Merekam Indonesia

Buku arsitektur pilihan Konteks tahun 2014

Author

Di tengah berbagai peristiwa arsitektur yang mewarnai tahun 2014, buku arsitektur bermutu masih juga jadi barang langka yang, selain tak banyak, juga perlu susah payah buat mendapatkannya. “Yang cemerlang,” kata Muh Darman yang mengutip Majalah Tempo, ketika ia merangkum buku-buku arsitektur Indonesia pilihannya pada 2012 di Ruang17, “terkadang tak mudah ditemukan.”

Maka ketika kami, redaksi Konteks, membuat kompilasi buku-buku arsitektur Indonesia pilihan tahun 2014, kesulitan yang kami hadapi bukanlah perkara memilah pilihan, melainkan perkara mencarinya. Salah satu buku bahkan mesti kami pinjam dari pengajar di suatu kampus karena kami tidak tahu di mana bisa mendapatkannya. Sangkalan tersebut tentu tidak mengurangi kualitas buku-buku yang pada akhirnya jadi pilihan kami. Selain upaya gigih di tengah ketidakjelasan rugi untung menerbitkan buku arsitektur sudah selayaknya mendapatkan sanjungan, buku-buku tersebut memang memiliki isi yang bermutu.

Ada lima buku yang kami pilih. Dengan caranya masing-masing, buku-buku tersebut merekam sejarah arsitektur Indonesia dalam berbagai sudut pandang. Ada yang memanjakan mata pembaca dengan medium infografik, menceritakan riwayat material bangunan, mengungkap sosok tokoh arsitektur penanda zaman, hingga memandu pelancong dalam berwisata. Ini dia.

 

Panduan Jelajah Kota-kota Pusaka di Indonesia

Buku panduan ini disusun oleh Emile Leushuis, penulis asal Belanda, untuk menemani pembacanya menjelajahi kedinamisan 8 kota besar di Indonesia—Medan, Jakarta, Cirebon, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surakarta, Surabaya, dan Malang—dengan mengenakan kacamata sejarah.

Emile sudah lebih dari 20 tahun bergerak di dunia pariwisata. Kertertarikannya pada masalah urbanisasi di Indonesia yang meliputi, sejarah, arsitektur, dan tata kota mendorongnya untuk menulis buku ini. Sebelum diterjemahkan, buku ini sudah diterbitkan oleh KIT publisher dalam bahasa Belanda dengan judul Gids Historische Stadswandelingen Indonesie, pada 2011.

Susunan buku ini memudahkan pembacanya dalam memahami destinasi yang akan dituju. Pada bagian awal setiap kota, Emile selalu memberikan pengantar sejarah kota tersebut secara garis besar, mulai dari pembangunan kota dengan arsitektur tradisional, pengaruh kolonial pada pengembangan kota, sampai pada masa setelah kemerdekaan. Semua informasi tersebut disertai beragam data visual serta diagram yang memadai. Setelah itu, ada peta perjalanan berwarna yang menunjukan rute yang dapat digunakan. Pada petanya, diberi beberapa check point berupa nomor yang  menunjukan tempat-tempat menarik serta jam bukanya. Pada bagian penjelasan rute, nomor-nomor tersebut juga dapat digunakan sebagai back-to-back reference antara narasi dan peta perjalanan.

Buku ini tidak tergolong ringkas (22 cm x 24 cm) untuk dibawa berjalan-jalan. Tetapi, gaya bahasanya yang instruksional dan grafis yang jelas memudahkan penggunanya. Informasi visualnya juga melimpah. Melancong dengan buku ini seperti sedang berwisata dengan dipandu seorang tour guideyang paham betul sejarah. Pun, buku ini juga berguna bagi mereka yang memerlukan referensi padat informasi untuk mengenal kedinamisan sejarah kota-kota di Indonesia.

 

 

Gunawan Tjahjono: Arsitek Pendidik

Seorang dosen dapat menjadi sosok yang ditakuti, dikagumi, ataupun menjadi seorang teman. Tatap muka yang kita hadapi puluhan jam dengan dosen ketika ceramah maupun asistensi selalu meninggalkan kesan dan pesan tersendiri. Ini menjadi salah satu sudut pandang yang diangkat di dalam buku Gunawan Tjahjono : Arsitek Pendidik.

