
Sebagai bagian dari rangkaian acara Bamboo Biennale 2014, 15 instalasi bambu hasil kolaborasi arsitek, seniman, mahasiswa, dan pengrajin dipamerkan di Benteng Vastenburg, Solo, 31 Agustus-28 September 2014.
Eko Prawoto, Setiadi Sopandi, dan Paulus Mintarga, kurator dari pameran instalasi Bamboo Biennale, mengangkat tema born (terj.: “lahir”) untuk mengangkat kembali budaya bambu. Untuk mencapai misi tersebut, para peserta pameran tidak serta-merta langsung merancang. Mereka diharuskan mendatangi sentra pengrajin bambu di sekitar Solo untuk menggali potensi yang ada dan membuat rancangan yang bernilai.
“Kami membuat kerangka acuan agar karya-karya yang dihasilkan punya tujuan sama, yaitu untuk mendiversifikasi produk, memberikan nilai tambah,” ujar Paulus Mintarga. Selain itu, peserta dapat juga membuat produk dengan menggunakan sampah bambu.
Setelah menghasilkan rancangan, para peserta melakukan residensi dan membuat produk rancangan mereka di sentra pengrajin.
Berikut ini adalah karya instalasi bambu yang dipamerkan di Bamboo Biennale 2014.
Ruang Raba Raya, oleh Riangga Yudas & Gyrass Reza (Surakarta)
Instalasi anyaman besek ini mengingatkan masyarakat bahwa bambu juga dapat dijadikan komposisi desain struktur cangkang, karena keunikan bambu yang memiliki fleksibilitas tinggi.
Perancah dibuat terlebih dahulu sebagai struktur sementara instalasi. Instalasi tersebut kemudian dianyam di tempat agar dapat memperoleh bentuk yang sesuai dengan desain. Setelah bambu selesai dianyam, struktur perancah dilepaskan.
Bamboo Tea-Ater, oleh Klara Puspa
Instalasi bambu ini “mendorong” orang untuk bergerak ke dalam instalasi tersebut dari pintu masuk, dan membuat orang yang memasukinya merasakan transformasi ruang yang terbentuk dari bambu. Instalasi ini memiliki tiga fase, yaitu “Lost in Bamboo Crowd”, “Explore the Sensation of Bamboo” dan “Celebration of Rediscovery”.
Klara Puspa menggunakan potongan bambu yang berukuran kecil sebagai pondasi dari instalasi tersebut, yang kemudian ditutupkan dengan anyaman besek. Antara satu fase ke fase berikutnya, Klara menggunakan tirai anyaman bambu agar memperkuat intensi ruang yang diperoleh dari fase tersebut.
Bambu Tiga, oleh Ari Wibowo
Instalasi ini merepresentasikan sifat bambu yang tumbuh berkelompok dan kuat ketika dijadikan satu. Bambu yang diikat menggunakan besi beton ini dapat digunakan oleh publik sebagai tempat duduk.
Cocoon, oleh Adi Purnomo
Dari tema “born” sebagai tema Bamboo Biennale 2014, Adi Purnomo membuat instalasi bambu dengan konsep yang menggambarkan siklus kehidupan. Material yang digunakan di instalasi ini adalah limbah serat bambu dari pengrajin tampah yang kemudian dianyam menjadi sebuah komposisi yang besar dan menyatu. Adi Purnomo menegaskan bahwa Cocoon menyerupai sebuah kepompong yang hendak memasuki Benteng Vastenburg.
Kowangan, oleh Yu Sing
Terinsipirasi dari sebuah rumah, Yu Sing membuat sebuah karya yang serupa rumah yang tidak terlalu besar, tetapi cukup untuk satu keluarga kecil yang belum mempunyai rumah. “Rumah bambu diharapkan dapat menjadi salah satu pilihan ekonomis pertama bagi banyak orang atau keluarga yang belum dan sulit punya rumah”, tutur desainer Kowangan ini.
Masyarakat umumnya memiliki pemikiran bahwa rumah bambu merupakan rumah yang tradisional atau terlalu progresif. Kowangan didesain sebagai rumah multifungsi yang tidak tradisional tetapi juga tidak terlalu progresif.
