
Percakapan Avianti Armand (AA) dan Setiadi Sopandi (SS) berlangsung via surat elektronik—medium komunikasi sekejap sampai yang mungkin tak lazim kita gunakan untuk diskusi-diskusi yang runut dan elaboratif. Mereka membicarakan proyek Tamedia New Office Building – Zurich, Swiss. Korespondensi itu berlangsung tahun lalu, sesaat setelah bangunan tersebut diresmikan dan setahun sebelum Shigeru Ban, arsiteknya, mendapatkan penghargaan Pritzker Prize 2014.
AA
Di antara Guggenheim Museum (Bilbao), Blur Building Pavillion (Swiss Expo 2002), Yokohama International Port Terminal, 21st Century Museum (Kanazawa), Seattle Public Library, Chichu Art Museum (Naoshima), Beijing National Stadium, yang lebih dikenal dengan Bird’s Nest, Maxxi: National Museum of the 21st Century Arts (Roma), Teshima Art Museum (Teshima), apa arti Tamedia New Office Building – Zurich, Swiss?
Kantor pusat dan studio radio dari Perusahaan Media Swiss Tamedia yang baru ini (2013) terletak di pusat kota Zurich, dengan luas area 1000 meter persegi, dalam sebuah urban block yang lebih besar, di mana bangunan utama dari grup tersebut berada. Tapak bangunan ini menghadap ke bagian timur dari blok dan berpotensi memiliki tampak sepanjang 165 kaki tepat di tepi Kanal Sihl.
Dari sisi arsitektur, fitur utama proyek ini adalah proposisi sistem struktur utamanya yang didesain menggunakan kayu. Teknik konstruksinya yang inovatif menyebabkan bangunan ini memiliki ruang dalam yang unik, yang juga bisa diapresiasi dari skala urban – ruang luar di sekitar bangunan. Untuk menyangatkan dan menunjukkan kelebihan sistem strukturnya, bangunan ini sepenuhnya dibungkus dengan kaca bening. Perhatian khusus diberikan untuk memenuhi level transmisi energi rendah yang diwajibkan oleh regulasi konsumsi energi Swiss yang sangat ketat.
Proposisi sistem struktur kayu yang inovatif? Untuk lebih jelasnya Anda bisa masuk ke tautan ini.
Apa yang Anda lihat?
Tamedia Building, saat konstruksi. (© Shigeru Ban Architects Europe)
SS
Pertama kali melihat release mengenai proyek ini, saya justru lebih tertarik pada nama Shigeru Ban ketimbang apa yang ditampilkan foto maupun judul penayangannya. Sejauh pengamatan saya, Ban memang jarang menampilkan provokasi visual lewat karya-karyanya. Ketertarikan ini lebih terkait pada fakta bahwa Ban senantiasa melahirkan proyek-proyek ‘juara’, terutama seri ‘Paper Tube Projects’, ditambah ingatan saya pada Ban, seorang arsitek berpenampilan bersahaja, ramah, dan tidak sombong. Di sebuah makan siang sederhana di kampus NUS di tahun 2001, dia tampak antusias menjelaskan bagaimana tabung-tabungnya bisa bekerja baik sebagai elemen utama arsitekturnya. Ingatan akan ini yang muncul sebelum proyek terbarunya sempat saya cerna.
Seri proyek tabung kertas menghasilkan beberapa proyek-proyek dengan penugasan dan konteks yang ‘tidak biasa’, ditambah dengan inovasi di bidang struktur dan material, ternyata menghasilkan kombinasi yang ‘pas’; tidak lebih, tidak kurang. Entah yang mana lebih dulu; penugasan atau tantangan atau gagasan struktur menggunakan tabung kertas. Yang jelas, gagasan struktur tabung kertas ini bertahan lama (sejak 1989 hingga kini!) dan mampu diadaptasikan dan dikembangkan dalam puluhan proyek yang berbeda. Mulai dari rumah tinggal, galeri, dan berbagai proyek-proyek kemanusiaan dalam bentuk shelter/fungsi darurat bencana. Semuanya punya ciri yang sama: materialnya mudah dibawa karena ringan dan berupa potongan, serta mudah dirakit namun sangat kuat, dan ternyata mampu menghasilkan bangunan dengan bentang besar, serta mudah disesuaikan dengan kondisi lingkungan (iklim dan geografis). Ini lebih dari cukup untuk menempatkan Ban di atas podium juara dunia.
Paviliun Jepang, Hannover Expo, 2000. Salah satu proyek paper tube Shigeru Ban. (© Shigeru Ban Architects, foto oleh: Hiroyuki Hirai)
Sejak puluhan tahun silam, jarang ada arsitek/perancang/perencana yang melakukan inovasi di bidang struktur. Sepengetahuan saya, yang terakhir melakukannya adalah Buckminster Fuller (1895-1983). Saya tidak berusaha menyamakan pencapaian Ban dengan Fuller, hanya ingin menyatakan bahwa ‘arah perjuangan’ mereka tidak lagi dilalui oleh kebanyakan arsitek masa kini. Inovasi arsitektural yang dimulai dari aspek struktural (dan material) adalah warisan era abad ke-19 (dan masa-masa silam) yang (kini) sepi peminat di kalangan arsitek.
