Memoar Ruang Belanja di Athena

Pengalaman menyusuri ruang belanja di Athena, dari yang menjual legenda, tren modern sampai hal-hal spontan.

Author

Ketika profesor saya menyampaikan rencana untuk mengunjungi Athena, imajinasi yang terlintas adalah Parthenon yang legendaris, Dewi Athena dan Olimpiade 2004. Selain itu tidak ada lagi. Betapa naifnya pengetahuan saya tentang Athena. Selain imajinasi itu, selayaknya seorang pelancong, saya hanya mengingatkan diri agar tidak lupa berbelanja cinderamata.

1 November 2012, kami tiba di bandar udara internasional Athena bernama Eleftherios Venizelos. Ia terletak di kota Spata,  30 km di arah Tenggara Kota Athena atau sejauh 1 jam perjalanan menggunakan METRO, kereta komuter dalam kota Athena.

Suasana di pusat Kota Athena berbeda dengan bandar udara Eleftheiros Venizelos yang modern.  Athena memiliki tekstur sejarah dengan kekontrasan yang kental. Di sisi kiri dan kanan jalan selalu terselip arsitektur yang sepuh, yang sudah puluhan bahkan ratusan tahun usianya, seperti keriput orang tua - di antara arsitektur modern yang mengkilap. Misalnya saja gedung tinggi berlanggam international style bernama Athens Tower bersanding dengan reruntuhan Parthenon di puncak Citadel Akropolis. Atmosfir kota berwarna putih, krem dan abu-abu – senada dengan warna Parthenon – yang dihasilkan dari material dinding bata, batu alam dan marmer. Warna lain, yang berasal dari grafiti atau spanduk akan kontras dengan warna kota tersebut.

Sebelum menelusuri kota, kami menuju puncak gunung Imittos untuk melihat keseluruhan Athena. Dari situ terlihat Athena yang terletak pada Attica Basin, daratan seperti mangkuk akibat dikelilingi oleh empat gunung, yaitu Gunung Aegaleo di Barat, Parnitha di Utara, Penteli di Timur Laut, dan Imittos di Timur. Di arah Selatan, kontur daratan merendah dan berakhir di Laut Aegean. Antara gunung dan laut, terdapat beberapa bukit di dalam kota. Dari atas gunung, lanskap Athena tampak  seperti lautan beton berwarna putih, diselingi kehijauan pepohonan dan coklat krem bebatuan bukit-bukit di kota Athena; Akropolis ialah salah satu bukit yang jelas terlihat.

 Imittos (foto:Maria Yoanita)

Pada hari berikutnya, kami menelusuri jalan-jalan Athena dengan berjalan kaki. Kami bertemu dengan wajah Athena yang sepuh, yang sudah berabad-abad umurnya, tersebar di seluruh pelosok kota.  Gereja, area pemakaman kuno, reruntuhan kuil, dan bangunan lain yang sebagian masih aktif digunakan. Saya seperti berada dalam ruang paralel. Masa lampau dan masa kini tumpang tindih dalam ruang yang sama: di bawah kaki saya mungkin tertimbun Athena 2000 tahun lalu. Di kota ini, bangunan baru harus berkompromi dengan fosil budaya yang ada, misalnya, dengan mengangkat bangunan dan mempersilakan artefak tersebut terekspos ke publik. Ada yang pembangunannya dihentikan jika ternyata ia berada pada situs bernilai sejarah tinggi. Namun ada pula situs yang tidak bisa disentuh modernitas, malah kesepuhannya yang diawetkan: Akropolis.

Dalam bahasa Yunani, Akropolis – akros artinya tertinggi, polis artinya kota – ialah primadona dan area sakral Athena sejak sebelum Masehi. Di puncak Akropolis terdapat Parthenon, tempat untuk memberikan persembahan bagi Dewi Athena sebagai pelindung kota. Walau telah beberapa kali beralih fungsi sampai akhirnya sebuah ledakan menghancurkan sebagian bangunannya, kesakralan Parthenon tetap bertahan. Walau tidak lagi utuh, bentuk asli Parthenon masih terbaca. Kolom-kolom Doric berwarna putih tegar menopang bongkah entablatur, menjulang berlatar belakang biru langit Athena. Tatanannya yang simetris, repetisi cahaya dan bayangan yang tertera pada reruntuhan kuil ini saat kita berjalan mengitarinya membuat kesan formal nan agung, bagai sesepuh yang harus dihormati. Pula kesepuhannya bagai harta yang ringkih namun tetap dipuja dan tidak terganti.