Urban Filter, oleh Imma Aninditya, Denny Husin, & Team Untar
Instalasi bambu yang dijadikan sebagai tempat pertemuan ini bertujuan untuk meningkatkan hubungan sosial antar manusia secara fisik serta sebagai elemen penghijauan pada alam.
Paviliun ini memiliki atap yang terbuat dari tampah yang disusun sebagai filtrasi dari air hujan. Air hujan tersebut akan disalurkan ke kolom yang berisi besek yang juga dijadikan sebagai sistem filtrasi. Air hujan kemudian akan menuju ke kolam buatan.
Selain sebagai tempat berkumpul, instalasi ini juga memiliki fungsi lain dengan adanya filtrasi yang berfungsi untuk menyaring air hujan menjadi air bersih yang dapat digunakan oleh masyarakat sekitar.
Sangkar Manu(k)sia, oleh Paulus Mintargo dan Oky Kusprianto
Sangkar Manu(k)sia adalah sebuah kolaborasi instalasi bambu antara dua seniman. Instalasi bambu tersebut berbentuk sangkar burung dengan skala yang besar dan sesuai dengan ukuran ergonomi manusia.
Orang sering melupakan estetika seni dari sebuah sangkar burung karena lebih fokus terhadap burung yang ada di dalamnya. Demikian pula pada bambu yang semakin hari semakin dilupakan karena adanya material produksi yang terkesan lebih efisien dan modern.
Sangkar Manu(k)sia mengingatkan masyarakat untuk mengubah sudut pandang terhadap material bambu, dengan media sangkar burung yang selama ini menjadi pelengkap kehidupan manusia sebagai rumah burung, menjadi rumah tempat manusia beraktivitas.
Rinai 10.10, oleh Yoka Sara
Dengan berfokus terhadap hutan bambu, Yoka Sara menegaskan desain instalasinya dengan menggunakan konsep hutan bambu, yaitu dengan menggunakan susunan organisasi desain “grid”.
Dengan strukur gantung dan ikat, instalasi tersebut mempunyai ruang renggang di dalamnya agar bisa dilewati oleh orang-orang. Bambu-bambu yang saling bergantungan mengeluarkan suara yang merdu jika tertiup oleh angin. Kesan tersebut memperkuat keberadaan hutan bambu di sekitar orang yang sedang melewati instalasi tersebut.
Cak Wung, oleh Bianglala ISI
Cak Wung adalah instalasi bambu yang diterjemahkan dari motif Batik Kawung, motif batik yang sangat terkenal di Surakarta. Dengan perpaduan dari “Lincak” atau tempat duduk, instalasi tersebut memiliki bentuk dan organisasi desain terpusat dengan berbentuk “X” pada tampak atasnya.
Strukur bambu yang digunakan sangat sederhana, yaitu saling mengikat dengan tali ijuk. Bambu pada instalasi ini sebagian besar bersifat ornamental, namun berfungsi juga sebagai elemen struktural.
Kesan privasi pada instalasi Cak Wung diperoleh dengan cara membuat sebuah “ruangan” yang saling bertolak belakang, walaupun tidak semuanya tertutup.
Tree House, oleh Budi Pradono
Pada rencana tapak Bamboo Biennale 2014 yang diselenggarakan di Benteng Vastenburg, terdapat satu lokasi karya yang ditumbuhi pohon-pohon yang tinggi dan besar. Berangkat dari pepohonan tersebut, Budi Pradono membuat sebuah karya yang dijadikan sebagai rumah pohon.
Tree house (terj.: “rumah pohon”) yang menggunakan tampah sebagai fasad utama pada instalasi tersebut mempunyai sebuah ruangan kecil di atas yang bertujuan sebagai rumah atau tempat beraktivitas. Rumah pohon ini merupakan media untuk kembali mengingatkan masyarakat bahwa bambu dapat digunakan sebagai material utama sebuah bangunan.