Saya berpikir ada dua kemungkinan; pertama adalah masalah kemampuan, kedua adalah masalah kemauan. Mungkin dibutuhkan arsitek-insinyur yang mampu untuk itu, yang tentunya di atas rata-rata, untuk memahami dan memanipulasi material, struktur, dan geometri. Kedua, bisa jadi era ini adalah era yang banal, bahwa kesempurnaan dan penghargaan tidaklah perlu dicapai oleh beberapa aspek yang berbeda, cukup sebuah lirik yang mencolok untuk dapat memeriahkan suasana.
AA
“Dalam sebuah masyarakat di mana kondisi-kondisi produksi modern menguasai, seluruh aspek kehidupan menghadirkan dirinya sebagai sebuah akumulasi raksasa dari tontonan demi tontonan. Setiap hal yang dengan langsung dialami sudah beralih menjadi sebuah representasi.” – Guy Debord, The Society of the Spectacles, 1967.
Arsitektur, seperti semua aspek kehidupan modern lain, tak bisa menghindarkan diri dari kondisi tersebut. Yang terjadi dalam masyarakat kita hari ini bukan saja produksi arsitektur, melainkan juga reproduksi arsitektur, dan representasinya dalam berbagai macam rupa. Dan dalam representasi, kita butuh apa yang Anda sebut “lirik yang mencolok” agar bisa menarik perhatian dan mendapat tempat.
Tak ada yang salah dengan itu. Jika memang itu aturannya, kita perlu bermain mengikuti aturan tersebut. Masalahnya, menurut saya, bukan soal kemampuan, maupun kemauan. Mempertanyakan keduanya tak akan membawa ke mana pun, karena sulit untuk dibuktikan. Ini perkara titik berangkat dan titik pandang yang berbeda.
Kita sama-sama tahu, menggunakan analogi Anda, ‘arah perjuangan’ yang marak diminati arsitek saat ini adalah melalui pengolahan ‘bentuk’. Dan perlombaan untuk mencapai keunggulan aspek representasi ini sangat didukung oleh kemajuan teknologi konstruksi memungkinkan dibangunnya arsitektur dengan bentuk apapun. Deretan bangunan di awal paragraph tulisan ini adalah buktinya. Daftar itu bisa diperpanjang dengan meng-copy-paste isi media arsitektur lokal maupun internasional hari-hari ini. Spesialisasi yang semakin mengerucut juga memungkinkan arsitek hanya memikirkan aspek ‘bentuk’, sementara sehimpunan insiyur-insinyur dari disiplin lain dalam ban berjalan industri arsitektur memikirkan bagaimana mewujudkan ‘bentuk’ tersebut.
Titik berangkat yang diambil oleh Shigeru Ban adalah inovasi arsitektural yang dimulai dari aspek konstruksi, struktural, dan material. Titik berangkat yang diambil oleh lebih banyak arsitek lain adalah ‘bentuk’. Tapi mungkin dari sinilah kita kemudian bisa membuat perbandingan. ‘Bentuk’ memungkinkan apresiasi yang seketika dari masyarakat pada umumnya. Sementara keunggulan struktur hanya bisa dihargai dan di’puja’ oleh orang-orang yang ‘paham’ mengenainya. Tidak terlalu sulit untuk dimengerti, kenapa jalan ini adalah jalan yang jarang dilewati.
Bicara soal titik pandang, saya merasa seolah sedang memperbandingkan antara arsitektur post modern dan arsitektur modern. Tidak bisa dihindari, mengingat Shigeru Ban berguru pada John Hejduk.
SS
Mari kembali kepada kasus yang diajukan. Selain figure Shigeru Ban, hal kedua yang jelas-jelas menarik perhatian saya adalah bahwa seluruh struktur utama (yang mungkin meliputi sebagian besar elemen bangunan) terdiri dari komponen-komponen pabrikasi yang terbuat dari kayu. Untungnya karya ini dipublikasikan justru pada saat belum selesai, sehingga pemasangan komponen-komponennya dan sambungan antar bagiannya masih terlihat jelas.
Seperti kita ketahui, bahwa material pabrikasi untuk komponen struktural yang selama ini kita kenal biasanya terbuat dari baja dan besi, kadang dari beton. Material kayu untuk struktural biasanya hanya berukuran relatif kecil karena merupakan potongan dari log utuh kayu. Namun pada proyek Tamedia Office Building ini, potongan-potongan kayu tadi direkatkan dan dibentuk menjadi komponen-komponen struktural yang berukuran besar; kolom, balok, pelat lantai. Bahkan pada foto diperlihatkan palu besar sedang dipukulkan pada salah satu sendi sambungnya.
