
Foto oleh:Sergio Bertolini(red)
Saya menemukan banyak rumah dalam puisinya, walau saya tak pernah mendapatkan gambaran fisik yang jelas mengenai sosok sebuah rumah. Di antara puisi-puisinya yang bercerita tentang rumah, salah satu yang selalu saya kenang adalah “Cita-cita” (2003).
Setelah punya rumah, apa cita-citamu? Kecil saja:
ingin sampai rumah saat senja supaya saya
dan senja sempat minum teh bersama di depan jendela.
Ah, cita-cita. Makin hari kesibukan makin bertumpuk,
uang makin banyak maunya, jalanan macet, akhirnya
pulang terlambat. Seperti turis lokal saja, singgah
menginap di rumah sendiri buat sekedar melepas penat.
Terberkatilah waktu yang dengan tekun dan sabar
membangun sengkarut tubuhku menjadi rumah besar
yang ditunggui seorang ibu. Ibu waktu berbisik mesra,
“Sudah kubuatkan sarang senja di bujur barat tubuhmu.
Senja sedang berhangat-hangat di dalam sarangnya.”
Puisi itu mengungkapkan kebutuhan seseorang untuk pulang ke rumah, untuk menikmati sebuah ritus sederhana, sebuah perayaan batin yang hangat dan damai. Namun, kerinduan semacam itu sering kali merupakan sesuatu yang kelewat mewah dan tak mudah.
Barangkali puisi itu juga ingin menyatakan bahwa rumah barulah rumah jika ia menyediakan ruang dan suasana di mana seseorang bisa mengalami tamasya imajinasi yang sepenuhnya personal. Rumah bukan hanya tempat berkumpul dan berinteraksi para anggota sebuah komunitas. Rumah barulah rumah jika ia mengandung puisi.
Penghayatan mengenai rumah dalam puisi tersebut berlanjut pada penghayatan mengenai tubuh. Tubuh sebagai rumah. Rumah yang dibayangkan masih menyisakan ruang untuk pengembaraan sunyi. Rumah yang tak kehabisan relung untuk melankoli.
Tubuh yang direnungi sebagai rumah tidak selalu tubuh sendiri. Bisa juga tubuh lain yang hidup dalam sejarah: Tubuh yang dikenal dari sebuah kisah.
Tadi aku mampir ke tubuhmu
tapi tubuhmu sedang sepi
dan aku tidak berani mengetuk pintunya.
Jendela di luka lambungmu masih terbuka
dan aku tidak berani melongoknya.
(“Mampir”, 2002)
Dalam sajak “Di Sebuah Mandi” (2000) identifikasi tubuh sebagai rumah menjadi kian pelik dan pulang bukan lagi sebuah peristiwa sederhana. Demikianlah, dalam peristiwa mandi berlangsung momen puitik yang multimakna. Tidak jelas, apakah tubuh yang dibayangkan sebagai rumah itu tubuh sendiri atau tubuh lain.
Di sebuah mandi kumasuki ruang kecil di senja tubuhmu.
“Ini rumahku,” kau menggigil. Rumah terpencil.
Tubuhmu makin montok saja.
“Ah, makin ciut,” kau bilang, “sebab perambah liar
berdatangan terus membangun badan
sampai aku tak kebagian lahan.”
Ke tubuhmu aku ingin pulang.
“Ah, aku tak punya lagi kampung halaman,” kau bilang.
“Di tubuh sendiri pun aku cuma numpang mimpi
dan nanti mungkin numpang mati.”
Kutelusuri peta tubuhmu yang baru dan kuhafal ulang
nama-nama yang pernah ada,
nama-nama yang tak akan pernah lagi ada.
“Ini rumahku,” kautunjuk haru
sebekas luka di tilas tubuhmu
dan aku bilang, “Semuanya tinggal kenangan.”
Di sebuah mandi kuziarahi jejak cinta di senja tubuhmu.
