
Tahun ini ditutup dengan mousse cokelat yang manis, pemberian dari ketiga bos saya. Sungguh menyenangkan menyantapnya. Saya ingat betul bagaimana lapisan cokelatnya mulai dari bagian yang padat hingga bagian yang meleleh memanjakan lidah yang sudah pahit ini. Ada sedikit ragu yang muncul ketika saya selesai menikmatinya. Saya tahu, memang perlu pahit dulu untuk merasakan yang manis. Tapi pertanyaan yang muncul berikutnya: perlukah saya bergulat dengan segala pahit untuk mendapatkan sepiring cokelat mousse lagi?
Sudah hampir satu tahun saya bekerja di Aboday. Datang pukul sembilan pagi, lalu terbuai lima belas jam berikutnya dalam ruangan serba putih. Tak bosan-bosannya saya memandang deretan meja putih dan hambalan berisi berkas-berkas yang mengelilingi ruangan. Lantai, dinding, hingga langit-langit yang juga putih seakan tak rela melihat saya mengantuk. Saking putih terangnya, ruang ini selalu membuat saya selalu terjaga. Pagi dan sore tak lagi beda. Rasanya waktu dibuat hanya untuk lalu-lalang.
Ketika pertama kali melihat dan mendengar Aboday, saya sudah tahu bahwa suatu saat saya akan bekerja di sana. Pesona Ferdy, kakak kelas zaman kuliah yang kini menjadi kepala departemen arsitektur di kantor Aboday, dan sosok Ary Indra, salah satu dari bos saya, menjadi penyebab utama saya jatuh—entah tenggelam atau tidak.
Setelah lulus dari jurusan arsitektur Universitas Katolik Parahyangan, saya, dan juga banyak kawan lain, berlomba meninggalkan Bandung. Berbekal ilmu yang saya dapatkan ketika magang semasa kuliah, saya memberanikan diri untuk melamar di Aboday. Ternyata saya tidak mengalami hambatan apa pun untuk bergabung bersama biro ini. Namun bersetubuh dengan biro ini rupanya bukan hal yang mudah.
Saya dilibatkan dalam beberapa proyek dan sayembara yang diikuti oleh Aboday. Salah satu di antaranya adalah proyek Pitamera—apartemen tiga puluh empat lantai dengan sosok selubung menyerupai pita merah yang menghubungkan semua bagian bangunan. Proyek ini bikin saya pusing. Saya tidak tahu seluk-beluknya sejak awal karena memang saya diikutsertakan di tengah jalan, demi mematangkan pengetahuan teknis saya. Pasangan saya dalam proyek ini adalah Ferdy.
Akhir-akhir ini saya baru tahu, ternyata saya dipasangkan dengan Ferdy bukan semata-mata karena sudah kenal sebelumnya, tapi juga karena sama-sama perfeksionis. Kami sama-sama semacam orang yang tidak akan meninggalkan suatu karya begitu saja karena sayang dengan hasil karyanya. Tak mengapa bila raga ini melemah, daripada asa yang harus mengalah. Itu yang akan selalu saya ingat dari Ferdy.
Apartemen kelas menengah ke atas ini telah mengubur hampir semua impian-impian yang sudah ada di bayangan Ferdy, akan betapa gagahnya bangunan ini bila terbangun sesuai rencana awal. Bahkan segmennya bukan lagi kelas menengah ke atas lagi, melainkan kelas menengah tanpa ke atas. Keputusan untuk turun kelas terpaksa harus diambil karena hanya sedikit unit yang terjual. Strategi penjualan tidak membuahkan hasil menggembirakan. Semua ego tertahan, dan jari-jari tangan terus dihadapkan dengan pergantian-pergantian kecil dalam desain bangunan ini. Makin muak rasanya dengan perangkat lunak berlayar hitam dengan layer-layer khusus di dalamnya yang selalu saya gunakan untuk menggambar. Ditambah lagi tuntutan gambar dengan berbagai macam perubahan, yang harus selalu diselesaikan dalam waktu yang sangat singkat.
Jenuh bukan hanya ada di dalam ubun-ubun. Mungkin telah menjalar hingga saraf-saraf motorik malas memberikan respon. Bagaimana tidak, saya harus pulang jam sepuluh malam tiap hari, tidak pulang ke rumah selama sebulan, tidak bisa pergi ke mana-mana bahkan hanya untuk sejenak makan malam bersama kekasih. Kalau orang bilang, “Memang seperti itu kehidupan arsitek.” Bohong, kata saya. Kalimat itu yang akhirnya membuat semua orang berpikir kalau arsitek itu sudah tidak punya uang, tidak punya waktu pula.
Sampailah saya di penghujung tahun, tepat di titik lelah. Segala pikiran beradu, campur aduk. Pernah seorang berkata, “Kerja itu untuk hidup, bukan hidup untuk kerja”. Rasanya kata-kata itu terus terngiang hingga ingin sekali saya mencari pekerjaan di tempat lain. Tanpa diminta, tawaran bekerja datang tanpa henti, sungguh sangat menggiurkan. Namun saya memutuskan untuk tidak menerimanya. Mungkin saya simpan saja segala pahit tahun ini. Entah untuk apa.
Di akhir tahun 2013, saya mengunggah sebuah puisi di salah satu media sosial, lengkap dengan foto yang saya ambil di salah satu puncak pencakar langit. Foto itu berlatar kota Jakarta dan fokus utamanya mengarah pada lengan gondola yang dililit kabel-kabel baja yang sudah karatan.
Kalau boleh, biarkan tumpah ruah kata-kataku
Sudah penghujung tahun toh?
Jadi,
Aku ini sudah di tepian..
Hm..
Oh mungkin itu saja kata-kataku
Salam.
Tak lama kemudian ada yang membalas.
Sepotong kata-kata yang hampir tajam ini
Apa hanya kabel itu yang tahu artinya?
Sedap
Kamu hampir menarikku. Mendengarkan.
Teruskan?
Ternyata yang membalas puisi saya adalah Pak Ary. Ia tahu betapa lelahnya ada di dalam dunia arsitek. Betapa lelahnya duduk, memberikan senyum termanis, hidup layaknya seorang arsitek, membuat keputusan, sampai berkutat dengan program berlayar hitam. Tapi ia tahu pula betapa pahitnya untuk dapat merasakan manisnya.
Pilihannya hanya ada dua
Antara terjun jatuh lalu orang bilang aku orang gila
Atau menyisir tepian saja lalu orang bilang aku berkarat
Sambil mengoreksi kata-kataku, ia membalas,
Sisir itu tepian
Karatan itu tak bakal datang karena seseorang siap mengusirnya
Kalaupun terpeleset
Di bawah itu ember berisi mousse cokelat sudah siap melunakkan jatuhmu
Puisi ini hampir meyakinkan kecuali di bagian ember berisi mousse cokelat
Meskipun tidak meyakinkan ternyata mousse cokelat itu manis. Entah salah panggang atau salah apa pun dalam prosesnya, ia cukup manis. Cukup manis untuk menutup yang pahit.