Menurut penjelasan proyek yang ditampilkan, pabrikasi komponen balok kayu, pemilihan bahan, dan metode konstruksi tersebut tidak hanya menarik secara struktural namun juga memiliki keuntungan dalam hal pelestarian lingkungan. Mengenai bagaimana hal pelestarian lingkungan ini dapat terjadi, kita akan kembali nanti karena proyek Shigeru Ban tersebut mengingatkan saya kepada salah satu mainan favorit saya pada masa kecil yaitu menyusun balok-balok kayu yang memiliki lubang-lubang yang disediakan untuk pasak-pasak.
Belum terlalu lama saya juga menonton sebuah acara televisi populer di BBC yang berjudul James May’s Toy Story. Salah satu episode acara tersebut menampilkan proses perwujudan mimpi kanak-kanak sang presenter dalam membangun jembatan sungguhan yang bisa menampung beban seorang dewasa menyeberang sungai dengan menggunakan mainan anak-anak Meccano (http://www.meccano.com/ & http://en.wikipedia.org/wiki/Meccano).
Meccano diproduksi sejak 1901 di Inggris dan menjadi sangat populer hingga kini dan menginspirasi banyak sekali mainan konstruksi (construction toys) lain seperti Erector Set (1913), Lincoln Logs (1916), Fischertechnik (1966), Lego (terutama seri Technic, 1977), dan banyak lagi merk-merk lain (Girder and Panel Building Sets; Merkur Toys; Kapla; dan lain sebagainya).
Contoh model lokomotif produk Meccano. (Foto: José M Macías)
Meccano mungkin diinspirasi oleh Froebel Gifts karya Friedrich Froebel, mainan anak-anak berupa balok-balok kayu berbentuk geometri sederhana yang ditemukan pada abad ke-19. Bukan kebetulan pula bahwa Froebel adalah penggagas konsep taman kanak-kanak modern, yang menekankan pentingnya kegiatan bermain bagi anak-anak usia dini sebagai tahapan krusial bagi tumbuh kembang manusia. Sehingga tidak heran bila konon Frank Lloyd Wright tumbuh bersama mainan Froebel ini, dan mungkin bukan kebetulan bahwa putra Frank – John Lloyd Wright – adalah penggagas mainan Lincoln Logs.
Froebel Gifts dan Meccano memang hadir pada demam insinyur; masa-masa keemasan industri dan keinsinyuran. Masyarakat Eropa (terutama Inggris, Jerman, Belgia, Perancis) pada abad ke-19 menyaksikan betapa menakjubkannya material besi dan kaca; dari mesin uap, lokomotif, dan pabrik-pabrik besar, hingga monumen-monumen kebesaran arsitektural pemecah rekor seperti Crystal Palace (1851) dan Menara Eiffel (1889). Viollet-Le-Duc (1814-1879) telah meramalkan kehebatan material besi baja dan kemajuan teknologi konstruksi era ini. Engineering – keinsinyuran, rekayasa – mengubah dunia dan gaungnya jauh menerobos abad ke-20. Arsitektur pada masa-masa itu seakan terperangah, terseret-seret oleh perkembangan teknologi konstruksi. Vitruvius dan Arsitektur Klasik sesaat dilupakan. Manusia membangun lebih cepat, lebih besar, lebih luas, dan lebih ringan. Hal ini masih terasa hingga tahun 1980an, pada masa kecil saya, lewat mainan-mainan di atas.
Maka dari itu, ingatan saya tidak melayang jauh dari sana. Tamedia Office Building seakan sebuah mainan konstruksi dengan skala sungguhan, satu banding satu. Hal ini bisa jadi ‘kenakalan’ Shigeru Ban, yang mungkin pada masa kecilnya juga bermain-main dengan Meccano atau sebangsanya. Bisa jadi ini sebuah keisengan besar yang dieksekusi dengan sungguh-sungguh – seperti banyak karya-karya menarik para arsitek Jepang masa kini. Dalam skala proyek – sekecil apapun - identitas ‘iseng’ ini menjadi sungguh-sungguh, dan tidak lagi main-main, meskipun kita masih bisa menikmatinya dengan tersenyum.
Hanya saja, saya punya satu pertanyaan. Apakah main-main ala insinyur ini dapat dimengerti oleh orang lain dengan cara saya memahaminya, terutama oleh orang-orang yang tidak mengalami permainan masa kecil yang serupa?
