantoran menjadi harapan dan pilihan satu-satunya. Saya pikir dengan mempunyai ritme kerja yang lebih teratur saya bisa memberi waktu bagi badan untuk pulih. Di sinilah saya sekarang, di Bali, bekerja di sebuah biro arsitektur. Namun di tengah rutinitas mendesain ruang, tanpa disadari imajinasi saya terus bermain dalam ranah pertunjukan, Ketika melihat referensi foto sebuah ruang, yang saya bayangkan adalah posibilitas pergerakannya dan saya mulai memposisikan diri sebagai penontonnya. Ketika melihat bayang-bayang yang masuk ke dalam ruang, saya membaca ruang positif dan negatif yang kemudian menjadi pola lantai untuk sebuah koreografi, atau terkadang saya berimajinasi menari dalam bayang-bayang sebagai cahaya ‘panggung’nya. Saya sadari arsitektur justru menjadi inspirasi dan motivasi saya bergerak: arsitektur membuat saya menari.
Tiga bulan pertama di Bali berhasil memulihkan kesehatan saya. Saya kembali menari meski tidak terlalu sering karena energi kebanyakan habis setelah duduk manis selama 8 jam (atau lebih) di kantor.
--
Dalam suatu kesempatan, seorang rekan arsitek, Andika Japa Wibisana, bercerita mengenai karyanya yang belum rampung di Bongkasa; area yang bersebelahan dengan Ubud – tetangga, namun terpisah oleh Sungai Ayung. Beberapa kali ia bercerita mengenai ribuan pohon kelapa yang ada di lokasi, rumput-rumput yang bercahaya keemasan di kala pagi, hingga dadong-dadong (dadong: nenek) yang masih mandi di sungai tiap pagi dan sore hari. Tanah ini milik satu keluarga besar yang ingin mengembangkan properti mereka menjadi destinasi ekowisata. Alih-alih membuat kompleks vila dengan unit-unit yang bertebaran di sana-sini atau resort yang menggagahi tebing-tebing hijau, perkebunan justru dipertahankan dan arsitektur dibangun sebagai penunjang kegiatan dengan material yang ada di tempat.
Mendengar ceritanya cukup menggugah hati. Ia memperlihatkan beberapa foto yang sempat diambil semasa proses pembangunan. Kemudian saya teringat pada percakapan kami beberapa waktu sebelumnya: Mungkinkah kami berdialog sebagai arsitek dan penari? Mungkinkah ruangnya membuat saya menari? Saya tertantang untuk mencari jawabannya.
On Site Project: Bongkasa - video tari pertama yang saya buat.
Pada waktu kunjungan pertama saya ke proyek Bongkasa, saya mengambil beberapa gambar dengan sudut pandang yang saya suka. Semua berjalan secara impulsif dan subjektif. Ada dua bangunan setengah jadi yang berdiri di lahan seluas 8 Ha ini. Keduanya tampil sederhana. Batang-batang pohon kelapa yang sudah tua terlihat kokoh menopang atap pelana. Tidak ada bentuk atau warna yang menusuk mata. Vista terbingkai di antara kolom-kolom, balok dan lantai. Sesekali terintip dari jendela-jendela tak berkaca. Ruang-ruang yang belum terdefinisi dengan jelas karena proses konstruksi menggoda memori saya untuk menerka-nerka aktivitas yang mungkin ada beserta atmosfernya.
Photo: Adhika Annissa
Photo: Adhika Annissa
Dari hasil foto-foto amatir yang saya buat, saya mulai membolak-balik urutan untuk mendapatkan alur pergerakan. Kemudian saya lihat lagi detail-detail arsitekturalnya: apakah ada pola atau repetisi yang bisa saya adaptasi ke dalam gerak? Apakah tekstur lantainya memungkinkan saya melakukan gerakan putar piroutte atau saya harus berputar sambil melangkahkan kaki? Apakah kolomnya dapat dijadikan poros pergerakan? Bayang-bayang seperti apa yang dihasilkan dari interaksi sinar matahari dan arsitekturnya? Apakah dinamis atau statis? Jika dinamis apakah saya bisa berinteraksi dengan pergerakannya? Apakah ada elemen arsitektural yang bergerak jika terkena angin? Di manakah saya harus berdiri agar saya terlihat dari jendela? Bagaimana bunyi lantai ketika saya berlari? Ketika saya berjalan? Atau menyeret kaki? Pada titik ini saya merasakan interaksi dan ‘kami’, ya, saya dan ruang, mulai berkompromi.
Photo: Adhika Annissa
Photo: Adhika Annissa
Photo: Adhika Annissa
Ternyata tidaklah mudah membuat koreografi tanpa bergerak langsung di dalam ruangnya. Terbiasa untuk menari di panggung membuat saya kikuk, ternyata karya site specific membutuhkan riset dan analisa yang lebih dalam lagi. Saya tidak yakin setinggi apa saya harus melompat, serendah apa saya harus menunduk, gerakan putar mana yang harus saya pilih, berapa jauh jarak antara satu titik ke titik lain yang harus saya tempuh, dan banyak ketidakpastian lainnya. Proses latihan menjadi tidak memungkinkan karena saya terjebak dengan tenggat waktu proyek arsitektur di kantor. Alhasil saya berusaha seoptimal mungkin membayangkan gerak, tanpa bergerak.
