Rafael Arsono: Publikasi Arsitektur adalah Sebuah Arsitektur

Bagaimana publikasi arsitektur mewarnai hidupnya di Solo, Italia, dan Singapura.

Author
Rafael Arsono, saat berbicara di DiskusiKonteks#1

Rafael Arsono adalah arsitek yang, dalam tesisnya yang berjudul The State of Today's Architectural Web-Magazine (2010), memetakan publikasi arsitektur online di seluruh dunia. Tesis tersebut ia kerjakan saat menempuh studi master di Politecnico di Milano, di bawah bimbingan Professor Giovanni La Varra.

(Tesis Rafael bisa anda unduh di tautan ini)

Saya berkesempatan mewawancarainya setelah DiskusiKonteks#1. Dari kisah yang ia ceritakan,  saya bisa merasakan kegemarannya pada dunia publikasi arsitektur. Ia bahkan sudah membuat majalah sendiri saat kuliah di Solo, sebelum ia kemudian mendirikan JongArsitek! bersama rekan-rekannya. Ia beranggapan bahwa publikasi arsitektur adalah suatu bentuk arsitektur juga.

 

Di mana Anda bekerja sekarang?

Sekarang saya bekerja di kantor W Architects, sebuah boutique architecture consultant di Singapura. Konsultan ini banyak merancang museum, antara lain Museum Peranakan dan National Museum. Sekarang, kami sedang mengerjakan proyek konservasi Victoria Theater & Concert Hall yang didapat setelah memenangkan sayembara terbatas.

Apa peran Anda di sana?

Saya berperan sebagai Resident Architect. Jadi, di sana ada Project Architect di bawah Director. Lalu, ada orang yang mengurusi detail-detail. Setelah itu ada Resident Architect, orang yang bertugas menyelesaikan masalah-masalah yang terjadi di lapangan, misalnya bagian ini bocor, bagian itu tidak bisa ditutup langit-langitnya, pintu tidak bisa dipasang, dan termasuk juga masalah jadwal pengerjaan. Saya juga mengatur site meeting, client consultant meeting, dan segala macam yang berhubungan dengan proyek yang sedang berjalan. 60% waktu saya dihabiskan di site.

Jadi, lebih pada running, bukan planning?

Benar. Saya tidak mendesain. I make it happen. Tetapi, kalau ada rencana yang tidak bisa dibuat, maka saya harus merancang ulang juga. Tugas saya adalah menyampaikan perkembangan dan problem-problem pada site ke kantor. Itu aktivitas yang menyibukkan, tetapi di sela-sela itu, seperti di akhir pekan, saya pulang ke Indonesia.

Apakah bironya punya situs sendiri?

W Architects tidak punya situs karena menurut Mok Wei Wei, prinsipal W Arhitects, semua boutique designer terbaik itu akan dicari sendiri oleh klien. Ia bilang bahwa ia tidak punya waktu untuk mengurus situs. Orang yang sudah tahu akan datang dengan sendirinya. Berbeda dengan Formwerkz Architects, tempat saya bekerja sebelumnya. Mereka sangat teratur mempublikasikan karyanya. Setiap 6 bulan mereka menaruh karyanya di Dezeen dan situs-situs lainnya.

Jadi memang ada strategi khusus yang berbeda dari setiap biro untuk mempublikasikan karyanya?

Menurut saya generasi yang berumur 50 ke atas mungkin tidak terlalu membutuhkan publikasi online seperti itu. Tetapi generasi muda, emerging designer, masih butuh proyek sehingga mereka harus memamerkan dan mempublikasikan karyanya.

Apakah ada hubungan antara tesis yang Anda buat dengan keseharian Anda sekarang?

Not necessarily. Tetapi, tesis itu membuat saya melihat lebih dalam tentang situs dan media. Saya bisa melihat situs mana yang peletakannya itu ada runutan, ada keseriusan, ada craft, walaupun isi situs itu cuma urusan dekorasi. Saya baru menikah tahun lalu dan sedang sibuk mengisi rumah dengan perabot rumah tangga, sehingga saya banyak melihat situs dekorasi furnitur dan semacamnya. Ada situs yang peletakannya bagus, namun ada juga yang asal. Itu kelihatan sekali. Dengan gampang kita bisa melihat keseriusan di balik itu. Saya juga suka web kritik arsitektur, atau majalah arsitek yang dibuat oleh AIA. Lalu saya juga sedang membaca tentang Kimbell Art Museum di Texas. Ada yang saya baca sebelum tidur, saat sedang di wc, atau sedang santai. Saya merasa jadi lebih selektif, meskipun mungkin tidak berguna secara langsung.

