
Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok seperti tak pernah lepas dari kontroversi pendapat masyarakat. Di satu sisi saya mendukung Ahok dalam usahanya menolak praktik korupsi hari-hari ini, namun saya juga tetap memantau kebijakannya yang terkadang memihak kalangan tertentu.
Pasca menuai kritik karena melarang motor melintas di sepanjang Jalan Thamrin sampai Medan Merdeka Barat, Ahok kembali mengeluarkan wacana kontroversial agar orang kaya bisa melintas di jalur Transjakarta.
Dalam sebuah wawancara Ahok menilai jarak waktu antar-Transjakarta masih tiga hingga lima menit sehingga masih ada celah bagi kendaraan pribadi untuk melintas di jalur khusus tersebut.
Ahok mengatakan akan menempelkan semacam e-money dalam dasbor mobil sebagai bentuk retribusi. “Dengan begitu, saat dia (kendaraan orang kaya) masuk, ini portal ‘bus stop busway’ terbuka dan dipotong Rp 50.000. Kalau masih banyak kendaraan melintas di jalur Transjakarta, kami naikkan tarifnya jadi Rp 100.000 dan seterusnya,” kata Ahok seperti dikutip Kompas.com.
Yang menarik adalah salah satu alasan Ahok mewacanakan hal ini. Seperti ditulis Tempo, ia mengatakan bahwa uang yang dikumpulkan dari pengendara mobil yang masuk jalur Transjakarta digunakan untuk mensubsidi operasional bus tingkat gratis.
Alasan Ahok tersebut mirip dengan cara yang ia pilih sebagai jalan keluar bagi pelarangan motor melintas di sepanjang Thamrin sampai Medan Merdeka Barat. Dalam kasus pelarangan motor tersebut Ahok mengambil jalan keluar dengan menyediakan bus khusus untuk motor. “Jadi mesti parkirkan saja, dia naik bus dan bisa tidur,” ujar Ahok seperti dikutip Liputan 6. Ahok terasa menyederhanakan masalah-masalah tersebut. Baginya ini melulu sekadar upaya mengatasi kemacetan.
Kebijakan Ahok harus dilihat dari berbagai sisi. Pemaknaan atas kebijakan Ahok tidak boleh hanya berhenti misalnya pada masalah penyelesaian kemacetan. Ia harus dimaknai dari kacamata yang lebih luas. Kacamata bagaimana kebijakan tersebut dapat memengaruhi kehidupan dan interaksi antar warga. Dari sudut pandang itu, konsekuensi atas kebijakan-kebijakan Ahok akan menemui masalah yang lebih mendasar
Konsekuensi yang mungkin muncul karena kebijakan Ahok mengingatkan saya pada sebuah tulisan Chatib Basri (Mantan Menteri Keuangan) untuk menghormati Amartya Sen peraih nobel ekonomi 1998. Sebagai seorang akademisi Chatib tak memilih memulai tulisannya dengan teori apa yang membuat Sen meraih penghargaan tertinggi di bidang ekonomi. Ia justru memulainya dengan sebuah cerita ketika Sen kecil.
“Amartya waktu itu berumur sepuluh tahun bermain di pekarangan rumahnya. Tiba-tiba permainannya terganggu. Ia melihat seorang lelaki masuk ke halaman itu dengan rintih kesakitan dan darah yang mengalir. Di punggungnya menancap sebuah pisau. Nama laki-laki itu Kader Mia,” buka Chatib dalam tulisannya di Jurnal Kalam tentang Sen.
Kader Mia sendiri adalah seorang buruh muslim. Ia menjadi korban dari konflik antara Islam dengan Hindu di Dhaka, Bangladesh, pada hari itu. Diceritakan bahwa sebenarnya sang istri sudah mengingatkan agar Mia tak pergi ke daerah rusuh tersebut. Tetapi ia tak punya pilihan, keluarganya harus makan. Maka kemiskinan harus dibayar tuntas dengan kematian.
Dalam beberapa pernyataannya, Sen mengatakan kejadian itu menjadi sebuah catatan penting dalam perjalanan hidupnya. Apa yang ia hasilkan kemudian tak bisa dilepaskan dari kejadian hari itu.