--
Pada hari H pengambilan gambar saya bersama rekan videografer/fotografer, Vifick Bolang, berangkat ke Bongkasa sedini mungkin dari Denpasar. Ini pertama kali Vifick mengalami ruangnya. Sembari dia mempelajari, saya bersiap-siap meregangkan otot sambil terus memikirkan gerakan yang rasanya sudah nyata di kepala. Saatnya mencoba. Saya optimis tanpa alasan yang kuat bahwa ini (mungkin) bisa dilakukan tanpa gladiresik. Ini pikiran bodoh yang muncul di tengah waktu yang sempit. Namun, “The show must go on,” begitu ilmu panggung yang saya dapat setelah beberapa tahun menari.
Saya mulai coba menarikan koreografi, ternyata banyak bagian yang tidak serasi. Beberapa kali saya mencederai diri: telapak kaki terasa sakit, jatuh tersungkur dan beberapa gerakan saya tidak terlihat di kamera karena terhalang kolom. Saya sempat bingung, seperti ibu yang baru punya bayi menghadapi tangis lalu jadi depresi, bagaimana saya bisa memahami bahasanya? Saya teringat, dulu pernah diajari untuk jujur pada diri sendiri: jelek, bagus, gagal atau berhasil adalah hal-hal yang mutlak dengan parameter tertentu. Relatif, namun menjadi valid untuk satu perspektif. Mungkin saya harus lebih sensitif, jujur dengan reaksi badan saya terhadap konteks yang saya hadapi dan berani mengambil keputusan secara cepat. Saya mencoba lagi.
Begitu bersentuhan langsung dengan kulit batang kelapa, lantai yang belum sempat diaci, bebatuan kecil yang tajam, yang ada adalah sensasi- saya berusaha meresapi. Maju, mundur, berputar, lompat, berlari, berjalan pelan dan jadilah sebuah koreografi. Rasa sakit di kaki saya tanggapi dengan gerakan berlari kecil, kadang melompat memberi aksen pada gerakan. Titik tumpu badan terhadap gerakan juga diatur kembali. Kolom batang kelapa yang cukup kasar teksturnya ternyata bisa dijadikan poros untuk gerakan berayun karena tangan kecil saya bisa mencengkeram dengan aman. Perulangannya dijadikan titik pergantian gerakan karena jarak kolom memberi saya jarak tempuh yang menjadi ritme tertentu disesuaikan dengan jarak langkah. Seperti bar pada musik. Titik jatuh bayang-bayang menjadi tanda bagi saya untuk berhenti. Detail arsitektural antar kolom yang memiliki ketinggian berbeda-beda memberi inspirasi bagaimana tinggi dan rendahnya transformasi gerak yang saya lakukan.
Di lain sisi Vifick pun tampak mengeksplorasi ruang dari kacamatanya. Dengan sigap ia mencari sudut di mana 3 lapisan ruang bisa diambil langsung dalam satu frame dengan memanfaatkan bukaan pada dinding yang ber-layer. Kemudian ia memberi masukan kapan kamera harus berpindah dengan mempertimbangkan permainan logika ruang dan alur pergerakan, merekomendasi penambahan gerakan detail agar saya bisa menjadi dominan di satu frame tertentu. Beberapa gambar diambil dengan wide frame untuk menegaskan koordinat saya pada ruang, namun kemudian diulang dengan format close up untuk mendapatkan detail gerak, nafas dan emosi. EFDAT, begitu kata Vifick mengenai metode yang ia gunakan saat mengambil gambar: Entire, Frame, Detail, Angle, Time. Metode ini biasa digunakan ketika membuat foto jurnalistik atau dokumenter. Dengan latar belakang sebagai visual storyteller, Vifick menangkap cerita yang hendak saya sampaikan dalam rangkaian interaksi antara saya dan ruang melalui lensanya, “Semacam ada skenario menyerap energi positif dari arsitektur bangunan itu dan alam semesta, lalu diterjemahkan dalam gerakan-gerakan.” Ujar Vifick.
Jadilah sebuah kolaborasi.
Penari : Adhika Annissa
Arsitek : Andika Japa Wibisana
Videografer : Vifick Bolang
Editor : Bona Traxvideo
--
Arsitektur jelas mendorong saya untuk melakukan gerak tertentu dengan bahasanya. Pada satu titik hal ini membuat saya mulai meredefinisi tari sebagai gerak dengan ruang eksplorasi dan konteks yang lebih luas lagi. Dengan menari saya menyadari bagaimana waktu menjadi dimensi kedalaman suatu ruang sehingga ketika saya bergerak di dalamnya, pengalaman ruang terasa utuh karena ruang terasa nyata, seolah bernafas dan berbicara. Arsitektur menjadi hidup dengan kegiatan yang diwadahinya.
Berdialog lintas disiplin dan bahasa menjadi ruang bermain setelah saya mencoba dua dunia yang katanya berbeda: arsitektur dan tari. Saya suka mengeksplorasi ruang untuk menemukan sisi romantis dan puitisnya. Bagi saya ini seperti menggali dimensi sebuah ruang, melatih kepekaan indera dan memperlihatkan potensi ruang dalam perspektif yang berbeda.