Kota Tanpa Sampah, Mungkinkah?

Eksperimen dan kolaborasi bersama warga, mencari alternatif menejemen sampah rumah tangga

Author

Pada 30 Mei 2015, LabTanya, sebuah lab riset dan eksperimen pada studio arsitektur AWD, mengadakan diskusi bertajuk “Buka Studio: Kota Tanpa Sampah” bersama warga RW 08 di kawasan Camar, Bintaro Sektor 3. Acara ini bertujuan untuk memamerkan dan mensosialisasikan gagasan dari inisiatif “Bagaimana Jika: Kota Tanpa Sampah”.

Proyek “Bagaimana Jika?” merupakan rangkaian dari lima subproyek inisitaif untuk mempelajari lebih jauh berbagai alternatif keseharian yang lebih relevan di antara tumpukan persoalan di sekitar kita. Melalui inisiatif tersebut, para mahasiswa arsitektur dan beberapa freshgraduate yang tergabung dalam LabTanya menggali berbagai peluang mengaplikasikan pengetahuan mereka untuk menanggapi dinamika sehari-hari.

Perjalanan Menuju Kota Tanpa Sampah

Proyek ini mengambil kawasan Camar di Bintaro, tempat LabTanya dan studio arsitektur AWD berada. Sejak tahun lalu, kawasan Camar menjuarai lomba K3 (Kebersihan, Ketertiban, dan Keamanan). Namun rupanya di balik keberhasilan menjadi lingkungan yang bersih, kawasan Camar masih merupakan salah satu penyetor sampah ke TPA (Tempat Pembuangan Akhir) Rawa Kucing di Cengkareng. Sampah yang dihasilkan oleh rumah-rumah dibersihkan dari lingkungannya, lalu dipindahkan ke TPA Rawa Kucing sehingga lingkungan Camar menjadi bersih. Namun TPA Rawa Kucing justru mendapatkan beban sampah kiriman. Tanpa sadar, saat membersihkan sampah, kita hanya memindahkannya dari lingkungan kita ke tempat lain.

Mengacu pada data dari Bank Dunia, satu orang rata-rata menghasilkan 0,6 kg sampah setiap harinya. Dengan jumlah penduduk Indonesia yang mencapai lebih dari 250 juta jiwa (berdasarkan data dari Biro Pusat Statistik, 2014), maka produksi sampah Indonesia bisa mencapai lebih dari 151.298 ton per harinya. Sementara hasil pengamatan sampah di Camar sendiri dapat mencapai 3-4 kg/rumah. Dengan 840 kepala keluarga yang ada di Camar, maka produksi sampah di lingkungan Camar sendiri dapat mencapai 2.940 kg per hari. Lalu mampukah lahan-lahan TPA itu terus menampung produksi sampah kita? Sampai kapankah TPA harus selalu memperluas lahannya agar mampu menampung sampah dari konsumsi kita?

Kegiatan riset dan eksperimen Kota Tanpa Sampah dilakukan selama 4 bulan secara bertahap. Tahapan pertama kegiatan ini berupaya membongkar paradigma yang ada dalam masyarakat selama ini. LabTanya menunjukkan fakta serta problematika yang muncul karena sampah. LabTanya  juga mengundang warga Camar, Bintaro, untuk melihat kontrasnya keadaan di Camar dan di TPA Rawa Kucing. Bincang santai tersebut rupanya berhasil memberikan sudut pandang yang berbeda mengenai akibat yang muncul dari kegiatan konsumsi sehari-hari., sehingga warga yang datang pun tertarik untuk berperan serta dalam proyek Kota Tanpa Sampah.

Pada tahapan kedua, tim Kota Tanpa Sampah menggali data kegiatan konsumsi di rumah-rumah para relawan. Mulai dari mendata jumlah anggota keluarga, kebiasaan berbelanja, hingga sampah hasil konsumsi oleh rumah tangga tersebut. Data-data tersebut kemudian diolah untuk memetakan pola alur konsumsi dan aktor-aktor yang berperan dalam proses terbentuknya sampah dalam lingkup rumah tangga. Mulai dari produk dibeli oleh salah satu orang di rumah, dikonsumsi, hingga akhirnya menghasilkan sisa sampah yang kemudian dibuang ke tempat sampah di rumah.

Pada tahapan ketiga, setelah memahami siapakah aktor-aktor yang berperan penting dalam alur sampah rumah tangga, mulailah tim LabTanya bersama dengan para relawan mencari alternatif-alternatif untuk mengurangi produksi sampah dalam skala rumah tangga. Secara garis besar, ada dua strategi yang bisa diaplikasikan. Pertama, strategi ‘pintu belakang’, yaitu mencoba mengurangi sampah yang pada akhirnya dikirim menuju TPA. Ada dua cara yang dapat dilakukan dalam strategi ini, yaitu dengan cara reuse dan recycle. Reuse berarti menggunakan ulang barang-barang bekas sisa, misalnya menggunakan bekas kaleng susu bayi menjadi pot-pot bunga. Recycle adalah memperpanjang daur hidup suatu barang. Untuk sisa-sisa organik, daur hidupnya bisa diperpanjang dengan menggunakan komposter, yang mengubahnya menjadi kompos sebagai penyubur tanaman. Untuk sisa-sisa yang tidak membusuk, bisa dikelompokkan dalam penampungan-penampungan sementara sesuai jenisnya untuk kemudian disalurkan ke pengepul dan dikirim ke pihak pendaur ulang. Penting untuk kemudian mengenali, meneliti, serta memetakan jaringan pengepul di sekitar tempat tinggal: Apa-apa saja yang diterima? Bagaimana dan ke mana proses daur berikutnya? Di sekitar Camar, tim LabTanya juga memetakan beberapa jaringan pengepul yang berada dalam radius kurang lebih 1.000 meter, serta jenis-jenis barang yang mereka terima. Dalam simulasi ini, strategi ‘pintu belakang’ saja mampu mengurangi sampah rumah tangga hingga 80%.