© Rafael Arsono, The State of Today's Architectural Web-Magazine (2010).

Mengapa memilih topik publikasi online?

Karena beasiswa saya berakhir bulan Agustus, saya harus menyelesaikan kuliah saya di bulan Juli. Di Italia, waktu ujian ada tiga, yaitu pada bulan Desember, Juli, dan September. Jadi, kalau lewat bulan Juli, harus ujian bulan September. Biasanya semua mahasiswa seperti itu. Waktu libur musim panas mereka bisa santai mengerjakan tesis. Tetapi, saya tidak bisa begitu karena saya harus pulang bulan Agustus. Otomatis saya harus mengerjakan tugas akhir dan tesis pada waktu yang bersamaan. Topik yang menurut saya mungkin untuk dikerjakan dalam jangka waktu tersebut adalah topik tentang publikasi online.

Ada ketertarikan tertentu dengan publikasi online?

Sepertinya, secara tidak sadar memang ada. Saya mencoba melihat kembali ketika saya mengerjakan tesis itu. Saya teringat bagaimana dulu saya mengerjakan media di Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, sampai kerap begadang meskipun bukan untuk urusan tugas. Saya mengumpulkan bahan dari materi kuliah dan buku-buku dari perpustakaan, misalnya tentang lima arsitek dekonstruktif terbaik. Penggunaan internet dulu belum seluas sekarang. Saya terjemahkan materi yang saya temukan, lalu saya cetak dan jual seribu rupiah. Saya tawarkan di tangga dan selasar kampus. Ternyata banyak yang antusias juga. Sayangnya tidak pernah habis sehingga tidak pernah balik modal. Tetapi, ya saya merasa senang saja. Jadi, di alam bawah sadar saya merasa dari dulu sangat dekat dengan dunia itu. 

© Rafael Arsono, The State of Today's Architectural Web-Magazine (2010).

Bagaimana dengan sekarang?

Sekarang saya mengoleksi majalah. Saya melihat majalah seperti arsitektur. Misalnya Abitare. Ada edisi "being architect”, misalnya being Renzo Piano. Seandainya kamu bekerja sebagai jurnalis di Abitare, kamu akan dikirim untuk mengikuti Renzo Piano selama satu tahun, meliput seluruh kegiatannya. Sampai saat dia bertemu Frank Gehry di acara pembukaan Pameran Triennale di Milano pun diliput. Menarik sekali, ada dua pembicara besar, keduanya pemenang Pritzker Prize, ngobrol bersama. Selain itu, diliput juga cara dia mengelola kantor, melakukan rapat internal, dan lain-lain. Menurut saya, keunikan jurnal atau majalah itu adalah apabila habis, mereka tidak terbit lagi.

Akibatnya menjadi barang langka.

Benar. Waktu saya di Italia, Saya bisa seharian di perpustakaan. Saya baca Casabella dari edisi tahun 60-an. Waktu itu postmodernisme sedang ramai-ramainya. Waktu saya kuliah ada perdebatan apakah kita mau mengikuti aliran postmodern atau yang lain. Berbeda dengan zaman sekarang yang lebih bebas. Kita mau mengikuti apa saja bisa, tidak ada satu teori yang mutlak dipegang. Pada tahun 80-an ada Tadao Ando, David Chipperfield, Herzog de Meuron, Luis Barragán. Mereka arsitek yang bisa dibilang konsisten dan sangat loyal terhadap arsitektur modern, yang diterjemahkan dalam bahasa yang lebih kontemporer. Mereka dibahas di majalah Domus tahun 80-an. Pada waktu itu majalah itu tidak melulu membahas soal apa yang baru. Mereka lebih banyak membahas problem dan tema tertentu, misalnya soal hilangnya karakter akibat postmodernisme. Arsitek-arsitek itu dulu belum terkenal. Mereka mencoba loyal terhadap arsitektur modern. Waktu baca itu saya merinding. Sekarang kan mereka menjadi arsitek-arsitek besar. Jadi, saya suka sekali membaca hal-hal seperti itu.

Apakah Anda juga menikmati gambar di majalah-majalah itu?