Parthenon (foto:Maria Yoanita)

Penduduk Athena (terutama para arsitek, sejarawan, budayawan, seniman, dan orang-orang tua) sangat protektif terhadap Akropolis. Jika bercerita tentang Akropolis dan mitosnya, rasa sayang terpancar dari alunan kalimat dan mata mereka – rasa bangga pun dapat terbaca. Bisa dikatakan sejarah yang sepuh ini adalah harta, tumpuan, pegangan, dan identitas untuk penduduk dan kota Athena sendiri.

Melihat kesakralan Akropolis dan kaitannya dengan penduduk Athena, saya, sebagai pelancong arsitektur yang senang berbelanja, jadi bertanya – bagaimana interaksi yang terjadi di ruang kota, terutama di ruang perbelanjaanya? Apakah kesakralan situs-situs sejarah ini masih tampak dan berpengaruh di ruang-ruang belanja itu?

Ruang berbelanja Athena yang sepuh

Plaka (sumber:http://www.grekomania.com)

Seperti magnet, situs turisme selalu menggaet toko-toko cinderamata. Sebut saja Plaka, area pemukiman tertua di Athena . Ia menjadi area belanja paling turistis karena letaknya berada di kaki bukit Akropolis dan merupakan salah satu tujuan akhir dari prosesi berjalan setelah menjelajahi Akropolis.

Di Plaka suasana tidak lagi sakral, hanya terlihat sepuh. Ia tersusun dari koridor sempit yang tertata seperti labirin. Tidak ada kendaraan. Setiap tikungannya tidak terduga. Pelapis jalannya masih sama seperti yang terpasang antara Akropolis dan Plaka. Fasad koridor ini dibentuk oleh “ruko” neoklasik berlantai dua atau tiga. Di antaranya terselip taverna (kedai makan) dan bar lokal. Ruku-ruko itu menjual berbagai macam cinderamata mulai dari magnet, gantungan kunci, patung sampai benda-benda fesyen seperti topi, syal, baju dan tas.  Semua barang itu memiliki kesamaan, yaitu berusaha menampilkan replika imaji tentang Parthenon atau dewa-dewi Yunani.

Repetisi replika imaji tentang sejarah inilah menurut saya mereduksi kesan sakral. Dengan mudah, kita  dapat berjumpa dan memiliki barang yang sama. Namun, saya kira memang demikian intensi jajaran toko cindera mata di kota ini: Bila di Akropolis sakralnya sejarah tak bisa digapai, hanya dapat dibayangkan, di Plaka, secuil imaji Athena yang sepuh bisa disentuh, dibeli dan dibawa pulang sebagai pengingat pernah menapak di kota bersejarah.

Souvenir (sumber:http://www.grekomania.com)

Menyingkir dari zona turis, kami mulai menapaki Athena yang lain. Masih dengan rasa penasaran yang sama, bagaimana dengan ruang belanja di bagian kota yang bukan situs sejarah? Apakah masih terasa sepuh walau mungkin tidak sakral?

Ruang berbelanja kekinian

Di Ermou, satu kilometer ke arah utara dari Akropolis, terdapat shopping street  tersibuk di Athena. Di sana, sejarah dan kesepuhan tidak dirayakan. Ermou menunjukan karakter Athena sebagai  pesolek yang mengkilap dan lekat dengan tren masa kini. Gaya hidup modernlah yang dipuja dan dirayakan. Ia terbentang sepanjang satu setengah kilometer dengan jalanan berlapis paving batu dan didampingi pot-pot tanaman kecil. Pertokoan berada di sisi kiri dan kanan. Seluruh toko memoles fasadnya supaya tampil beda dengan toko di sebelahnya, ada yang memanfaatkan warna, huruf, stiker, tawaran diskon dan bermacam lampu. Toko-toko itu seolah menggoda pengunjung untuk menjadi yang pertama memiliki dan menggunakan gaya terbaru di musim itu. Di sana, kekinianlah yang dikejar. Waktu berjalan cepat sesuai musim.

