
Dalam situasi pandemi covid-19 dan penerapan PSBB, media online (12/5/2020) memberitakan warga Jakarta merayakan senarai nostalgia melalui kumpul-kumpul serta swafoto di restoran cepat saji McDonald di kawasan Sarinah Jakarta Pusat. Gerai cepat saji McDonald (McD) yang berada di komplek Sarinah dikabarkan telah beroperasi selama 30 tahun.1 Menurut Saptaji sebagai produser media asumsi.co.id bahwa gerai McD Sarinah dianggap tidak mengindahkan aturan PSBB yang berhubungan peraturan kedaruratan yang dikeluarkan secara resmi oleh Peraturan Menteri Kesehatan no. 9 tahun 2020 dimana menerapkan pembatasan aktivitas di ruang publik tidak terkecuali penutupan gerai McD Sarinah. Akan tetapi secara fungsi sosial, gerai McD Sarinah menyimpan memori emosional yang berkesan bagi pelanggan lamanya. Bahkan asumsi ini diperkuat oleh sutradara film Joko Anwar dalam statement akun twitternya dengan pernyataan “McD Sarinah got a special place in our memories, but seriously @McDonalds_ID was a gathering like this in the middle of a pandemic really necessary? the place could’ve gone in a sweet tone. But this is really tone deaf. Shame”.2
Jika mendengarkan testimoni dari korespondensi Media Asumsi maka seputar ekspresi betapa ikoniknya McD Sarinah? Dianggap tempat bersejarah antara gerai pertama McD di Indonesia dengan peristiwa aksi teroris? Kemudian dianggap ruang berjodoh bagi pasangan yang berkantor dari Jalan Sabang Jakarta. Alangkah lucunya ungkapan-ungkapan responden tersebut termasuk pelanggan lama dari McD Sarinah. Ungkapan lucu berasal dari metafora bahwa ironisnya masyarakat Jakarta menganggap gerai franchise internasional (McD) sebagai ruang publik yang berkesan.
Penulis melakukan refleksi dari pembacaan berita tersebut “jangan-jangan kita tidak punya ruang terbuka hijau yang nyaman sebagai ruang publik selama ini”. Perihal ini disebabkan liputan media Asumsi menyebutkan bahwa ruang publik yang strategis tidak pernah tersedia bagi warga Jakarta. Opini keterbatasan ruang publik di area urban kawasan Jakarta dari tim liputan asumsi.co merupakan kesimpulan menarik sehingga perlu ‘dijelajahi’, seperti apa ide ruang publik dari literasi yang diutarakan dalam media surat ini.
Dalam perbandingan literasi hukum sipil di Eropa maupun Amerika Utara telah terdapat garis perbedaan norma ruang publik yang menghubungkan antara public space (l”escapepublic“) yang bersifat ruang publik secara lokasi fisik atau infrastruktur ruang publik yang disediakan oleh tatanan Republik dengan public sphere (sphere publique) sebagai suatu pola pikir (mindset) jika setiap warganegara menggunakannya perlu mendahulukan kepentingan publik daripada keperluan privat.3 France Aubin memberikan narasi public sphere yang berlangsung dalam kultur urban Eropa.
Pada lingkup gejala urban, Fransisco Hardiman (2009) menggambarkan subjek ruang publik tentang perwujudan budaya jalanan (street culture), keragaman permainan lapangan (playing fields), dan rancangan arsitektur yang mendukung adanya kontribusi kolektif-deliberatif atas pertanyaan-pertanyaan umum berupa demokrasi, masyarakat sipil serta opini publik.4 Fenomena opini publik menjadi perbincangan kultural di kafe, kedai kopi, Angkringan (Kota Yogyakarta), dan Hek (Kota Surakarta).
Sosiolog Habermas berupaya melacak bagaimana mindset ruang publik dalam masyarakat Eropa. Temuan Habermas menyatakan ruang publik adalah perantara ruang komunikatif antar warganegara dimana dalam ruang publik terdapat interaksi ethics of care antar manusia dengan prasyarat kesadaran mengutamakan kembali kepentingan umum.5 Kesadaran menjadi norma dibalik hukum formil yang berlaku dengan fondasi peradaban seperti prinsip kebersihan, kenyamanan, keamanan, keindahan serta estetika publik. Ruang publik dianggap berperan dalam bentuk-bentuk opini publik yang mengutamakan kesetaraan dan pluralitas warganegara.