Yang saya juga sukai dari majalah-majalah itu adalah teknik-teknik presentasi arsitektur yang disajikan di situ. Ada gambar-gambar perspektif dan aksonometri yang unik, misalnya gambar-gambar retrospektif James Stirling di Architectural Review. Ada juga senior saya yang terlibat di San Rocco; ketika ia membahas sebuah proyek, ia sampai menggambar ulang exploded axonometric-nya. Buat saya, cara dia menggambar itu juga adalah sebuah arsitektur. Art of representation. Menurut saya itu menarik. Bukan bangunannya sendiri, tetapi cara merepresentasikannya. Waktu kuliah di Italia, ada tugas memilih sebuah bangunan yang arsitekturnya berpengaruh terhadap diri masing-masing, lalu direpresentasikan, digambar ulang. Hasilnya sadis-sadis. Ada yang membuat maket UN Studio Mercedes Benz. Ada yang membuat maket Tjibao Center Renzo Piano yang bisa dibuka tutup. Saya sendiri membuat salah satu karya SANAA. Saya membuatnya dengan menggunakan banyak kertas lapis untuk menunjukkan bahwa sirkulasinya bisa bebas ke mana saja, berbeda dengan museum lain yang biasanya sirkulasi linear saja. Ada juga yang membuat kapel kecilnya Peter Zumthor. Aksonometri, potongan semua kayu-kayunya digambar. Wah, gila. Melihat karya mahasiswa saja bisa membuat saya merinding. Mereka benar-benar put effort ke situ. Dari situ kita bisa tahu mana karya yang cuma dibuat dalam 5 menit, mana yang 1 jam, atau yang sebulan. Ada effort dan beauty di situ.

Jadi media penyampaian itu sendiri pun adalah sebuah arsitektur?

Iya. Kita berarsitektur lewat itu. Begitu juga dengan penulis. Saya senang dengan orang seperti Robin yang menurut saya berbakat dalam menulis. Buat saya, menulis itu butuh waktu lama dan cukup menguras energi. Saya tidak ada waktu, berbeda dengan Robin yang bisa membuat tulisan dengan cepat sekali. Itu bagus. Saya menikmati saat membacanya. Tulisannya tidak terlalu bertele-tele, tidak sok-sok puitis, tetapi jelas poinnya. Saya suka yang seperti itu.

© Rafael Arsono, The State of Today's Architectural Web-Magazine (2010).

Bagaimana kalau bertemu orang yang bilang "Saya tidak suka baca"?

Ya menurut saya itu excuse saja. Saya melihat orang-orang besar yang karyanya bagus tidak pernah berhenti belajar. Contohnya Pak Han Awal. Dia masih mau datang ke seminar karena tertarik dengan temanya. Lalu, ada juga Adi Purnomo yang mengelaborasi apa yang sudah ia lakukan, bahwa ia menganggap rumah itu adalah interior dari kota. Ini kan analogi yang sangat bagus. Bisa dibilang, saya sendiri tidak suka baca. Makanya saya lebih suka cerpen dan majalah karena tulisannya pendek. Buku bacaan berat seperti S,M,L,XL tidak pernah saya baca tuntas. Selain mungkin karena tidak ada waktu, saya juga tidak bisa kalau harus fokus membaca buku terus-menerus dari awal sampai akhir.

Pada kesimpulan tesis Anda, disebutkan bahwa efek maraknya publikasi arsitektur online ini adalah munculnya Generic Global Anonymous Images. Apakah itu hal yang positif atau negatif?

Bisa keduanya. Menurut saya hal itu membentuk sebuah bahasa formal. Jadi, yang menurut kebanyakan orang bagus secara generik adalah seperti itu. Namun, kita juga tidak pernah tahu apa yang sebenarnya terjadi di balik gambar itu. Kita mengerjakan proyek kan selalu ada permintaan, klien, lingkungan, dan regulasi sekitarnya.

Konteksnya jadi tidak terbaca?

Betul. Kalau di Indonesia itu konteksnya hanya klien karena regulasi kurang kuat, tidak sekuat Singapura misalnya. Jadi proyek arsitektur adalah duel antara klien dan arsitek untuk menciptakan arsitektur yang bisa dibilang aman, atau masuk ke formal language itu. Keseragaman itu sebenarnya ada baiknya juga untuk menjaga kualitas, sehingga kita bisa selalu mengacu pada hal itu bila menghadapi kendala di lapangan.

Jadi, ada standar global?

Ya. Saya tidak bilang bahwa itu berarti jelek. Belum tentu ada gunanya juga untuk selalu beda. Justru kita kehilangan wajah kota karena semua mau tampil beda. Coba lihat saja kalau sayembara. Kerangka acuannya hampir selalu tentang membuat bangunan yang ingin menjadi pusat orientasi, ingin tampil beda. Pada akhirnya tampilannya sama semua. Jadi, berbeda tidak berarti selalu lebih bagus.

© Rafael Arsono, The State of Today's Architectural Web-Magazine (2010).

 Baca juga: Reportase DiskusiKonteks #1: Publikasi Online dan Perannya pada Arsitektur Kita

 



comments powered by Disqus
 

Login dahulu