Ermou Street (foto:Maria Yoanita)

Sama seperti di Kolonaki yang dikenal sebagai daerah elit di Athena. Ia berjarak 20 menit berjalan kaki dari Ermou.  Di sini modernitas juga dirayakan. Bedanya, toko-toko di sini bersifat butik dari brand desainer lokal dan internasional. Mereka menjual barang-barang dalam jumlah produksi yang terbatas. Beberapa di antaranya adalah buatan tangan seperti pakaian, sepatu sampai perhiasan – semuanya rapih tertata di balik etalase kaca. Di sini, kita akan selalu disambut oleh pramuniaga saat masuk dan keluar dari satu toko ke toko lainnya.  Peralihan dari toko ke toko menjadi menarik. Setiap keluar saya mendengar suara kendaraan dan setiap masuk ke toko suara itu akan tergantikan dengan suara musik yang berbeda-beda; bebauan dan cahaya ruang luar tergantikan oleh wewangian aromaterapi serta terang cahaya dalam ruangan toko. Selalu ada kejutan di dalam toko yang tak terbayang  jika hanya melihat sekilas etalasenya dari jalan. Prosesi keluar masuk dari toko ke toko ini membuat kegiatan belanja menjadi santai, privat, tidak membosankan, dan elegan.

Saya jadi terpikir, pengalaman keluar masuk toko dengan berjalan kaki (yang elegan) seperti ini sangat jarang bisa dirasakan di Jakarta. Di Jakarta, saya terbiasa berada di mal yang ditandai dengan prosesi naik-turun mobil jika hendak pergi berbelanja. Prosesi keluar masuk toko dilebur dalam udara berpendingin ruangan.

Soal kesepuhan, Kolonaki masih menyimpannya walau terasa lebih ringan dan tersentuh. Ia membungkus kekinian dalam bahasa yang sama dan menjadi naungan ruang belanja. Boleh jadi yang dijual adalah furnitur terbaru tahun ini – mengkilap dan futuristik bentuknya, namun bangunan dan fasad toko tetaplah berasal dari era yang lalu.

Ruang belanja sebagai kuali besar yang meriah

Setelah menelusuri ruang belanja yang modern, kami beranjak ke ruang belanja penting yang tidak bisa dipisahkan dari Athena, yaitu pasar. Pasar di Athena tidak mengenal waktu dan tidak bersolek.  Ia tampil apa adanya. Dari abad 15 sebelum Masehi sampai detik ini, dari Roman Agora yang tinggal reruntuhan sampai Varvakios Agora (Central Market), pasar tetap eksis dan garis besar tatananannya masih sama. Kita bisa melihat  Athena yang manis di sini. Ia seperti sebuah kuali besar rangkuman wajah, identitas, dan interaksi: warna, bahasa, suara, bau, suhu, dan ras.  Sekali, saya sempat terdiam berdiri di tengah area penjual daging yang bising dikelilingi organ dan badan (setengah) utuh hewan yang sudah dikuliti bergantungan di kiri dan kanan di balik etalase kaca. Bau, tekstur jaringan dan otot, serta warna merah di area ini cukup intens. Penduduk lokal sibuk memilih dan menawar harga untuk daging tersebut – kebal terhadap pemandangan sekitarnya. Sebaliknya, turis-turis (termasuk saya) sibuk mengambil gambar, banyak yang terkejut lalu menggelangkan kepala sambil tertawa.

Saya merasakan pengalaman yang familiar di pasar ini: meriah dan spontan. Terpisah sejauh hampir sepuluh ribu kilometer dari kampung halaman, saya justu teringat akan tanah air. Suasana ramai yang sama! Saat itu, Saya lupa akan Athena yang sepuh.

Pasar Daging (foto:Maria Yoanita)

Tidak jauh dari pasar terdapat Jalan Evripidou. Jalan rempah, begitu mentor kami menyebutnya. Sesuai dengan julukannya, jalan ini dipenuhi  oleh toko bumbu dan rempah-rempah dengan aromanya yang khas. Warna coklat, merah, hijau menghiasi koridor jalan, sementara langit-langit dipenuhi bawang dan rempah lain tergantung dalam kantung jala. Area ini tidak terlihat seperti Athena yang sepuh, modern atau yang meriah seperti pasar. Mungkin karena bau yang tercium dan warna-warnanya. Dan mungkin juga karena penjaja di toko-toko ini sebagian besar merupakan orang-orang dengan ras Asia Selatan dan Timur Tengah.

