
“Lihat tamanku, penuh dengan bunga. Ada yang putih dan ada yang merah. Setiap hari kusiram semua. Mawar melati semuanya indah.”
Saat piknik di Taman Suropati, spontan, saya mengubah kata kebunku menjadi tamanku. Bukan tanpa alasan. Lirik aslinya bagus, tapi saya tak pernah mengalami kebun privat seperti itu, apalagi menyiramnya setiap hari. Saya juga tak pernah mengalami taman seperti itu. Tapi setidaknya itulah yang saya harapkan sehari-hari. Saya hanya berharap bahwa makna taman sebagai taman kota bisa menjadi memori kolektif bagi penduduk Jakarta sejak kanak-kanak.
Sampai saat ini saya telah kehilangan kata taman sebanyak dua kali. Taman sebagai metafora Taman Kanak-kanak, yang mengingatkan saya pada tempat menyenangkan untuk bermain sebagai kanak-kanak,dan taman sebagai taman kota. Untuk yang kedua, saya kehilangan tanpa pernah benar-benar memilikinya. Padahal warga New York, kota yang menurut saya jauh lebih komersil dari Jakarta, bisa dengan santainya berkunjung ke Central Park atau Battery Park untuk berkumpul bersama teman, pacar atau keluaganya.
Akhirnya, menjelang liburan akhir tahun 2012 saya punya kesempatan untuk memiliki makna taman yang kedua. Saya mengajak 10 teman untuk menikmati taman kota. Caranya cukup mudah, saya hanya menawarkan mereka pengalaman makan yang berbeda. Tidak seperti pengalaman makan di sebuah restoran atau café yang berada di dalam mal seperti Central Park, walaupun park juga berarti taman. “It's free and it has a vast amount of space where we can talk all day long and have a good lunch together. It will be a great experience for all of us,” kira-kira seperti itu iming-iming yang saya berikan, dan mereka pun setuju dengan syarat harus membawa tikar dan makanan sendiri.
Akhirnya kami berkumpul di Taman Suropati pada Minggu sore. Sebuah taman rimbun yang terletak di tengah kawasan rumah-rumah bergaya Belanda di bilangan Menteng. Lalu lintas di sekitar taman ini tidak begitu ramai, jauh dari suara klakson dan deru mesin. Saat kami tiba, hanya denting lonceng Gereja Paulus di seberang jalan yang sayup terdengar. Teman-teman saya berpakaian seperti hendak pergi ke mal. Mereka mengenakan kaos dan celana jeans, kemeja flannel sampai dress dengan rok yang terkesan rapih. Bukannya sudah saya bilang bahwa ini adalah taman kota seperti taman pada umumnya, bukan taman sebagai nama sebuah mal? Ah, saya lupa, mungkin itu akibat memori kolektif mereka.
Kami memilih lokasi di tengah area rerumputan, di bawah rindangnya pohon mahoni tua yang berdiri berjajar. Di situ tikar dibentangkan. Saya melepaskan alas kaki, menginjak dinginnya rumput yang lembab lalu merasakan tekstur tikar dengan kaki telanjang. Tapak kaki saya merasakan dengan sadar peralihan itu. Saya terhenyak. Kemudian saya duduk di atas tikar yang permukaannya mengikuti kontur tanah di bawahnya. Ketika duduk di tikar saya tetap dapat merasakan rumput di bawahnya. Ah perasaan yang asing namun terasa akrab. Seperti saat mencoba kursi karya Charles Eames, dengan bentuknya yang fluid dan ergonomis terasa nyaman walaupun saya belum pernah duduk pada kursi itu sebelumnya. Ya, entah kenapa, mungkin rasanya sama seperti itu. Saya tak tahu apakah teman-teman saya merasakan hal yang sama.
Kami makan dengan lebih leluasa. Perbincangan diselingi tawa yang dengan mudahnya bergulir hangat di antara saya dan teman-teman. Kami merasa takkan terusik oleh pelayan yang datang mengingatkan tentang menu. Kami berlaku seenaknya seperti kanak-kanak. Tak merasa perlu berlaku formal mengikuti apa yang seharusnya dianggap pantas dilakukan pada restoran atau café di dalam mall. Gaduh dan santai. Hamparan rumput tanpa dinding buat kami dapat tertawa sekencang-kencangnya menanggapi berbagai guyonan. Keadaan itu terjadi sampai saya selesai makan.
Perut telah terisi penuh. Tawa telah puas terlepas. Setelah menyantap makanan dan lelah berguyon saya merebahkan badan, menatap celah-celah cahaya diantara ranting dedaunan yang teduh dan merasakan angin segar. Waktu jadi terasa berjalan lambat. Suara klakson dan tawa orang-orang tiba-tiba menjadi latar lalu menghilang. Saya terbayang penggalan film The Matrix saat Neo menghindari terjangan peluru. Suara latar dimatikan dan gambar tampil dengan efek slow motion. Kegaduhan yang tiba-tiba berhenti untuk dinikmati. Sambil tetap merebahkan badan saya merasakan sejuknya desir angin yang melewati daun-daun, mencium aroma lembab tanah, suara gemericik air mancur yang sayup dan rasa sisa makanan di dinding mulut saya. Rasa tersebut tak pernah saya perhatikan. Rasa-rasa yag membuat saya menghela nafas tanpa sadar lalu kembali menyadari kembali keberadaan saya di tengah teman-teman. Rasa yang membuat saya terkesan walau hanya duduk untuk makan bersama tanpa pendingin ruangan. Dan itu saya rasakan di Jakarta, kota yang selalu sibuk. What a humble yet eminent experience we had.
Saya sungguh tak menyangka jika makan di taman kota memiliki kesan reflektif. Membuat saya merasa lebih hidup sebagai manusia dengan tergugahnya berbagai indrawi yang selama ini tersisihkan dengan sibuknya aktifitas keseharian. Makan di taman kota menjadi terasa sangat istimewa dan kembali dinantikan.
Berandai-andai kelak makin banyak orang yang berkunjung ke taman kota atau bahkan makin banyak taman-taman kota yang tersedia. Jakarta mungkin bisa jadi kota yang lebih berperikemanusiaan dengan masyarakatnya yang murah senyum dan ramah.
Tapi untuk sementara saya hanya bisa tersenyum membayangkannya sambil menanti kapan saya bisa kembali bertemu dengan taman, tikar dan teman-teman. Saat ini saya hanya bisa bersenandung: Lihat Tamanku!