AA
Menarik bahwa gejolak yang terjadi dalam suatu masa bisa direkam oleh mainan anak-anak yang muncul pada saat itu. Meccano dan turunannya pada masa keemasan industri, di mana teknologi konstruksi mengalami revolusi drastis. Video game dalam hype teknologi elektronika. Dan Barbie di era budaya massa. Kita bahkan bisa menggolongkan segala macam media sosial sebagai “mainan” di abad teknologi informasi ini. Pada dasarnya manusia adalah makhluk yang bermain, bukan? Homo ludens yang tak mau mati. Hanya dari semangat bermain itu bisa timbul kreatifitas, bahkan kegilaan (baca: percikan-percikan kejeniusan). Dan apa bahan bakar utama untuk segala bentuk pendobrakan dalam arsitektur jika bukan kreatifitas? Saya rasa kita bisa bilang: “Don’t take architecture seriously. It will be boring. Literally.”
Tapi bermain yang seperti apa yang boleh kita lakukan? Sejauh mana kita bisa bermain-main?
Shigeru Ban bermain dengan meccano raksasa – tabung-tabung kertas dalam berbagai proyek, juga balok-balok dan tiang-tiang kayu yang dihubungkan satu sama lain dengan pasak untuk Tamedia Office. Permainan ini bisa kita namai: merakit. Di sini, arsitektur adalah hasil dari sebuah susunan dan rangkaian. Kolase yang bisa dirunut logikanya, atau dalam bahasa yang sering kita pakai, tektonikanya. Kita juga bisa bilang bahwa arsitektur yang diselenggarakan dengan cara merakit ini adalah arsitektur yang sangat dasar. Seperti permainan anak-anak.
Sebenarnya, kita punya metode membangun yang sama (yang mungkin telah lama kita “lupakan”) pada arsitektur tradisional kita. Dengan sistem rakitan ini, rumah-rumah tersebut bisa dibongkar pasang. Suatu sistem membangun yang sekarang dengan mentereng diberi nama “sustainable” atau “berkelanjutan”. Sistem ini tidak hanya menghemat sumber daya alam karena sifatnya yang portabel (mudah dipindah-pindahkan) dan bisa didaur-ulang tanpa mengubah/menurunkan fungsinya (down cycle), namun juga sangat responsif terhada gempa karena sistem sambungannya yang fleksibel.
Saya yakin, metode membangun yang digunakan dalam “arsitektur meccano” Shigeru Ban bukan cuma kelanjutan dari permainan masa kanak-kanaknya, melainkan juga terinspirasi dari sistem konstruksi tradisional rumah-rumah atau kuil-kuil Jepang. Dalam hal ini, Anda tentu lebih fasih menerangkannya dari pada saya.
Kembali ke proyek Tamedia New Office Building – Zurich, Swiss, menurut saya, Ban mengingatkan kita pada kebersahajaan. Kebersahajaan sistem struktur dan konstruksi, kebersahajaan bentuk arsitektur. Dia mengembalikan sistem konstruksi yg digunakan dalam arsitekturnya ke tektonika sederhana. Sesuatu yg sdh pernah ada dalam khasanah arsitektur tradisional di mana pun. Jika Ada inovasi di sini, itu adalah inovasi teknologi material yg digunakannya. Tabung kertas maupun kayu yg digunakannya sbg struktur adlh hasil modifikasi teknologi canggih.
Detail konstruksi Tamedia Building. (Foto: Trevor Patt)
Laku kebersahajaan ini berbeda dengan semangat minimalisme yang seringkali justru sebuah upaya “kosmetika” habis-habisan untuk menutupi apa yang sebenarnya kompleks. “White Walls, Designer’s Dresses,” tulis Mark Wigley. Dalam Tamedia, kompleksitas konstruksi justru diperlihatkan apa adanya. Jujur. Sebuah laku yang mengingatkan kita pada semangat modernisme di awal-awal tahun kelahirannya.
Tapi, mengulang pertanyaan saya tadi, sejauh mana kita bisa bermain-main?
Sou Fujimoto menumpuk kotak-kotak transparan beragam ukuran untuk jadi ruang-ruang dengan program yang berbeda-beda dalam NA House. Junya Ishigami menyusun “tusuk gigi” dengan pola acak menjadi sebuah ruang bengkel kerja besar - KAIT. Seperti bermain dengan lilin lunak, Ryue Nishizawa membentuk sebuah cangkang putih untuk museum seni di Teshima. Tapi tidak bisa kita lupakan bahwa Frank Gehry juga “bermain” ketika ia merencanakan Stata Center, Massachusetts Institute of Technology. Gara-gara proyek tersebut, ia dituntut oleh M.I.T. Dengan bentuknya yang oleh Gehry sendiri dikatakan “seperti sekelompok robot mabuk yang berkumpul untuk berpesta,” bangunan tersebut menuntut penyelesaian konstruksi yang luar biasa sulit.
Hasilnya: gedung yang mengakomodasi laboratorium, kelas-kelas, ruang-ruang kantor dan pertemuan berbiaya 300 juta dollar Amerika itu (pada tahun 2007) bocor parah, retak-retak, dan punya masalah drainase yang perbaikannya membutuhkan biaya lebih banyak lagi.