Strategi selanjutnya, adalah ‘pintu depan’, yaitu dengan cara reduce dan replace. Reduce, yaitu mengurangi penggunaan benda-benda yang memiliki risiko sampah tinggi, misalnya mengurangi konsumsi minuman kemasan, atau mengurangi konsumsi camilan yang dikemas dengan kemasan plastik berlebih. Sedangkan replace, dalam hal ini adalah mengganti konsumsi barang-barang tertentu dengan alternatifnya yang lebih ramah lingkungan. Misalnya dengan mengganti penggunaan kresek dengan tas belanja yang bisa digunakan berulangkali. Kombinasi strategi pintu belakang dan strategi pintu depan, dalam simulasi yang dilakukan oleh tim LabTanya, rupanya mampu mengurangi jumlah sampah hingga 98%. Salah satu relawan bahkan berhasil mengurangi sampah rumah tangganya dari 2,4kg menjadi 0,05kg di akhir program. “Sekarang udah dikit sampahnya, tadi pagi saya gak buang sampah sama sekali ke depan,” ujar Mbak Elis, seorang asisten rumah tangga dari salah satu relawan.

Masih ada banyak tantangan yang muncul saat melakukan simulasi bersama warga, seperti kurangnya minat para relawan untuk menggunakan drum-drum komposter, yang dianggap bau dan tidak indah. Namun rupanya hal ini tidak mengurangi semangat para relawan untuk mencoba mengurangi sampah rumah tangga mereka. Muncul berbagai alternatif untuk mengomposkan sisa-sisa organik. Salah satu relawan misalnya, mengomposkan sisa makanan rumahnya dengan cara membuat sebuah lubang kecil di halamannya untuk membuang sisa makanan dan sampah-sampah lain yang membusuk. 

Kota Tanpa Sampah, Mungkin!

Tentu inisiatif baik sebaiknya disebarluaskan. Maka dari itu, sebagai tahap akhir (atau justru awal) dari proyek Kota Tanpa Sampah ini, diadakanlah acara “BukaStudio: Kota Tanpa Sampah”. Acara ini merupakan upaya sosialisasi hasil riset dan eksperimen ini. Arsitek biasanya melakukan pameran dengan berbagai media arsitektur seperti gambar-gambar ortografis, ilustrasi 3D, maupun maket. Justru kali ini tim Kota Tanpa Sampah memamerkan konsepnya melalui media-media yang berbeda seperti video, simulasi teatrikal, serta penyajian prototipe ide dalam skala 1:1.

Riset  ini menjadi sebuah ruang bagi para arsitek di LabTanya untuk mentransformasi pengetahuan arsitekturnya dan bereksperimen mengenai praktik arsitektur yang relevan dan dekat dengan keseharian masyarakat. Proyek ini menjelajahi sudut pandang yang lain mengenai problematika sampah di sekitar kawasan Camar. Sampah yang tadinya hanya dilihat sebagai barang-barang atau sisa-sisa yang kotor dan harus dibersihkan, kini mulai didefinisikan ulang. Sampah merupakan sisa-sisa konsumsi yang memang sudah tidak ada manfaatnya sama sekali, dan tidak bisa didaur ulang. Cara kita menyikapi sampah lalu bukan lagi “Buanglah sampah pada tempatnya” melainkan “Tempatkan sisa konsumsi untuk masuk ke daur hidup berikutnya”.

Diskusi BukaStudio ini mengajak kita semua untuk bisa lebih sadar mengenai risiko sampah yang muncul dari perilaku konsumsi sehari-hari dan membeirkan kita pilihan langkah yang lebih relevan. Dimulai dari yang dekat, kegiatan sehari-hari dan langkah-langkah kecil bisa mengantarkan kita menuju sebuah visi kota yang terbebas dari persoalan sampah.

Dalam kegiatan Buka Studio juga terdapat penjelasan tentang problematika sampah serta sharing pengalaman dari relawan yang terlibat. Tim Greeneration Foundation memaparkan strategi menajemen persampahan rumah tangga. Tim LabTanya menyiapkan display untuk menjelaskan konsep Kota Tanpa Sampah dalam skala 1:1, antara lain melalui display mengenai Toko Tanpa Sampah yang kemasan produknya tidak berisiko sampah setelah konsumsi. Tidak hanya itu, para tamu juga dijamu dengan sajian makanan dan minuman dengan kemasan yang telah dirancang mendukung konsep Kota Tanpa Sampah, yaitu beragam makanan dengan kemasan berisiko sampah yang rendah, serta minuman sehat dan menyegarkan yang bisa diisi ulang dengan gelas maupun tempat minum milik audiens.

“Ternyata cara membuat kota menjadi bersih dari sampah itu gampang,” ujar Faradika, salah satu pengunjung yang datang. Antusiasme masyarakat yang cukup tinggi terhadap kegiatan ini, menunjukkan bahwa proyek Kota Tanpa Sampah justru merupakan awal dari pergerakan yang lebih besar lagi. Masih ada banyak tantangan dan peluang yang menanti untuk dibongkar dan ditaklukkan bersama. Sebuah harapan dan perspektif yang berbeda: bahwa Kota Tanpa Sampah itu mungkin!

 



comments powered by Disqus
 

Login dahulu