
“Welcome to the real world,” begitulah sambutan klise untuk kami yang baru lulus kuliah dan mau mulai bekerja, seakan kami adalah Neo yang baru saja menelan Red Pill dan keluar dari dunia Matrix.
Cukup tepat, saya rasa, membandingkan dunia praktik dan dunia akademik arsitektur dengan "dunia sebenarnya" versus "Matrix". Seperti Neo yang merasakan tegangan-tegangan berada di ambang dua dunia tersebut, saya, sebagai penghuni baru dunia praktik, merasakan hal yang serupa. Tentu saja tidak semua orang merasakan hal demikian, namun pengalaman ini saya pikir cukup umum—terjadi baik pada murid-murid yang mengambil jalur magang, fresh graduate yang masih suka "shopping" kuliah, sampai praktisi arsitektur yang juga mengajar sebagai dosen di universitas.
Jeremy Till mengutarakan di bukunya Architecture Depends (2009):
"The relationship between the profession and education is complex. It is not completely causal - the actions of the academy do not directly influence the profession, and the profession does not directly control education. It is messier than this, like the clumsy embrace of two octopuses. The academy at the same time shapes, and is shaped by, the profession and vice versa."
***
Tensi pertama yang saya rasakan di "dunia sebenarnya": Perangkat.
Fakta: Arsitek tidak lagi menggunakan tangan dan pensil untuk menggambar.
Fakta: Arsitek sekarang menggunakan AutoCAD.
Fakta: Arsitek tidak lagi membuat banyak model studi.
Fakta: Karena Sketchup.
Saat saya masuk, kantor arsitektur tempat saya bekerja menggunakan AutoCAD dan perangkat 3D modelling seperti Sketchup. Sementara pada saat itu, saya biasa menggunakan Rhinoceros. Kantor saya tidak membuat maket studi, semua dilakukan secara digital atau 2D. Sementara saat di universitas, saya biasa membuat dua sampai tiga set maket studi untuk setiap tugas. Maka saya menceburkan diri ke dunia baru ini dengan mempelajari bahasa yang baru juga.
Tujuan saya pertama kali memasuki kantor arsitek adalah untuk meriset. Beberapa dari kalian pasti sekarang sedang tertawa, atau menepuk jidat, atau tersedak, dan laku demikian sungguh tak salah. Memang tujuan yang aneh. Namun, saya adalah mahasiswa tingkat empat yang pada waktu itu merasa jenuh dengan studio, tapi juga tidak bisa menulis begitu bagus untuk memilih jalur skripsi, sehingga jalur magang sepertinya tidak buruk-buruk amat. Saya tidak tahu bahwa konsep "meriset praktik" bagi beberapa orang adalah sebuah laughable oxymoron, hal yang konyol untuk dilakukan.
Di kantor, saya meriset tentang penggunaan alat digital, khususnya dengan mencoba perangkat Building Information Modeling (BIM) di kantor tersebut. Terdengar baik-baik saja, sepertinya. Salah. Karena dengan menggunakan perangkat yang berbeda, saya sudah mengganggu kerja kantor tersebut. Sekalipun saya mengerjakannya sendirian dengan komputer sendiri dan tidak mengganggu arsitek lain, perangkat yang saya pakai ternyata mengganggu pihak-pihak luar kantor: klien yang tidak bisa membuka gambar, konsultan strukur dan ME yang tidak menyukai alat baru tersebut, tuntutan kecepatan yang tidak sesuai dengan alur kerja alat tersebut, dan sebagainya. Tensi berlanjut, dan riset saya berakhir dengan konklusi: Dalam praktiknya, BIM atau alat baru apapun memerlukan habitat penggunaan yang mendukung. Common sense to some, but new to me.
Fakta di sekolah: Arsitektur sangat terikat dengan konteks tempat dia berada.
Fakta baru: Bukan bangunannya saja. Tapi cara bekerjanya.
Fakta tambahan: Kadang-kadang bangunannya justru tidak terikat konteks.