Gehry membela diri dengan mengatakan, “Masalah ini pelik dan melibatkan banyak pihak, dan kita tidak akan pernah tahu kesalahan bermula di mana. Sebuah bangunan bisa tersusun dari 7 milyar bagian yang saling berhubungan. Kemungkinan bahwa dia bisa dikerjakan tanpa ada benturan dan kesalahan tentu kecil sekali.” Lalu dia menambahkan, “M.I.T. cuma mengejar uang asuransi kami.”
Kehebohan yang melibatkan starchitect ini bisa diikuti di tautan ini, dengan penyelesaian yang bisa dilihat di sini.
Sampai di sini, mau tak mau saya harus bertanya lagi: apakah arsitektur, sebuah peristiwa estetis atau etis?
Tapi sebelum mencoba memamah biak pertanyaan tadi, saya ingin menjawab pertanyaan Anda: apakah main-main a la insinyur ini dapat dimengerti oleh orang lain dengan cara saya memahaminya, terutama oleh orang-orang yang tidak mengalami permainan masa kecil yang serupa?
Hasil dari main-main a la insinyur ini (Ban) adalah arsitektur yang subtil dan bersahaja. Hasil dari main-main a la Gehry adalah arsitektur yang akrobatik: mengejutkan, memukau kita dengan instan, lebih menegangkan, juga lebih berbahaya dan beresiko tinggi. Butuh jenis arsitek yang berbeda untuk melakukan permainan yang berbeda. Butuh level pemahaman yang berbeda untuk bisa mengapresiasi keduanya.
SS
Wah, Tampaknya Anda sudah memberikan garis yang tegas diantara dua cara ‘main-main’ arsitek – yang juga merupakan jawaban dari pertanyaan Anda sendiri. Saya bisa setuju dengan batas itu.
Saya sebenarnya hanya hendak menegaskan garis yang Anda buat: upaya ‘main-main’ Shigeru Ban kali ini tampaknya bukan ‘main-main’ ala Gehry.
Memang tidak dijabarkan dalam press release atau sejenisnya atas proyek Tamedia mengenai bagaimana arsitektur bangunan berstruktur kayu tersebut bisa layak menyandang label “sustainable”. Saya berbaik-sangka bahwa pranata hukum serta industri bahan bangunan di Swiss telah berada pada tingkatan yang cukup tinggi dalam hal memasok kayu sebagai bahan bangunan dan bahwa kayu merupakan pilihan paling ramah lingkungan dibandingkan berbagai bahan lain yang lazim digunakan sebagai bahan bangunan. Salah satu sebabnya bisa jadi Swiss (maupun negara-negara Eropa lain, khususnya negara-negara Skandinavia) telah mengembangkan hutan industri yang dapat memenuhi pasarnya. Bisa jadi, energi serta biaya lingkungan yang ditanggung dalam proses membuat satu elemen konstruksi hingga terpasang pada bangunan telah menjadi begitu rendah ketimbang apabila menggunakan (misalnya) baja maupun beton. Bisa jadi siklus daur lengkap bahan bangunan juga telah dipertimbangkan dan juga diperhitungkan dalam perizinan maupun (mungkin) skema insentif. Bisa jadi ini semua prasyarat yang HARUS ditempuh untuk dapat menghasilkan bangunan setara yang dibuat Shigeru Ban. Tapi sekali lagi, saya sedang berbaik-sangka. Bisa jadi tidak demikian. Namun saya ragu, apakah penilaian yang baik juga bisa saya lakukan bila ada arsitek Indonesia yang, mungkin karena sangat terinspirasi oleh proyek ini, mulai berniat membuat bangunan a la meccano kayu di Jakarta? Saya hampir yakin: tidak.
Kegiatan apapun juga memiliki konsekuensi; akibat dan dampak – mohon koreksi apabila pengertian saya salah. Akibat merupakan konsekuensi yang sudah disadari – diinginkan maupun tidak. Kalaupun akibatnya buruk, kita biasanya sudah menimbang bahwa akibat tersebut tidak terhindarkan. Dampak, biasanya, tidak/belum terantisipasi dan hampir selalu berkonotasi buruk. Kadang ada hal baik yang muncul secara kebetulan, dan biasanya kita nyatakan sebagai keberuntungan. Namun bila yang buruklah yang tidak terantisipasi, celakalah kita.
Arsitektur adalah salah satu seni yang paling mahal dan termasuk salah satu yang paling interaktif dengan penggunanya. Sehingga dimaklumi bila ada yang berpendapat bahwa arsitek sebenarnya memiliki tanggung jawab yang luar biasa berat, terutama apabila terkait dengan bangunan-bangunan dan infrastruktur publik. Konsekuensi dari aksi ‘main-main’ pada bangunan dan infrastruktur publik dapat berakibat fatal. Namun sulitnya, seringkali kita terlalu serius bermain-main dan melompat-lompat dengan dugaan, anggapan, tipologi-tipologi, stigma-stigma, asosiasi tanpa benar-benar melakukan analisa dan runutan logika dan timbangan rasional mengenai setiap langkah, keputusan, dan konsekuensi dalam proses perancangan (dan perencanaan) kita. Bahkan, menurut pengalaman saya sendiri, meskipun banyak dari rekan-rekan kita memang sangat pandai dalam merancang namun sebenarnya sangat buruk dalam merencanakan. Setujukah Anda?
