
Setelah beberapa kali menolak ajakan teman untuk berkunjung ke OMAH (On Meeting Architecture Hub) di Puri Indah, akhirnya pada tanggal 31 Januari kemarin, saya sempatkan untuk datang ke sebuah kuliah singkat yang diadakan disana. Di ruangan kecil berdinding penuh buku ini, diskusi-diskusi tentang arsitektur bergulir hangat. Setiap orang bebas tertawa dan memberi tanggapan. Pengalaman pertama ini langsung mendorong saya mendaftarkan diri untuk lima seri kuliah selanjutnya.
Hari itu, OMAH menggelar sebuah kuliah singkat bertajuk Architecture as Profession yang dibawakan oleh David Hutama, Ketua Jurusan Arsitektur Universitas Pelita Harapan. Ia memulai kuliahnya dengan menceritakan betapa heroiknya profesi arsitek di mata awam.
Meledaknya pengaruh media sosial ternyata menaikkan pamor arsitek dan segala cerita tentang keberhasilan arsitekturnya. Mulai dari beredarnya informasi bangunan keren di berbagai penjuru dunia, inovasi yang mencengangkan mata, hingga visi desain nan heroik yang berusaha dicapai. Arsitek kadang disandingkan dengan pengaruh budaya pop di kalangan orang muda. Saat bertemu anak-anak muda yang visioner, keren, dan asik, muncul kata-kata “Ah, dia pasti arsitek.” Bahkan di dunia film, profesi ini kerap ditempelkan pada tokoh yang kesannya misterius dan punya dunia sendiri. Sebut saja Ariadne, tokoh mahasiswi arsitek yang diperankan oleh Ellen Page di film Inception (2010).
“Mungkin tidak salah menganggap arsitek profesi yang heroik," tambah David. Sebelum kata ‘designer’ muncul pada tahun 1900-an, Plato pernah menggunakan kata ‘demiurgos’, sosok yang bisa menciptakan sesuatu dari hal abstrak menjadi hal yang nyata. Dalam mitologi Yunani, ada juga kisah tentang seorang artis terampil bernama Daedalus yang menciptakan labirin untuk mengurung Minotaur. Mereka, cikal bakal arsitek, dilihat dunia berdasarkan apa yang dikerjakan, tetapi cara mereka mengerjakannya tidak diungkap dan dibiarkan transendental begitu saja.
Pada kenyataannya, di balik dramatisasi film, cerita, dan publikasi arsitektur yang sehari-hari kita lihat, ada cerita yang tidak diungkap. Cerita tentang klien, budget yang terbatas, bos yang galak, komunikasi yang sulit dengan tukang, berbagai masalah konstruksi, dan masih banyak cerita lainnya yang sebenarnya bisa didapat jika kita menggali lebih dalam tentang profesi arsitek.
Pembahasan mengenai profesi arsitek tidak lepas dari pengertian ‘arsitek’ dan ‘profesi’ itu sendiri. David memberikan penjelasannya dengan mengacu pada dua sumber. Hal Box, dalam bukunya berjudul Think Like an Architect menyatakan bahwa arsitek adalah seorang yang dapat menguasai segala sesuatu secara general, memproduksi karya seni sebagai jasa pelayanan untuk memenuhi kebutuhan manusia. Menurutnya, setiap orang bisa menjadi arsitek, dalam arti melakukan pekerjaan yang dilakukan arsitek. Sedangkan UIA (International Union of Architects) menambahkan syarat sertifikasi sebelum menyebut seseorang berprofesi sebagai Arsitek, dengan huruf "A" kapital. Profesi sendiri selalu dikaitkan dengan apa yang dikerjakan secara kompeten dan menghasilkan kompensasi.
David melanjutkan kuliahnya dengan memaparkan tiga peran Arsitek, yaitu seniman, technician, dan bussinessman. Yang pertama, Arsitek sebagai seniman, yaitu orang yang berkarya dan menghasilkan desain-desain multiguna. Dalam dunia pendidikan tinggi, peran inilah yang dimainkan secara bebas oleh mahasiswa, mulai dari memilih visi arsitektural yang besar, hingga menerapkannya dalam desain yang membuat orang menegok dua kali. Yang mereka lakukan tidaklah nyata, tidak perlu mempertimbangkan klien dan kondisi keuangannya, atau hal-hal teknis tentang cara pembangunan. Mereka bebas mendesain tanpa terlalu banyak memikirkan dua peran lain yang baru ditemui setelah terjun dalam ranah profesi yang sebenarnya, yaitu sebagai technician dan bussinessman.
Pada peran yang kedua, yaitu sebagai technician, Arsitek harus mampu menghasilkan gambar-gambar detil seperti posisi talang, hubungan dinding dan kolom, kemiringan acian, dan masih banyak lainnya, supaya bangunan yang ia ciptakan tidak hanya memanjakan mata, melainkan juga dapat digunakan dengan baik. Edward Robbins, dalam bukunya berjudul Why Architects Draw, menyebutkan dua tujuan gambar arsitektural. Yang pertama, gambar sebagai media penyampaian konsep yang dihasilkan secara personal untuk memformulasikan keinginan arsitek. Yang kedua, gambar sebagai media sosial, yang digunakan untuk mengkomunikasikan gagasan kepada orang lain. Gambar ini sifatnya instruksional dan digunakan oleh tukang untuk membangun.
Pada peran yang ketiga, yaitu sebagai bussinessman, Arsitek harus selalu menawarkan performa yang didasari pelayanan dan kepercayaan publik. Prinsip design technology dan organizational values, menjadi dua kunci utama sebuah biro arsitek. Praktik arsitektur tidak pernah lepas dari strategi penentuan keuntungan, pemilihan metode desain, kebijaksanaan memilih proyek, perekrutan tenaga kerja tambahan, atau keputusan untuk berkarya sebagai spesialis tipologi bangunan tertentu, yang akhirnya menjadi landasan kemana biro tersebut berkembang.
Di akhir pemaparannya David mengatakan bahwa pada akhirnya Arsitek memang tidak bisa kembali ke masa dulu lagi, ketika ia mengerjakan semuanya sendirian mulai dari gagasan hingga pembangunan. Di balik bangunan yang membelalakkan mata, Arsitek butuh orang lain untuk merealisasikan gagasannya. Apalagi seiring kemajuan zaman yang disertai fenomena baru tentang BIM dan 3D printed building, Arsitek dituntut untuk tetap rendah hati, mau belajar untuk menguasai berbagai alat desain, kemudian memegang kontrol atasnya untuk berinovasi lagi. David lalu menutup dengan pesan untuk selalu rendah hati dan mau membuka diri untuk belajar.
Pembicaraan tentang profesi Arsitek tidak berhenti di dalam ruang, tetapi terus didiskusikan oleh para peserta kuliah hingga siang sambil menikmati kue bronis yang disediakan di halaman depan. Ada yang jadi memikirkan kembali keputusannya untuk menjadi arsitek atau tidak, ada yang jadi lebih paham tentang pekerjaannya, ada yang jadi bisa menjelaskan pada ibunya tentang apa yang ia kerjakan selama ini, dan ada yang langsung mendaftar seri kuliah selanjutnya. Saya sendiri termasuk dalam kategori yang keempat.
OMAH menjadi sebuah tempat sosialisasi baru, tempat dua puluh sampai tiga puluh arsitek dan calon arsitek berkenalan, bertukar pikiran, berpendapat, dan terus belajar.