Surat ini berusaha memberikan stimulasi ide ruang publik di Indonesia mampu mengalami perbaikan lingkungan fisik maupun reaksi warga negara sebagai manusia (as a human). Dimulai temuan riset sosiologi-sejarah yang dilakukan Habermas dalam transformasi komunitas-komunitas sosial di Jerman maupun Perancis dimana kalangan borjuasi (saudagar) memberikan norma budaya dengan kapital serta kapasitasnya melakukan apresiasi keindahan ruang publik diwarnai resensi kesenian. Inisiasi komunitas diawali dengan seni pertunjukan melalui teater paris, pameran buku-buku seni dan perbincangan kesenian di kedai-kedai kopi. Transformasi komunitas sosial tersebut menimbulkan persinggungan estetika publik dalam praktik merancang ruang publik. Bahkan dengan nada serius, proses transformasi tersebut melahirkan konsep diskursus dalam pengembangan ruang publik.
Dalam diskursus, apakah pengembangan ruang publik yang nyaman, aman, strategis, bernuansa hijau, serta bersifat estetik hanya sekedar utopia dalam imajinasi arsitektural. Gejala utopia dalam pikiran Karl Mannheim merupakan impian harapan menginspirasi aksi komunitas yang sesungguhnya tidak nyaman dengan nuansa komersial, akan tetapi karena fragmentasi serta selera kultural yang sangat plural maka kapitalisme-komersial terpaksa diterima demi keberlanjutan institusi keluarga.6 Dari pembacaan Karl Mannheim mengenai utopia maka dapat direfleksikan “jangan-jangan ruang publik kita hanya utopia serta tidak mengenal tata bahasa manusia”. Refleksi Mannheim (1954) berupaya melakukan relasi terhadap peranan arsitektur dalam sejarah manusia, dengan diskursus estetika bahwa ruang publik dalam ranah arsitektur merupakan cita-cita pseudo-desain.
Jika melacak kembali melalui memori historis-kultural maka alun-alun dapat disederhanakan sebagai ruang publik di perkotaan Jawa. Alun-alun merupakan memorial bangunan perkantoran kuasa kerajaan Jawa dilengkapi rumah peribadatan seperti masjid atau gereja kemudian disusul keberadaan (existing) pasar tradisional. Alun-alun merupakan memori kolektif dari ruang publik yang tersisa dari komunitas etnik di kota-kota Jawa seperti Surakarta, Yogyakarta, Semarang, Bandung, Ponorogo, dan Bekasi. George Larson menyatakan bahwa ruang publik di masa monarki sangat bergantung kepada keputusan relasi kawula dengan tuan besar.7 Ruang publik dalam konteks historisitas tidak dapat lepas dari kulturalisasi institusi kerajaan dalam periode kolonial Hindia Belanda. Sejarawan Rudolf Mrazek menarasikan mengenai proses transformasi kolonial dalam perintisan ruang publik bagi permukiman (settlement) keluarga pejabat Hindia Belanda. Permulaan rintisan dimulai dengan pameran-pameran kesenian kota kolonial yang digagas aristokrasi Amsterdam pada tahun 1883.
Gejala kebutuhan sosial terhadap ruang pertemuan yang bersifat publik dianggap fungsionalitas yang terus bertumbuh bagi pembacaan Mrazek (2006). Maka pada akhir abad 19 telah didirikan ruang pertunjukan bagi publik yang lazim disebut “societeit” karena alasan supaya betah melampaui hidup di Batavia daripada menetap di permukiman serta gilda tanah air mereka sendiri.8 Noni-noni dan pemuda Hindia Belanda mendirikan klub Harmonie yang memberikan laporan terhadap perayaan dan pertunjukan seni di ruang publik kota Batavia. Arsitek Hindia Belanda seperti Penaat dan Lion Cachet berupaya meminjam langgam budaya Jawa dengan perfomansi patung-patung Jawa Kuno antara tata kota ruang terbuka seperti alun-alun dengan jalur trem yang melintasi komplek perkantoran pemerintahan Hindia Belanda.