Pulang dari tubuhmu, aku terlantar di simpang waktu.
Tampaknya benar, cerita tentang rumah dan pulang telah menjadi salah satu pusat renungan dalam sajak-sajaknya. Dapat dimaklumi jika dalam sajak “Tiada” (2000) tertera sebuah frasa yang barangkali klise: “Tiada pengembara yang tak merindukan sebuah rumah.” Masalahnya, rumah dan pulang dalam sajak-sajaknya telah bergerak liar menuju dunia asing, dunia taksa, yang tak terjangkau oleh nalar sehari-hari. Pulang dalam sajak-sajaknya selalu diikuti dengan pertemuan yang tak lazim beserta peristiwa-peristiwa yang tak lazim pula.
Salah satu kecenderungan yang sangat menjengkelkan dalam sajak-sajaknya adalah bahwa pulang sering digambarkan sebagai hanya pulang sejenak, sekadar singgah, dan rumah hanyalah tempat persinggahan. Dalam sajak “Pulang Mandi” (1994), misalnya, seseorang yang telah sekian lama mengembara pulang sejenak ke rumah hanya untuk mandi. Mandi yang aneh. Mandi yang gila.
Lama minggat ke Jakarta dan tak pernah ada
kabar-beritanya, tahu-tahu ia muncul di depan pintu
dan berseru, “Ayo kita mandi!”
Wajah yang penuh jahitan, tubuh yang hampir rombengan
nyaris tak terbaca kalau tak ia tunjukkan
sepasang tato di pantatnya.
“Berbahagialah orang yang berani mandi,” aku bersabda,
“sebab ia akan menemukan tubuhnya sendiri.”
Maka dalam bahagia mandi ia kelupas karat waktu
pada tekstur hidupnya, kerak kenangan
pada tipografi nasibnya.
“Sakit!” ia menjerit. “Berdarah!”
Mungkin sedang ia lepaskan pakaian kotor
yang lengket dengan tubuhnya.
Kamar mandi kemudian sunyi.
Ia menghambur keluar, berjingkrak-jingkrak
seperti kanak-kanak dapat bingkisan di hari Lebaran.
“Aduh cakepnya,” aku menggoda,
dan ia memelukku sambil berkata riang,
“Mandiku sukses sekali, abang sayang.”
Lama ia tidak mandi. Tapi sekali mandi
ia langsung mencopot tubuhnya yang usang
dan menggantinya dengan yang baru,
yang mutakhir modelnya dan, tentu saja, tahan lama.
“Tidak tertarik ke Jakarta?” ia membujukku
sambil memamerkan tubuhnya yang trendi.
Ah, ya, mungkin perlu juga aku minggat ke Jakarta
agar suatu saat dapat pulang mandi dengan bahagia.
Ya, mandi dan kamar mandi bertebaran dalam sajak-sajaknya. Kamar mandi dan mandi telah menjadi alat ucap yang penting, lebih penting dari mandi dan kamar mandi dalam dunia rutin sehari-hari. Bukan mandi sembarang mandi.
Sebagaimana kita tidak beroleh deskripsi mengenai sosok atau bangun sebuah rumah, kita pun tak mendapat gambaran mengenai arsitektur sebuah kamar mandi. Tak ada petunjuk di mana letak kamar mandi dan bagaimana pula rupa kamar mandi. Yang lebih banyak kita lihat adalah suasana dan aktivitas yang ganjil di dalam atau di sekitar kamar mandi, tentu dengan tokoh-tokoh yang tak kalah ganjil dan gila. Tokoh-tokoh itu seakan-akan datang dari dunia mimpi, dunia dongeng, atau dunia kartun anak-anak. Dan semua itu terjadi pada malam hari.
Satu-satunya petunjuk yang bisa kita peroleh ialah bahwa kamar mandinya terhubung dengan kamar tidur. Saya bayangkan kamar mandi itu berada cukup jauh di seberang kamar tidur, dihubungkan oleh sebuah jalan atau lorong yang sepi dan gelap, paling pol remang-remang. Pada suatu malam di lorong sepi itu bertemulah dua orang entah siapa; yang satu hendak pergi ke kamar mandi, yang satu lagi hendak pulang ke kamar tidur.