Struktur yang digunakan pada instalasi tersebut sangat inovatif. Awalnya, karya instalasi tersebut tidak mempunyai struktur kolom sebagai penopang, melainkan hanya digantung sehingga dapat menegaskan intensinya, yaitu kesan “floating”. Demi alasan keselamatan, para panitia menyarankan untuk meletakkan sebuah penopang agar struktur instalasi lebih stabil. Penopang tersebut dibangun dengan struktur minimal agar intensinya dapat tercapai.
Pavilion Pringgodolan, oleh Effan Adhiwira
Pavilion Pringgodolan adalah karya tertinggi di Bamboo Biennale 2014. Arti kata dari nama instalasi tersebut adalah bambu yang dipakai untuk bermain, “pring – (di)nggo – dolan(an)”. Instalasi tersebut berfungsi sebagai sebuah mainan, tempat bermain, dan bermain dalam proses penggunaan.
Instalasi ini juga dapat berfungsi sebagi dua permainan, yaitu yang mainan utamanya adalah “Menara Spiral” dan yang kedua adalah “Kotak Sumbangan Ketangkasan”. Paviliun tersebut terinspirasi oleh panjat pinang, yang mendorong orang untuk berusaha naik ke atas untuk mengambil hadiah. Selain itu, ada juga kata kunci yang digunakan di instalasi ini seperti tradisional pinball dan xylophone raksasa yang juga memiliki fungsi untuk dimainkan.
The Swing Bamboo, oleh Michael Deny Yudhistira
Karya instalasi bambu ini memiliki konsep sebagai tempat bermain untuk publik. Permainan ayunan yang dipilih oleh Michael merupakan permainan yang dapat digunakan oleh anak-anak sampai orang tua. Karya tersebut menggunakan struktur bambu sebagai sistem pendukung untuk menggantung ayunannya dan juga menghasilkan ruang di dalamnya. The Swing Bamboo telah menunjukkan kekuatan bambu sebagai material yang kokoh.
Belalang, oleh Andrea Fitrianto
Instalasi bambu ini menggunakan struktur tenda yang terdiri dari dwi-modul simetris yang berdiri condong keluar dengan membentuk sudut 72°. Kedua modul tersebut dikaitkan oleh sambungan tarik dengan sistem mur-baut.
Karya ini menyerupai rumah tenda dan juga menggunakan struktur yang inovatif. Struktur “belalang” ini juga mengingatkan kepada masyarakat bahwa bambu adalah sebuah material bangunan yang kuat, tetapi fleksibel. Dengan menggunakan struktur “belalang” ini, instalasi tersebut dapat dilepas, dilipat, dan direlokasi.
Calmboo, oleh Agus Iswahyudi
Calmboo merupakan sebuah karya instalasi bambu yang berfungsi sebagai “halte/shelter” dalam ruang publik. Instalasi ini dibuat dengan rangka konstruksi bambu yang sudah tidak terpakai lagi.
Agus Iswahyudi membuat karya instalasinya dengan bambu-bambu sisa dan dahan atau ranting-ranting bambu kering yang sudah jatuh serta bagian sisa dari bambu yang tidak terpakai lagi, yang kemudian digunakan sebagai atap. Calmboo juga menggunakan teknik anyaman bambu yang disebut sebagai “gedhek” dan dijadikan bahan lapisan dasar permukaan atap.
Catatan Tidak Selesai, oleh Gede Kreshna
Berbeda dengan instalasi-instalasi lainnya yang dipamerkan di Bamboo Biennale 2014, karya yang dibuat oleh Gede Kreshna ini dibuat untuk dipelajari dan tidak fungsional. Karya setinggi 160 sentimeter ini menjelaskan struktur-struktur payung sederhana dari bambu, yang digunakan pada bangunan.
Karya bambu ini berfungsi untuk menjelaskan proses pembuatan sebuah rumah sederhana dengan struktur payung yang menggunakan material bambu. Proses tersebut dimulai dengan menunjukkan cara mengikat sambungan-sambungan bambu dengan tali ijuk, struktur payung, hingga sampai dengan teknik pemasangan atap alang-alang.