Puncaknya seperti yang ditulis New York Times mengenai buku karangan Sen, “Identity and Violence: The Illusion of Destiny” ia memperkenalkan apa yang disebut dengan “solitarist”. New York Times menulis, “He takes aim at what he calls the ‘solitarist’ approach to human identity, which sees human beings as members of exactly one group.”
Solitarist adalah pandangan Sen yang mengatakan bahwa seseorang atau sekelompok orang hanya melekatkan diri pada satu identitas. Seseorang atau sekelompok orang secara spesifik hanya berafiliasi pada sebuah identitas. Dalam kasus Kader Mia misalnya, konflik terjadi karena masing-masing kelompok hanya melekatkan dirinya pada satu identitas Muslim atau Hindu. --
Sen menilai amat riskan jika seseorang hanya melekatkan satu identitas pada dirinya. Identitas tunggal mengurangi ruang dialog dan interaksi dalam masyarakat. Sebut saja Kader Mia yang terjebak dalam konflik Islam dan Hindu. Ia hadir dalam daerah konflik sama sekali bukan karena identitasnya sebagai seorang muslim, melainkan karena identitas dan tanggung jawabnya sebagai seorang ayah dan suami yang sedang mencari nafkah. Namun ia menjadi korban konflik antar identitas yang meruncing. Jangan lupakan juga konflik Hutu dan Tutsi di Rwanda yang bisa jadi pelajaran atas hal ini.
Sen menilai bahwa seorang individu sesungguhnya melekat dengan beberapa identitas. Misalnya seorang ayah di Jakarta adalah pekerja swasta yang juga pengguna motor dan ketua RT di wilayahnya. Identitas Si Ayah tak mengerucut hanya pada seorang pengguna motor.
Pernyataan “exactly one group” dalam pengertian solitarist yang Sen kemukakan boleh jadi merujuk pada konflik agama yang menumbalkan Kader Mia. Namun, kita dapat melihat solitarist dalam beragam konteks berbeda.
Jalanan Jakarta selalu mengingatkan saya pada konsep solitarist ala Sen. Tentu kita pernah melihat ketika sebuah mobil pribadi bersenggolan dengan sepeda motor maka yang terjadi bukan debat satu lawan satu antara pihak yang bertikai. Yang terjadi biasanya para pemotor lain atau warga sekitar akan menyemut untuk membela sang pemotor.
Kejadian itu sebenarnya menegaskan bahwa ini bukan persoalan siapa benar dan salah semata, tapi jauh lebih besar dari itu. Persoalan ini membentang dari mulai ekonomi sampai sosiologis. Bantuan yang datang untuk sepeda motor mungkin bukan karena faktor si pemotor yang benar, melainkan si pembela merasa ia adalah satu bagian besar dari si pemotor. Jalanan mengerucut hanya menjadi arena antara “si pemotor” dan “si penyetir mobil”,
Memperlebar jurang antara “si roda dua” dan “si roda empat” juga menjadi pupuk untuk menyemai konflik di jalanan. Ilustrasi pertengkaran sehari-hari antara motor dan mobil itu boleh jadi sebuah akibat dari beragam kebijakan diskriminatif lama yang juga sudah terjadi sebelum Ahok menjabat, macam pembangunan tol atau penutupan akses jalan untuk roda dua. Akibatnya kemudian baik motor dan mobil hanya punya satu perspektif berdasarkan moda transportasi yang ia pakai. Mereka tidak lagi sebagai sesama pengguna jalan, identitasnya berubah menjadi sekadar seorang pengguna motor atau seorang pengendara mobil.
Gejala munculnya ‘solitarist’ di jalanan ini sepertinya kurang disadari. Bukannya berupaya menjadikan jalanan sebagai ruang bersama untuk mempertipis sikap tersebut, yang banyak dilakukan Ahok justru mempertebal gejala solitarist ini.