Di tengah perjalanan antara kamar tidur dan kamar mandi
kami bertemu setelah sekian lama saling menunggu.
Ia pulang dari mandi, aku sedang berangkat
menuju mandi. Langkahnya mendadak terhenti,
pandangnya ragu, aku tertegun antara gugup dan rindu.
“Hai, apa kabar?” kami sama-sama menyeru.
Kami bertubrukan, berpelukan di bawah cahaya temaram.
Ketika itu tengah malam. Rumah seperti kuburan.
Lolong anjing bersahutan. Jam dinding
menggigil ketakutan.
“Jangan ke kamar mandi. Di sana tubuhmu akan dikuliti.
Ikut aku pulang ke kamar tidur. Sakitmu akan kuhabisi.”
“Tapi kamar tidur sudah hancur. Di sana kau
akan dimusnahkan. Ikut aku pesiar ke kamar mandi.
Sakitmu akan kuhabiskan.”
Kami bersitegang seperti seteru ingin saling mengalahkan.
“Bangsat kau. Sekian lama aku menunggu di kamar tidur,
kau enak-enak bertapa di kamar mandi.”
“Keparat kau. Sekian lama aku menanti di kamar mandi,
kau enak-enak mengeram di kamar mimpi.”
“Bagaimana kalau kita gelut di kamar tidur?”
“Ah, lebih seru berkelahi di kamar mandi.”
Di tengah perjalanan antara kamar tidur dan kamar mandi
kami tak tahu siapa akan mampus lebih dulu.
(“Di Tengah Perjalanan”, 2001)
Yang lebih mengerikan adalah mandi gelap. Alkisah, pada suatu tengah malam seseorang pergi mandi di kamar mandi yang gulita. Ia terus meraba-raba tubuhnya seakan sedang mencari-cari entah apa dan tidak juga menemukannya. Seakan tubuhnya pun merupakan kamar mandi yang gelap gulita.
Tengah malam ia tiba-tiba terjaga, kemudian
membangunkan Seseorang yang sedang mendengkur
di sampingnya. Antar aku ke kamar mandi.
Ia takut sendirian ke kamar mandi
sebab jalan menuju kamar mandi sangat gelap dan sunyi.
Jangan-jangan tubuhku nanti tak utuh lagi.
Maka Kuantar kau ziarah ke kamar mandi
dengan tubuh tercantik yang masih kaumiliki.
Kau menunggu di luar saja.
Ada yang harus kuselesaikan sendiri.
Kamar mandi gelap gulita. Kauraba-raba peta tubuhmu,
kaudengar suara: Mengapa tak juga kautemukan Aku?
Menjelang pagi ia keluar dari kamar mandi
dan Seseorang yang tadi mengantarnya sudah tak ada lagi.
Dengan wajah berseri-seri ia pulang ke ranjang:
ia dapatkan Seseorang sedang mendengkur nyaring sekali.
Jangan-jangan dengkurMu
yang bikin aku takut ke kamar mandi.
(“Antar Aku ke Kamar Mandi”, 2001)
Saya tak tahu, mengapa kamar mandi di rumahnya terasa angker. “Di kamar mandi aku sempat berjumpa dengan gembong sepi nan gondrong rambutnya” (sajak “Malam Insomnia”, 2005). Pernah pula di kamar mandi muncul seorang hantu perempuan yang meneror dan mempermainkannya. Entah dari mana sosok siluman itu berasal dan apa pula misinya.
Ketika saya akan masuk ke kamar mandi, dari balik pintu
tiba-tiba muncul perempuan cantik bergaun putih
menodongkan pisau ke leher saya.
“Pilih cinta atau nyawa?” ia mengancam.