***
Ini membawa saya pada tensi kedua: Idealisme.
Lagi-lagi sungguh klise. Tapi mau bagaimana lagi. Ketika orang-orang berkata "Welcome to the real world", sebetulnya ada sinisme yang menyertainya. Di balik kalimat tersebut, tersirat kalimat-kalimat lain seperti "Lihat saja yang nanti kamu hadapi"; "Coba aja bawa-bawa teori kamu ke dunia ini, lihat jadi apa”; atau “Mendingan lupakan dulu apa yang kamu pelajari." Sinisisme ini adalah mengenai idealisme.
Stereotip yang berlaku adalah bahwa lulusan-lulusan baru adalah anak-anak yang masih naif, yang masih terhanyut dalam film The Fountainhead. Kami adalah Howard Roark kecil yang seiring waktu berlalu akan berubah menjadi "Peter Keating". Dan mungkin saja benar. Saya sendiri sempat menjadi seperti "Howard Roark" ketika memaksakan penggunaan BIM di kantor tempat saya bekerja, masa-masa yang mengingatkan saya pada percakapan seperti ini:
"Do you mean to tell me that you're thinking seriously of building that way, when and if you are an architect?"
"Yes."
"My dear fellow, who will let you?"
"That's not the point. The point is, who will stop me?"
The Dean dan Howard Roark. Sepotong adegan dari The Fountainhead.
Oh Howard. Oh Me. Banyak sekali yang memberhentikan usaha saya: budget, kecepatan proyek, saran bos. Hal ini tidak hanya pada hal-hal seserius merevolusikan perangkat digital kantor, tapi juga pada desain secara umum.
"Jangan bikin toilet di atas pintu masuk, tidak bisa dijual nanti feng shui-nya jelek"
(oooh..)
"Jangan kurangi unitnya! Itu uang."
(hmm betul juga!)
Walaupun saya beruntung bisa bekerja di kantor yang selalu mengejar tata ruang yang baik (baik itu di area “uang" atau “expense"—satu poin yang saya kagumi) namun saya sadar, terlepas bahwa idealisme yang dikejar sama (lingkungan dan tata ruang yang baik), strateginya, layaknya sebuah permainan catur, berbeda. Di sekolah, memang saya cukup bersalah dalam hal mendesain dari "bentuk" dan “analogi-metafora-semiotika” (walaupun jadi-jadian). Hal tersebut pada praktiknya, saya kemudian belajar, adalah akhir dan bukan awal dari desain.
***
Ini membawa saya ke poin ketiga: Tensi pada peran.
Poin ini terbagi menjadi dua. Tensi peran secara personal sebagai fresh graduate yang memasuki dunia praktik untuk pertama kali, dan tensi perkiraan saya mengenai apa peran arsitek, dan apa sebenarnya peran arsitek itu.
Pertama: Dari prinsipal menjadi junior.
Di kampus, kami adalah seperti Louis Khan, Frank Lloyd Wright, atau Mies Van Der Rohe. Layaknya arsitek-arsitek yang tidak diganggu oleh hal-hal duniawi seperti "budget" atau "keinginan klien" (urgh memikirkannya saja, yuck). Kliennya adalah instruktur kami: demanding, knowledgable, respectful of our concepts, critical. Desain kami adalah tanggung jawab kami. Desain = saya. Kami layaknya prinsipal dari sebuah firma arsitektur. Hal ini tidak sama ketika pertama kali masuk ke kantor. Pekerjaan-pekerjaan yang dulu kami lakukan sendiri, dipecah. Pada awalnya mungkin kita hanya bertanggung jawab untuk menginterpretasi coretan prinsipal ke gambar cad, atau membuat 3D rendering, ataupun membuat presentasi.
Reaksi awal: "Inikah surga?!" (Tidur lebih lelap, pikiran nyaman.)
Reaksi berikutnya: "What is life?" (Mulai kehilangan orientasi kemudian berubah menjadi filsuf.)