AA
Sebelum menjawab pertanyaan Anda, sedikit mengomentari Tamedia, memang sayang bahwa sampai saat ini belum ada media yang membuat liputan yang cukup komprehensif mengenai aspek “sustainability” (Keberlanjutan? Kelestarian?) dari bangunan itu. Mungkin karena sumber yang kita rujuk selama ini adalah media-media arsitektur populer yang memang tidak terlalu berminat untuk membahas aspek tersebut. Mau tak mau, kita terpaksa mencerna sendiri dari informasi-informasi minim berupa gambar-gambar dan sedikit keterangan mengenainya, dan berusaha merangkai “cerita” sendiri untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan kita atas pernyataan-pernyataan tak lengkap dalam artikel-artikel tersebut. Ini seperti mengisi titik-titik kosong dalam sebuah ujian, bukan? Prasangka-prasangka baik Anda adalah isian pada titik-titik kosong tersebut.
“Apakah penilaian yang baik juga bisa saya lakukan bila ada arsitek Indonesia yang, mungkin karena sangat terinspirasi oleh proyek ini, mulai berniat membuat bangunan a la meccano kayu di Jakarta? Saya hampir yakin: tidak.” Wow. Pernyataan yang keras. Sebuah mosi tidak percaya. Pernyataan keras Anda berikutnya adalah: “...banyak dari rekan-rekan kita memang sangat pandai dalam merancang namun sebenarnya sangat buruk dalam merencanakan. Setujukah Anda?” Saya bisa menyetujui argumen Anda, meskipun untuk menjelaskannya kita perlu contoh-contoh.
Masalahnya, sulit mencari contoh bangunan-bangunan dan infrastruktur publik yang dirancang (dan direncanakan) oleh rekan-rekan arsitek kita. Ada beberapa alasan. Satu, kebanyakan dari mereka baru punya lingkup klientel privat. Dua, kebanyakan klien yang menyelenggarakan bangunan publik mempercayakan perancangan dan perencanaan bangunan tersebut pada arsitek luar. Apakah ini sebentuk ketidakpercayaan akan kemampuan arsitek Indonesia? Mungkin saja. Anda menyuarakan rasa tidak percaya yang sama. Ketiga, meskipun bangunan publik menjamur, varian tipologinya tak banyak. Sebagian besar adalah fasilitas-fasilitas komersil: hotel, kantor sewa, mal. Sisanya: sekolah, rumah sakit, tempat ibadah – yang mungkin telah jadi fasilitas komersil juga.
Beberapa bangunan mal dan kantor sewa mulai dikerjakan oleh konsultan-konsultan besar di Jakarta dan Bandung. DCM, Hadiprana, Arkonin, AT 6, Airmas Asri, Urbane. Tapi “tanggung jawab” seperti apa yang bisa kita tuntut dari para arsitek yang mendesain bangunan-bangunan komersil? Jika pun betul “kita terlalu serius bermain-main dan melompat-lompat dengan dugaan, anggapan, tipologi-tipologi, stigma-stigma, asosiasi tanpa benar-benar melakukan analisa dan runutan logika dan timbangan rasional mengenai setiap langkah, keputusan, dan konsekuensi dalam proses perancangan (dan perencanaan)”, bukankah itu gayung bersambut dengan peraturan yang gurem dan penyelewengan yang dibiarkan? Kita tidak bisa menutup mata bahwa praktek arsitektur kita sering diwarnai pelanggaran peraturan dan bentrokan antara aspek ekonomi dan ekologi. Tentu saya mengatakan ini bukan untuk membebaskan arsitek dari tanggung jawabnya. Tentu kita tetap dituntut untuk bersikap kritis dan etis. Lagi-lagi saya membawa kata tersebut dalam perbincangan kita.
Berkaca pada Tamedia, ini yang saya lihat: regulasi dari pemerintah yang baik untuk menciptakan lingkungan bina yang lebih baik, pengawasan yang ketat, dan arsitek yang punya integritas.
Catatan: soal kata “akibat” dan “dampak”, KBI (Kamus Bahasa Indonesia) memberikan makna yang kurang lebih sama, dengan perbedaan intensitas. Dampak selalu adalah akibat dari suatu pengaruh yang kuat. (Referensi: "dampak" dan "akibat")
SS
Menyenangkan. Saya membuat tuduhan terbuka, Anda yang menjelaskannya sehingga saya punya jatah untuk melanjutkan aspek bahasan menjadi lebih luas: soal pranata dan konteks.