Buku ini merupakan telaah sosok Gunawan Tjahjono, Guru Besar Departemen Arsitektur Universitas Indonesia dan, saat ini, rektor Universitas Pembangunan Jaya. Safitri Ahmad, penulisnya, pernah diajar oleh Gunawan ketika ia menjadi menjadi mahasiswa pascasarjana di bidang Kajian Pengembangan Kota, Universitas Indonesia pada 2003. Ia menulisnya selama enam tahun, sejak 2007 sampai 2013. Proses pengumpulan data serta wawancara narasumber menjadi pengalaman yang memberikannya banyak pelajaran.

“Bagi saya, sangat menyenangkan menebak-nebak cara pikir Pak Gun. Mencoba memahami apa yang Bapak (Gunawan Tjahjono) maksud. Jadi semangat. Jadi ingin tahu,” ucap Safitri, penulis buku ini.

Buku ini kaya akan rekaman percakapan dan perkuliahan. Isinya banyak memuat hal-hal yang tidak asing bagi mahasiswa arsitektur, seperti logbook yang menjadi bahan rekaman proses kuliah, asistensi dengan dosen, serta diskusi kelas. Pembaca seolah dapat merasakan bagaimana menjadi mahasiswa dalam kelas Gunawan.

Ada 27 bab yang dimuat. Tidak ada ikatan kronologis antar bab-babnya, namun secara tersirat buku ini dapat dibaca menjadi beberapa bagian: bagian yang membahas bagaimana cara Gunawan mengajar, sosok lain dari Gunawan, dan bagian yang menampilkan karya-karyanya. Akumulasi dari setiap bagiannya membantu pembaca untuk mengenal sosok Gunawan Tjahjono.

 

 

Indonesia Dalam Infografik: Kumpulan Infografik Kompas

Infografik selalu punya tempat spesial di tengah kumpulan teks berita ribuan kata di dalam koran yang sehari saja umurnya sudah boleh dibuang. Dalam rangka menyambut ulang tahun ke-49, Kompas menyusun antologi infografik yang merekam Indonesia. Ada 45 infografik dari 17 perancang grafis yang mengulas Indonesia dari aspek sejarah, budaya, dan lingkungan.

Dari semua infografik yang dimuat pada buku ini, informasi arsitektural mendominasi. Mulai dari rumah tradisional Toraja, Candi Borobudur, Museum Keraton Yogyakarta, Masjid Istiqlal, Desa Wae Rebo, sampai Stadion Glora Bung Karno (GBK).

Pada setiap pembahasan, terdapat beragam informasi visual yang siap memanjakan mata. Pada infografik Gelora Bung Karno, misalnya, terdapat perspektif eksterior yang menunjukkan ciri khas arsitekturalnya, denah yang menampilkan pembagian sektor tribun dan jalur aksesnya, hingga gambar potongan yang menjelaskan sirkulasi di dalam stadion dan gambaran struktur bangunannya. Ada pula gambar perspektif mata burung kawasan yang menunjukkan relasi stadion dengan ruang-ruang di sekitarnya.

Selain kumpulan infografik tentang Indonesia, buku ini juga menceritakan kisah di balik infografik sendiri. Ada 7 narasi intermezzo yang disisipkan di antara kumpulan infografik. Melaluinya, pembaca juga akan diajak untuk memahami infografik dari sudut pandang yang berbeda.

 

 

Ketukangan: Kesadaran Material

Buku  Ketukangan: Kesadaran Material yang disusun oleh tim kurator Paviliun Indonesia pada Venice Architecture Biennale ke-14 mengajak pembacanya melihat seratus tahun sejarah arsitektur Indonesia dan mempertanyakan aspek-aspek fundamental dari identitas arsitektur kita. Salah satu gagasan yang dapat menjawab pertanyaan tersebut terletak pada tema dari Paviliun Indonesia yaitu ‘ketukangan’.

Bagian utama yang membentuk buku ini terletak pada bagian eksposisi, yaitu penelusuran riwayat 6 material utama yang punya peran signifikan bagi arsitektur Indonesia: Kayu, Batu, Bata, Baja, Beton dan Bambu. Masing-masing material dibahas secara kronologis.