Dokumentasi alun-alun di masa kolonial menjadi ruang publik bagi klub sosial di kota Batavia
(Sumber Foto : Mrazek, 2006)
Kajian arsitektur yang dilakukan Sumarno dan Ikaputra (2015) menyatakan pola pikir masyarakat Jawa tentang ruang publik memang tidak dengan proyek perancangan (not by design) dari kebijakan penguasa namun pembentukan ruang publik di Jawa selalu apa adanya atau terdapat campur tangan kapital dari pemerintahan Kolonial Hindia Belanda.9
Dalam pasca monarki, bentuk relasi berubah menjadi iklim industrial khususnya di kota-kota metropolitan maka perubahan gaya arsitektur sangat fungsional sekaligus komersial tergantung relasi antara manajer dengan selera pekerja perkantoran. Dalam situasi komersial maka terjadi proses tindakan sosial yang serba cepat dari kalangan pekerja kantoran, sedangkan kondisi urgensi tentang ruang publik seakan dinegasikan apalagi jika institusi pemerintah melakukan tindakan pembiaran (act of omission).
Gerai restoran cepat saji yang dikelola McD seakan-akan menggantikan ruang wahana (utopia) bagi pekerja kantoran untuk bisa bertutur sapa dengan sesama kolega atau partnernya. Fenomena itu pernah disinggung melalui sinema dokumenter dari sutradara Edwin. Bahkan Ritzer menggambarkan betapa fenomena McD menciptakan pertanda ‘kode etik’ masyarakat industrial yang dapat dibilang unik bagi para karyawan dan pelanggannya, sehingga ruang gerai McD dapat menggantikan ruang publik yang selama ini tak tergantikan bagi pelanggan lamanya.
Komersialisasi ruang publik oleh McDonaldisasi yang digambarkan George Ritzer bagaimana institusi komersial memaksimalkan efisiensi manajerial untuk mengejar target produksi dan distribusi. Lantas diukur oleh kuasa supervisor manajemen dengan hal-hal subjektif melalui kuesioner pelayanan yang tidak berdampak bagi relasi karyawan dengan sekumpulan pelanggan.10 Business as usual, begitu pepatah kaum urban dengan prediktabilitas dan standardisasi komersial maka dapat disimpulkan proses moralisasi ‘bodoh amat’ terhadap kondisi ruang publik.
Dengan anomali moralitas tersebut, maka ruang publik yang sengaja disediakan McD justru menjadi pengalaman mengesankan bagi konsumennya, meskipun di pihak karyawan terjadi kontrol dari pihak manajemen untuk memastikan distribusi produk McD laku secara massal. Bahkan jika tidak ada pandemi maka McD memutuskan langkah business as usual selama 24 jam, dan betapa uniknya kita sebagai bagian narasi urbanisasi menganggap hal itu ruang publik.
___________________________________________________________
1Tim DetikCom. “Fakta-fakta Heboh Kerumunan di Kerumunan Warga di Momen Penutupan Mcd Sarinah Saat PSBB”. Detik News 12 Mei 2020 < https://news.detik.com/berita/d-5011031/fakta-fakta-heboh-kerumunan-warga-di-momen-penutupan-mcd-sarinah-saat-psbb>
2Kenapa Penutupan McD Sarinah Bikin Orang Berduka? Asumsi. Host Saptaji. Youtube. 11 May 2020.
3Aubin, France. “Between Public Space (s) and Public Sphere (s): An Assesment of Francophone Contributions ” Canadian Journal of Communication (2014).
4Hardiman, Fransisco. Demokrasi Deliberatif: Menimbang ‘Negara Hukum’ dan ‘Ruang Publik’ Dalam Teori Diskursus Juergen Habermas. Yogyakarta: Kanisius, 2009.
5Habermas, Juergen. The Structural Transformation of the Public Sphere. Trans. Thomas Burger. Cambridge, Mass: MIT Press, 1991. Trans. Strukturwandel der Öffentlichkeit, 1962.
6Mannheim, Karl. Ideology and Utopia. London: Kegan Paul Ltd, 1954.
7Larson, George. Masa Menjelang Revolusi: Kraton dan Kehidupan Politik di Surakarta 1912-1942. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1990.
8Mrazek, Rudolf. Engineers of Happy Land: Perkembangan Teknologi dan Nasionalisme di Sebuah Koloni. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006.
9Soemarno, Ikaputra, Sunaryo, Setiawan. “Posisi Ruang Publik Dalam Transformasi Konsepsi Urbanitas Kota Indonesia” Working Paper Prodi Arsitektur Universitas Petra Surabaya (2015).
10Ritzer, George. The McDonaldization of Society. California: Fine Forge Press, 2011.