Evripidou (foto:Maria Yoanita)

Seiring langkah, bau rempah perlahan hilang, tergantikan oleh bau plastik. Kami memasuki jalan dengan banyak pedagang dari negeri Cina. Barang yang mereka jual sebagian besar berupa barang-barang rumah tangga berbahan dasar plastik dan garmen. Semakin jauh menyusuri jalan, transformasi dari suasana Athena menuju suasana Oriental semakin kental. Mulai banyak toko dengan karakter bahasa Mandarin, dekorasi lampion merah, imaji Tembok Besar dan Kota Terlarang, juga beberapa kedai makan yang menjual masakan Cina. Hanya segelintir yang menjadi penanda saya masih di Athena: terjemahan ke alfabet Yunani dari karakter Mandarin di papan penanda toko, goresan grafiti di dinding dan rolling door yang dalam bahasa Yunani, serta plat mobil yang terparkir di sisi jalan.

China town (foto:Maria Yoanita)

Kejutan dari ruang belanja yang spontan

Pada penghujung perjalanan, saya mendapat kejutan. Di jalan Kalidromeiou, 50 meter dari hotel kami yang terletak di puncak Bukit Strefi, Exarchia, saya menemukan ruang belanja musiman. Saya terkejut karena sehari-hari tempat ini sibuk dilewati kendaraan saat itu ditutup untuk dijadikan pasar. Pasar ini merupakan pasar mingguan, terkadang bulanan, spontan sesuai hasil panenan – digelar oleh para petani dan penduduk lokal. Menurut pemandu kami, pasar seperti ini memang umum terjadi, setiap area atau distrik punya rutinitas spontan seperti ini. Dan lagi-lagi, saya teringat akan pasar kaget ala Indonesia.

Di tempat ini, pembeli bertemu kembali dengan penjual langganannya – keduanya terlihat akrab, bertukar beberapa keping koin Euro dengan barang sembari bertukar gosip dan kisah. Saya amati pula, para penjual tidak terkesan terburu-buru ingin menjual dagangannya, malah rasanya sebagian dari mereka seperti ingin hanya “pamer” hasil panennya. Malah, mungkin pula bercerita dan mengeluh akan hasil panen yang menurun kuantitasnya. Saya tidak tahu. Tapi yang pasti, suasana di jalan yang biasanya hanya terdengar deruman mesin kendaraan, hari itu dipenuhi celoteh ramai warga setempat. Budaya pasar spontan ini terasa alami di sini. Tidak ada lensa yang mengambil gambar kecuali milik saya.  Bahasa yang terdengar hanya Bahasa Yunani. Lain halnya dengan Central Market yang padat dengan turis, pasar komunitas berskala kecil ini sangat kental dengan penduduk lokal sehingga interaksi akrab dengan mereka bisa dicicipi. 

Kalidromeiou (sumber:Maria Yoanita)

***

Athena sebenarnya ialah wahana belanja yang kompleks, wadah yang besar dan terbagi-bagi karakter serta wajahnya. Kesepuhan bukanlah satu-satunya faktor yang berpengaruh bagi ruang belanja kota. Seperti potongan puzzle, masing-masing karakter dan wajah ruang belanja berkaitan erat dengan budaya dan lingkungan setempat, yang kemudian pula mendefinisikan kota Athena dalam satu gambar.

Soal beli-membeli, sesungguhnya sebagai pendatang Anda tidak pernah dipaksa untuk berbelanja di sini, hanya saja Athena selalu melemahkan hati. Ia membuat kita ingin memetik secuil dari yang sepuh dan sakral, ingin menikmati yang trendi dan cantik – yang membuat kita terlihat bergaya saat menjadi bagian darinya, serta ingin ikut serta dalam kemeriahan, spontanitas, dan lokalitas Athena – seakan sesaat melebur di dalam kota yang kompleks ini. 

Memori perjalanan menelusuri kota, mengunjungi wahana sejarah, berinteraksi dengan ruang-ruang belanja Athena, bertegur sapa dengan penjualnya menjadi cindera mata untuk saya, selain 2 buah gantungan kunci dan 4 kartu pos. Saya membeli Athena yang sepuh, Athena yang modern dan kekinian, Athena yang spontan dan meriah, serta Athena yang Ketimuran. Kini, saya sudah mengantungi Athena saya. Bukan lagi Athena yang naif. 

 



comments powered by Disqus
 

Login dahulu