Beberapa hari setelah mewacanakan orang kaya dapat melintas di Jalur Transjakarta, Ahok memang kemudian merevisi ucapannya dengan mengatakan bahwa sesungguhnya itu bukan wacana melainkan sindiran untuk orang-orang kaya. Seperti dilansir Kompas.com, Ahok mengatakan, “Itu kalimat sindiran, bukan wacana. Kan, memang kalau mobil masuk busway sekarang bayar Rp 1.000.000, itu kalau ketangkep polisi.”
Upaya Ahok untuk merevisi kebijakan tersebut patut diapresiasi. Tapi, perspektif yang ia gunakan tetap saja melulu hanya soal ekonomi. Seolah-olah jalanan adalah sebuah ruang transaksi semata. Maka tak salah jika kemudian masih banyak nada sumbang mengenai hal ini. Apalagi melihat rekam jejaknya dalam pelarangan motor sepanjang Thamrin sampai Medan Merdeka Barat plus wacana pelarangan motor di seluruh jalan protokol (yang kemudian juga direvisi). Semua wacana tersebut seakan menegaskan bahwa jalanan Jakarta adalah ruang kompetisi semata.
Jalanan harus dilihat dalam kacamata yang lain. Pemaknaan Marco Kusumawijaya atas jalanan bisa menjadi rujukan yang menarik. Dalam Jurnal Kalam edisi Ihwal Kota (2002) Marco menulis, “Jalan raya menjadi ruang kolektif yang sangat penting, karena melalui fragmen metropolis yang satu ke yang lain. Kenyamanan atau ketidaknyamanan semua orang – kaya atau miskin, bermobil atau berjalan kaki – di jalan akan menentukan hubungan pribadi dengan kotanya.”
Penekanan pada jalanan sebagai ruang interaksi ini penting karena boleh jadi inilah satu-satunya tempat di mana seluruh warga Jakarta hadir secara bersamaan. Jalanan tak mengenal kelas. Lewat jalanan setiap warga akan berinteraksi atau setidaknya “bernegosiasi” dengan banyak hal. Ketika Ahok mewacanakan (sekadar mengutip istilahnya) orang kaya bisa menggunakan jalur Transjakarta maka semua tatanan ini akan runtuh.
Tebal kaca dari mobil yang diperkenankan melintasi jalur Transjakarta tak lebih satu centimeter, tapi bayangkan berapa jarak sosial antara mereka yang berada di dalam dan di luar? Yang terjadi kemudian adalah beberapa kelompok semakin nyaman karena tidak perlu bernegosiasi dengan kelas selain dirinya. Sementara kelompok lainnya akan mengutuknya dan menjadi satu bagian lain.
Keadaan ini mengingatkan pada komentar Chatib Basri saat mengulas buku “The World Economy Since The Wars: A Personal View” karangan John Kenneth Galbraith. Menyitir pendapat Galbraith, di situ Chatib mengatakan, “Di masa depan nanti konflik politik bukan terjadi antara buruh dan pemilik modal, tapi antara mereka yang nyaman dengan kelimpahan dan mereka yang kekurangan”. Tulisan Chatib di tahun 2002 tersebut layaknya sebuah de javu atas keadaan saat ini.
Kebijakan Ahok belakangan ini seperti sedang membuat menara babel untuk kelas yang sudah mapan. Seolah-olah ia berharap dari atas menara itu, orang-orang akan memberikan semacam subsidi agar tercipta menara-menara selanjutnya. Tapi ia lupa bahkan menara babel pun runtuh. Manusia-manusia kemudian kembali terserak di permukaan bumi. Meminjam istilah Goenawan Mohamad, “Manusia terserak, komunikasi retak.”
Ahok mungkin perlu memperkaya perspektifnya. Terus menerus memberi keistimewaan pada pengendara mobil dan kelas atas hanya akan menyulut api dalam sekam.
Lewat kebijakan-kebijakannya belakangan ini Ahok seperti sedang membangun solitarist di jalanan. Solitarist-lah yang membuat Kader Mia menjadi korban dan berakhir tragis di pekarangan rumah Sen. Kini, apakah secara pelan-pelan kita sedang memindahkan pekarangan rumah Sen ke jalanan Jakarta? Hanya Ahok yang bisa menjawabnya.