Reaksi setelah diberikan petanya (dalam bentuk tanggung jawab): "Everything i do is wrong."/ "Selama ini saya belajar apa?" (Perasaan yang sama di minggu pertama masuk ke sekolah arsitektur.)
Kedua: Dari desainer menjadi komunikator.
Lagi-lagi ketika di sekolah, semuanya diatur untuk kenyamanan kami. Kita hanya perlu memberi ide, menggambar, menyampaikan ide, dan selesai. Dalam surga arsitek, mungkin ketika selesai presentasi dan disetujui juri, maka bangunan itu muncul. *blub* (atau apapun efek bunyinya kalau bangunan bisa muncul tiba-tiba). Di dunia arsitek, pada sisi lain, kami harus berkonsultasi dengan konsultan ME, konsultan struktur, klien; meeting; bertukar gambar; revisi budget; mengurus IMB; menjelaskan salahnya desain; mengubah desain karena salah; berargumen mempertahankan desain; ataupun berkompromi dalam desain.
Reaksi saya: "Kok, jadi begini?"
"Mengapa kita tidak menghabiskan waktu dalam mendesain saja?"
"Memang saya harus menghadapi semua ini?"
Ternyata, ya.
Lalu apa?
Tensi-tensi tadi membawa saya kepada pertanyaan-pertanyaan berikut di akhir satu tahun saya masuk ke "dunia sebenarnya" ini. Apakah benar bahwa kita harus "melupakan apa yang selama ini diajarkan?" atau dalam bahasa dalam The Matrix: "forget wonderland?"
Saya mau berpikir, tidak. Lalu bagaimana? Kalau benar perkataan Jeremy Till bahwa pendidikan (akademik) tidak secara langsung mempengaruhi profesi dan kebalikannya, lalu apakah yang kita pelajari di sekolah arsitektur juga tidak secara langsung mempengaruhi kita sebagai arsitek profesional? Selain itu, apakah "dunia sebenarnya" ini? Darimana kita tahu bahwa justru profesi adalah dunia matrix dan akademik dunia sebenarnya? Saya penasaran apabila salah kalau memikirkannya dalam perbandingan seperti itu.
Kemudian, apakah memang kita akan belajar dengan cara berbeda pada saat sebagai profesional dan sebagai murid arsitektur? Beberapa arsitek yang saya temui, setelah berpraktik sekian tahun, berpandangan bahwa itu benar. Bahwa analisa-analisa teoritis yang biasa dilakukan akademisi terhadap arsitektur atau arsitek tidak berguna di ranah praktik. Di dunia praktik kita tidak belajar dari itu, namun dari melakukan. Jadi memang ada hal-hal yang tidak bisa dijelaskan dan tidak perlu dijelaskan, yang lagi-lagi membuat saya berpikir: jadi mana yang dunia sebenarnya dan mana yang dunia Matrix? Apakah benar kedua dunia ini dapat dipisahkan menjadi satu kubu untuk berpikir dan satu kubu lain untuk melakukan?
Di ujung pemikiran ini, saya ingin mengutip kepercayaan hidup Sergey Brin:
"Isn't knowledge always good, and certainly always better than ignorance?"
Terlepas bagaimanapun cara menyeimbangkan tensi akademik dan profesi tersebut, saya pikir untuk sekarang pertanyaan yang paling penting adalah: apakah saya bisa belajar dari dunia manapun tempat saya berada sekarang? Sebagai fresh graduate yang berada di dunia profesional, tentu masih banyak yang perlu saya pelajari. Apapun yang saya lakukan seharusnya akan memberikan pengetahuan. Namun apakah hal ini akan sama saya rasakan setelah 4 atau 5 tahun sebagai profesional? Dan apa yang akan saya lakukan ketika saya merasa ini tidak lagi memberikan saya pengetahuan? Dengan pemikiran ini, paling tidak saya tahu saya harus ke mana. Sementara sekarang saya perlu belajar bekerja dan mungkin saja pertanyaan-pertanyaan itu nantinya akan terjawab.