“Beri saya kesempatan mandi dulu, Perempuan,”
saya menghiba, “supaya saya bersih dari dosa.
Setelah itu, perkosalah saya.”
Selesai saya mandi, perempuan itu menghilang entah
ke mana. Saya pun pulang dengan perasaan waswas:
jangan-jangan ia akan menghadang saya di jalan.
Ketika saya akan masuk ke kamar tidur, dari balik pintu
tiba-tiba muncul perempuan gundul bergaun putih
menodongkan pisau ke leher saya.
“Pilih perkosa atau nyawa?” ia mengancam.
Saya panik, saya jawab sembarangan, “Saya pilih atau!”
Ia mengakak. “Kau pintar,” katanya.
Kemudian ia mencium leher saya dan berkata,
“Tidurlah tenang, dukacintaku. Aku akan kembali
ke dalam mimpi-mimpimu.”
(“Atau”, 2001)
Ada juga kamar mandi yang letaknya tidak di dalam rumah, melainkan jauh di luar rumah, entah di mana, dan di kamar mandi yang jauh itu seseorang sedang suntuk mencuci celana.
Saya sedang mencuci celana yang pernah
saya pakai untuk mencekik leher saya sendiri.
Saya sedang mencuci kata-kata
dengan keringat yang saya tabung setiap hari.
Dari kamar mandi yang jauh dan sunyi
saya ucapkan selamat menunaikan ibadah puisi.
(“Puasa”, 2007)
Itulah hal lain yang tak kalah menjengkelkan: sajak-sajaknya tak pernah menyajikan gambaran kamar mandi yang indah, nyaman, terang. Yang kita jumpai adalah kamar mandi yang suram, remang-remang, misterius, bahkan gelap dan menakutkan. Demikian pun aktivitas mandi yang berlangsung di sana bukanlah mandi yang romantis, melenakan, memabukkan, melainkan mandi yang mengerikan dan menyakitkan. Bila suasana kelam dan seram itu berkombinasi dengan suasana lain, itu merupakan rahasia pribadi seorang “arsitek” yang sebaiknya tidak usah dibicarakan di sini.
Mandi yang mengerikan dan menyakitkan tampak dalam sajak “Pulang Mandi” yang disinggung di atas dan terbayang pula dalam sajak “Sehabis Sakit”. Meminjam sebuah frasa dalam sajak “Kisah Semalam” (1996), dalam kedua sajak tersebut mandi menunjuk pada kesibukan atau keasyikan “membangun kembali keindahan yang dikira bakal cepat sirna”. Mandi adalah sebutan bagi usaha penyegaran dan pembaharuan diri. Mandi adalah sebuah rekreasi: proses penciptaan kembali.
Di kamar mandi kutemukan
tubuhku yang haus sedang menari.
Satu, dua, tiga, dan jarum sepi
berputar keras sekali.
Bilur-bilur tatu telah membiru
pada punggung yang dicambuki waktu
dan tubuhku yang haus terus menari
sampai kuyup ia sebelum mandi.
Tubuhku pohon ranggas
yang bertunas kembali,
sajak cinta yang ditulis ulang
oleh tangan tersembunyi.
Tubuhku kenangan yang sedang
menyembuhkan lukanya sendiri.
(“Sehabis Sakit”, 2006)
Kembali ke sajak “Malam Insomnia”. Sajak ini melukiskan hubungan seseorang dengan ranjang tidurnya yang mempersonifikasikan hubungan seorang anak dengan ibunya. Di sini mandi dimaknai sebagai semacam persiapan sebelum seseorang “menuliskan kata-kata”.
Dari tempatku terbaring sayup terdengar
suara bocah sedang menjerit-jerit ketakutan.
Kemudian hening. Setelah itu ia tertawa nyaring.
“Bu, aku sudah selesai mandi.
Di kamar mandi aku sempat berjumpa
dengan gembong sepi nan gondrong rambutnya.”
“Bagus. Nyalakan matamu.