Memang tidak adil apabila kita menilai praktek berarsitektur (dan membangun) di Indonesia dengan perbandingan dari negara-negara maju. Jauh sekali.
Pranata hukum saja, misalnya, kita jauh tertinggal. Profesi kita belum diakui secara hukum di Indonesia. Dokter sudah, pengacara sudah, beberapa jenis insinyur sudah – arsitek belum. Ranah pekerjaan arsitek masih diakui (secara hukum) dapat dilakukan oleh profesi lain (dan oleh siapa saja yang merasa mampu).
Dari sini, seluruh aspek profesionalisme menggantung tidak jelas. Ini sebabnya aspek etika profesi juga masih sejauh kolegial, upaya suka rela masing-masing individu dalam menghormati sesama sejawat. Kalau melanggar, silahkan gunakan hukum umum yang berlaku.
Salah satu konsekuensi lain (dan mungkin juga sebab) dari hal di atas adalah: proses perijinan bangunan juga jadi tidak jelas; muara bertemunya kekacauan birokrasi yang dimanfaatkan sebagai lahan korupsi, ditunggangi secara sistemik oleh politik, dan telah jadi kebiasaan. Otonomi daerah menjadikan perijinan bangunan “lahan yang basah”. Dan ini bukan masalah arsitek Indonesia saja, ini masalah masyarakat pada umumnya. Maka sementara ini kita masih akan melalui masa-masa kegelapan, dan sementara ini kita akan tetap berupaya berkarya.
Masih terkait soal aturan dan hukum adalah kenyataan bahwa ada banyak macam (konsultan) arsitektur di Indonesia. Biro-biro yang Anda sebut di atas adalah biro-biro korporat, yang melayani proyek-proyek korporat. Biasanya mereka telah berpakem tertentu dalam berkarya, meskipun ada juga beberapa yang mencoba dinamis dengan sistem studio dan melayani proyek dengan pendekatan yang spesifik. Mereka berada dalam jalur resmi, tampil legal, meskipun kadang menjadi pihak nomor dua dalam proyek-proyek raksasa.
Proyek-proyek publik di Indonesia seringkali menggunakan jasa-jasa para biro-biro korporat terkenal tadi, tapi seringkali juga menggunakan jasa-jasa biro-biro teknik generik. Biro-biro ini biasanya tidak spesifik dalam jenis karya, namun spesifik dalam melayani klien – dengan kata lain tidak memiliki ragam klien yang banyak, setia melayani hanya beberapa kantor/dinas pemerintah atau badan usaha tertentu saja.
Saya sendiri pernah mencoba masuk dalam penugasan seperti ini, dan memang tidak mudah untuk bertahan dalam situasi di mana birokrasi dan administrasi jauh lebih penting dan berkuasa daripada kompetensi ketrampilan dan mutu produk jasa yang kita tawarkan. Seringkali dalam beberapa situasi tertentu ada upaya-upaya nakal dari pihak-pihak tertentu untuk “bermain kotor”, salah satunya adalah mencegah penugasan jatuh ke pihak-pihak lain. Kadang motivasinya hanya uang, tapi kadang juga bisa uang dan politik. Kadang-kadang malah masalah pengaruh dan wibawa pejabat yang berkuasa. Jarang sekali soal kepentingan publik.
Belakangan, berita baiknya adalah banyak proyek publik telah disayembarakan. Banyak arsitek-arsitek yang baik memenangi berbagai kompetisi arsitektur (meskipun belum terlalu banyak yang sukses hingga terbangun). Beberapa gedung pemerintahan juga telah mulai menggunakan jasa-jasa arsitek yang telah lebih dulu diakui baik oleh sejawat. Hal ini sedikit banyak telah membuat tembok-tembok kolusi dalam jawatan-jawatan meleleh dan kompetisi menjadi semakin terbuka bagi semua arsitek.
Yang membedakan situasi praktek di Indonesia adalah bahwa selain biro-biro korporat, praktek arsitektur di Indonesia justru dinamis pada sektor privat, proyek-proyek pribadi. Skalanya biasanya kecil, kalaupun besar tidak sampai puluhan ribu meter persegi, sehingga biasanya tidak sementereng proyek-proyek publik tadi. Sebabnya – antara lain – adalah situasi seperti yang saya gambarkan di atas: apresiasi terhadap ketrampilan dan mutu produk sangat kurang.
Di sini julukan “arsitek idealis” muncul – julukan yang sebenarnya sangat merendahkan martabat profesi – oleh banyak “arsitek” yang merasa kesuksesan seorang arsitek dapat diukur dari besarnya proyek dan honor yang diterima, tidak lebih. Untungnya, makin banyak arsitek yang merasakan bahwa kepuasan berkarya bukanlah sekadar nilai tambah dari ketrampilan bekerja; apresiasi sama besar nilainya dengan honorarium. Bahkan banyak arsitek rela berkarya dengan honor kecil namun dengan kepuasan besar. Sudah sekian puluh tahun terakhir, inovasi dan perkembangan arsitektur di Indonesia bertumpu pada proyek-proyek semacan ini. Dan – berita baiknya – dalam pertumbuhan ekonomi yang pesat beberapa tahun terakhir ini, skala proyek-proyek privat ini semakin besar, yang artinya rancangan-rancangan arsitek Indonesia pada akhirnya memiliki kesempatan untuk berdampak luas – meskipun masih terbatas pada (seperti yang Anda sebutkan) yang komersil dan pribadi (dan beberapa perkecualian yang bersifat “sosial”).