Misalnya, pada material kayu, pembahasan dimulai dari latar belakang mengapa menjadi material ini sering dipakai dalam arsitektural di Indonesia dan berlanjut ke bagaimana kayu dapat mempengaruhi arsitektur di Indonesia dalam berbagai budaya. Pembaca lalu dibawa menelusuri bangunan-bangunan yang menandai eksplorasi penggunaan material kayu pada sepanjang abad ke-20. Banyak informasi visual yang tersebar pada setiap halaman, yang memudahkan pembaca megenal subjek arsitektural yang sedang dibahas. Melaluinya, pembaca dapat melihat bagaimana material kayu yang semula sederhana dapat berevolusi dalam berbagai konteks.

Konten yang padat dalam buku ini diimbangi dengan penyusunan tata letak yang cukup lega. Pada setiap halamannya, terdapat whitespace yang cukup besar. Narasi di dalamnya disusun agar hanya memenuhi setengah halamannya, sementara ruang setengahnya lagi diisi oleh berbagai informasi visual. Kita juga bisa melihat hirarki dari gambar-gambar yang tercantum.

 

Kagunan: Karya Arsitektur Adhi Moersid

“Pada budaya kontemporer,” ucap Adhi Moersid, satu dari enam pendiri Atelier 6, “selalu ada upaya-upaya dari manusia untuk menanggapi arus-arus yang mengelilinginya dengan memunculkan satu bahasa ekspresi yang secara sadar dibangunnya.”

Begitulah ia mengantar buku Kagunan, monograf karya-karyanya yang ditulis oleh Ananda Feria Moersid, istrinya. Selama 35 tahun penjelajahan karyanya, Adhi Moersid bersama bironya memang banyak terlibat dalam proyek-proyek yang sarat ekspresi identitas—aspek yang menjadi topik hangat dalam dunia arsitektur pada masa produktifnya di dekade 1970-an.

Judul Kagunan diambil dari kosakata Jawa yang berarti “estetika yang fungsional dan membumi,” nilai yang ia pandang mampu merangkum 35 tahun kiprahnya dalam dunia arsitektur. Bahwa buku ini diterbitkan dengan membawa nama Adhi Moersid—bukan Atelier 6—menunjukkan independensi masing-masing penggawa biro tersebut, yang bagi Adhi “selalu memberi ruang bagi masing-masing individu untuk mengembangkan pribadi dan minat secara kreatif.”

Karya-karya Adhi yang dimuat dalam buku ini berasal dari tipe bangunan yang beragam, seperti kafe, rumah, museum, resort, hingga rumah ibadah, dan dari klien yang beberapa namanya kita kenal betul antara lain Sardono W. Kusumo, H. S. Dillon, Abdurrahman Wahid, hingga Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Buku ini juga mengulas Masjid Said Naum, karya Adhi yang memenangkan penghargaan Aga Khan Award pada 1986.

Ananda Moersid membagi eksposisi buku ini menjadi enam bagian besar. Konstruksi Papan-Paku: Kekinian dan Akar Tradisi memberikan ruang khusus bagi rumah pribadi Adhi sebagai titik mula pencarian sang arsitek yang berfokus pada eksplorasi konstruksi dalam menggubah atap. Lokal, Kolonial, dan Langgam Baru, bagian kedua, merangkum proyek-proyek hotel dan resort yang berupaya merefleksikan nilai lokalitas. Bagian berikutnya Ruh, Spiritualitas, dan Arsitektur, menelusuri karya-karya rumah ibadah, baik itu masjid dan gereja, yang Adhi maksudkan untuk mengekspresikan dan, lebih jauh lagi, menghadirkan kesadaran spiritual. ‘Tengeran’: Sebuah Revitalisasi menampilkan upaya pelestarian arsitektur yang mengindahkan lingkungan tempat setiap karya berada. Dialog: Membangun Ruang dan Waktu menyajikan karya-karya residensial yang hampir semuanya Adhi kerjakan bekerja sama dengan dua hingga tiga generasi terampil dari Kudus yang dikenal sebagai orang kalang. Bagian terakhir, yaitu Struktur dan Bahasa Urban, menyingkap eksplorasi Adhi dalam aspek teknologi dan urban pada karya-karyanya seperti Museum Migas TMII dan kafe Rolling Stone.

Disertai dengan foto-foto yang representatif dan teks deskripsi bilingual, buku ini menjadi dokumentasi berharga mengenai satu tokoh penting dalam arsitektur Indonesia yang karya-karyanya sukses menjadi penanda masanya.

 



comments powered by Disqus
 

Login dahulu