Segera tuliskan kata-katamu
dengan sisa-sisa sakitmu
sebelum aku goyah, berderak, rebah
karena tak sanggup lagi menampung
gelisah tidurmu yang semakin parah.”
Sajak yang secara khusus menampilkan kamar mandi dengan tokoh seorang anak sebagai penghuninya adalah “Tanpa Celana Aku Datang Menjemputmu” (2002). Dalam sajak ini seseorang meninggalkan dirinya yang masih kecil di kamar mandi. Ketika 40 tahun kemudian ia pulang ke kamar mandi itu, si kecil masih ada di situ sedang suntuk membaca buku. Aneh ya? Iya.
Empat puluh tahun yang lampau kutinggalkan kau
di kamar mandi, dan aku pun pergi merantau
di saat kau masih hijau.
Kau menangis, “Pergilah kau, kembalilah kau!”
Kini, tanpa celana, aku datang menjemputmu
di kamar mandi yang bertahun-tahun mengasuhmu.
Seperti pernah kaukatakan dalam suratmu,
“Jemputlah aku malam Minggu,
bawakan aku celana baru.”
Di kamar mandi yang remang-remang itu
kau masih suntuk membaca buku.
Kaulepas kacamatamu dan kau terpana
melihatku tanpa celana. Sebab celanaku tinggal satu
dan seluruhnya kurelakan untukmu.
“Hore, aku punya celana baru!” kau berseru.
Kupeluk tubuhmu yang penuh goresan waktu.
Sosok anak kecil yang sedang suntuk membaca di kamar mandi juga muncul dalam sajak “Masa Kecil” (2003).
Masa kecil seperti penjaga malam yang setia.
Ia yang membuka dan menutup pintu setiap kau masuk
dan keluar kamar mandi. Sementara kau sibuk mandi,
ia duduk manis di sudut sepi, membaca cerita bergambar
sambil ketawa-ketawa sendiri. Jangan suka lihat orang
mandi, nanti sakit mata. Ia langsung menutup wajahnya
dengan buku, seakan geli atau malu melihat tokoh
komiknya yang (tidak) lucu.
Barangkali masa kecil, masa kanak-kanak, adalah alamat pulang yang tak pernah berhenti mengundang rindu. Entah di dalam rumah, entah di dalam tubuh, sesungguhnya ada seorang penyair kecil yang sewaktu-waktu siap menggoda hidup kita yang kelewat serius dan kaku. Saya tidak membayangkan sebuah rumah yang membuat seorang bocah dalam diri kita seakan-akan sedang tersekap di sebuah kantor atau rumah sakit. Rumah yang tidak mengandung puisi adalah rumah yang mandul.
Kita, orang-orang dewasa yang suka merasa pintar, sering terlalu angkuh dan sok heroik ini kadang memerlukan kecerdasan, kesegaran, kenakalan, dan keliaran imajinasi seorang bocah dalam menciptakan rumah kata-kata, agar kita tak terperangkap dalam sengkarut bahasa yang semrawut, riuh, macet, gerah.
Penyair kecil itu sangat sibuk merangkai kata-kata
dan dengan berbagai cara menyusunnya menjadi
sebuah rumah yang akan dipersembahkan kepada ibunya.
“Kita belum punya rumah kan, Bu? Nah, Ibu tidur saja
di dalam rumah buatanku. Aku akan berjaga di teras
semalaman dan semuanya akan aman-aman saja.”
Ketika kau bangun di subuh yang hening itu, kau tertawa
melihat penyair kecilmu tertidur kedinginan
di teras rumahnya, ditunggui Donald dan Bobo,
pengawal-pengawalnya yang setia.
(“Penyair Kecil”, 2002)
Sesungguhnya rumah yang selalu saya rindukan dan ingin saya pulangi adalah“rumah tersembunyi dalam cemara rindang tinggi” (Chairil Anwar, 1948).
Yogyakarta, Februari 2014