Semoga dengan ini saya telah menggambarkan situasi pranata dan konteks penugasan arsitektural di Indonesia dengan cukup baik.
Jadi, sebenarnya pernyataan saya bukan sekadar mosi tidak percaya. Tapi soal absennya pranata profesi dan hukum dari keseharian profesi arsitek. Proyek Tamedia karya Shigeru Ban bisa terjadi dan terbangun karena banyak hal, bukan semata-mata karena Ban adalah arsitek yang bagus, atau kliennya adalah klien yang berselera dan kaya. Tamedia bisa jadi karena pranata hukumnya memungkinkan; building code membolehkan dan memastikan bahwa struktur yang diusulkan aman dan sesuai. Tamedia bisa diklaim ‘sustainable’ karena – di Swiss - industri perkayuan telah dapat menghasilkan produksi material tersebut lebih ‘hijau’ daripada (misalnya) besi dan beton – seperti yang saya sudah katakan sebelum ini. Rangkaian seluruh prosesnya mesti dihitung dan dibuktikan. Ada baiknya menyimak ulasan pameran Ban yang telah berlangsung di Tokyo: "Shigeru Ban between function and beauty."
Shigeru Ban. (© Shigeru Ban Architects)
Ketiadaan pranata juga diperparah oleh hal lain: amplifikasi media. Ketiadaan pranata menyebabkan kita tidak terlalu dituntut untuk membuktikan klaim-klaim yang kita umbar di media: sustainable, green, ramah lingkungan, dekat dengan alam, dan lain sebagainya. Klaim yang belum diperiksa kebenarannya akan dengan mudah disiarkan selayaknya loud speaker karaokean penyanyi fals yang belum becus nyanyi tapi sudah diperdengarkan kepada orang sekampung. Bagi tetangga yang merasa kenal dekat tentunya akan senyum-senyum saja bila tidak sedang sakit gigi, tapi tentunya tidak akan ada celah untuk kritik di sana – kecuali bagi yang benar-benar terganggu dan melaporkannya pada Ketua RT.
Sehingga lazim muncul berbagai “lompatan-lompatan” argumentasi yang biasa muncul dalam penjelasan “arsitektural”, seperti: pernyataan bahwa “besi tidak ekologis”, “kayu pasti sustainable”, “bambu pasti ramah lingkungan”, dan lain sebagainya. Sesungguhnya, tidak ada kebaikan arsitektural yang bersifat universal. Semestinya sebuah gagasan (ataupun produk/material) bisa baik apabila dihasilkan dari keputusan yang telah melalui pemahaman dan pertimbangan atas pranata dan konteks yang berlaku.
Belum lagi bila ditambahkan berbagai klaim kualitas yang bersifat lebih abstrak: “berguna bagi masyarakat”, “membela rakyat kecil”, “lokal”, “menghargai budaya setempat”, “terinspirasi tradisi dan budaya setempat” – yang lebih sulit dibuktikan apakah semua klaim itu benar/tidak dan berguna/tidak. Sulit dibuktikan, memang, tapi tidak mustahil. Bila mau. Sayangnya memang klaim-klaim semacam ini sering lewat tanpa pembuktian, dan malah beredar di ranah popularitas media lewat jempol-jempol virtual – yang seakan berkata: semakin banyak jempol, semakin benar.
Ya, ini memang berubah drastis jadi curcol – curahan hati colong-colong – akibat makin tidak terhubungnya kualitas, apresiasi, kritik arsitektur dengan popularitas dan wacana arsitektur di Indonesia. Tapi ini mau tidak mau tersirat bagaikan cermin setiap kita melakukan apresiasi terhadap karya arsitektur apapun, baik di dalam maupun di luar negeri.
AA
Setelah Anda memborong semua dalam sekali pukul, saya pikir ada baiknya kita menyudahi ini dengan sebuah refleksi. Maksud saya, pijat di telapak kaki yang bermanfaat untuk kesehatan dan kebugaran. Seperti dokter yang baik, Anda telah memberikan analisa dan diagnosa yang akurat terhadap penyakit-penyakit yang diidap dunia per-arsitektur-an kita. Penutup dari Anda, tentang tidak terhubungnya kualitas, apresiasi, kritik arsitektur, dengan popularitas dan wacana arsitektur di Indonesia, adalah materi yang bagus sekali untuk kita diskusikan dalam korespondensi terpisah.