Menghempas Batas Ruang Kita

Kebutuhan tiap orang dilibatkan dalam "inklusivitas"

Author
Diskusi antar para mahasiswa, usher dan komunitas teman disabilitas (Foto oleh: Ephraim J.)

Sabtu (22/09/18), Bandung Jawa Barat, berlangsung acara BIT (Bandung Inclusive Trip) yang diselenggarakan oleh Sekolah Arsitektur Institut Teknologi Bandung (ITB). Acara pada tahun ini dengan tema “Menghempas Batas Ruang Kita” akan lebih berfokus pada pokok permasalahan inklusivitas dalam suatu ruang publik. BIT sebelumnya pernah diselenggarakan pada tahun 2013 dan 2014 dengan lokasi dan tema yang berbeda. Acara ini bertujuan untuk mengajak mahasiswa, praktisi umum maupun keilmuan yang terkait seperti desain produk, planologi untuk mengunjungi ruang-ruang publik, yakni Taman Balai Kota, Taman Inklusi, dan Taman Maluku, sekaligus mempertanyakan inklusivitas, khususnya dalam pandangan teman disabilitas. Kata Inklusivitas berlawanan dengan kata Eksklusivitas, yakni menghindari pemberian utilitas bagi kelompok sosial tertentu.

Dalam survei ini, teman disabilitas dan usher dari organisasi Gaung Bandung ITB akan menemani peserta dalam surveinya untuk menganalisis inklusivitas taman-taman di Bandung ini. Acara ini diadakan dengan tiga sesi diskusi.  Sesi pertama diisi oleh Norman Yulian selaku Ketua Dewan Pengurus Pusat Persatuan Penyandang Disabilitas Indonesia (DPP PPDI) Jawa Barat dan Rachmita Harahap selaku Dosen Universitas Mercu Buana sekaligus praktisi desain universal, seperti desain interior yang memberikan pandangannya mengenai pengalaman teman disabilitas dalam mengakses ruang, hak mereka secara umum, dan juga apa yang mereka harapkan dalam on-site survey ini. Kemudian sesi kedua diisi oleh Agus Soeriaatmadja selaku arsitek lanskap di PCU Studio serta staff pengajar Universitas Parahyangan dan Institut Teknologi Bandung (ITB) dan Rachmita Harahap yang membahas tentang hasil on-site survey dan topik “inklusivitas” menurut pandangan dari tiap speaker. Pada sesi yang terakhir, peserta diajak untuk mengikuti sebuah lokakarya, yaitu merancang ulang ketiga taman tersebut. Perancangan ulang taman ini didasari dari pengalaman/pengetahuan terkait taman yang inklusif.

Kegiatan Lokakarya

Lokakarya Redesign tiga taman di Bandung setelah survei (Foto oleh: Ephraim J.)

 

Pengalaman seorang disabilitas mengenai aksesibilitas

Diskusi pertama dimulai oleh Rachmita Harahap yang menceritakan pengalamannya menjadi bagian dari teman-teman disabilitas yang menggunakan fasilitas umum. Dari pengalaman para teman disabilitas, suatu bangunan yang bisa digunakan orang awam belum sepenuhnya “fungsional” bagi mereka. Pada nyatanya, diperlukan penilaian tambahan mengenai aksesibilitas sebuah bangunan bagi semua pengguna, termasuk “teman-teman” kita.

Nilai A menandakan sangat mudah diakses, untuk nilai B, bisa diakses namun kurang nyaman, dan semakin menuju ke D, semakin tidak bisa diakses sama sekali. Untuk menjawab masalah aksesibilitas ini, menurutnya, hal-hal seperti petunjuk bahasa isyarat untuk tuna rungu dan ramp untuk pengguna kursi roda masih perlu ditambahkan. Misalnya, di sekitar koridor suatu bangunan, ada beberapa kertas yang mengandung tulisan ataupun sarana penunjuk arah seperti gambar tangan atau “arrow” untuk menyarankan akses bagi yang tuna rungu ke suatu tempat tertentu. Kemudian, bagi pengguna kursi roda, ramp perlu ditempatkan pada ruang transisi antara lantai yang lebih rendah ke lebih tinggi. Ramp tersebut juga perlu diberikan ruang leluasa untuk berbalik arah jika diinginkan, tidak terlalu curam dan ditambahkan resting area setiap beberapa meter.

Teman disabilitas sedang dipandu oleh mahasiswa di Taman Maluku

Teman disabilitas sedang dipandu oleh mahasiswa di Taman Maluku (Foto oleh: Nicoctheus G,) 

Menanggapi inklusivitas bagi teman-teman disabilitas, beliau mengatakan bahwa pemerintahan Indonesia perlu menghormati masyarakat disabilitas, misalnya untuk tiga taman yang akan disurvei, dengan memeriksa ulang kelayakan taman melalui uji coba oleh teman-teman disabilitas, sehingga mereka pun dapat beraktivitas seperti lari pagi, ngobrol atau duduk santai di sekitar taman. 

Berdasar dari pengalaman Rachmita Harahap terkait ruang publik di Bandung, ia sendiri masih melihat ada beberapa masalah tentang aksesibilitas. Seperti pengalamannya saat di ITB pada tahun 2016, ia melihat belum ada tanda khusus berupa diagram penunjuk arah bagi orang tuna netra untuk bisa masuk ke kampus. “Beberapa trotoar ditutup, mau menanyakan jalan juga sulit dll” tutur Rachmita. Hal ini mendorong dirinya untuk menulis sebuah makalah yang berjudul “Implementation of Universal Design Application for Hearing Disabilities in Campus Environment”, yang menjelaskan tentang masalah penyediaan lingkungan belajar yang baik bagi orang tuna rungu dalam kampus ITB.

Wayfinding dalam bangunan pun terkadang membuatnya cemas. Dalam sebuah acara seminar yang diadakannya, signage pada beberapa pintu kamar mandi hilang, sehingga membuatnya harus bertanya. Karena masalah tersebut, orang lain harus mengerti dirinya melalui bahasa isyarat – suatu teknik komunikasi yang sulit dipahami orang awam. Walaupun, semasa dia berkuliah, materi sudah mulai dikhususkan untuk beliau dalam wujud layar. Agar ia dapat bertanya dengan dosen setempat, ia juga menggunakan sebuah aplikasi HP yang memungkinkan suara dosen tersebut bisa dirubah menjadi tulisan. Tak hanya itu, signage pada beberapa tempat sudah berupa wujud gambar, bukan hanya tulisan.

Rachmita Harahap juga memperjelas bahwa inklusivitas adalah gabungan antara disabilitas dan non-disabilitas. Setiap orang berhak berkehidupan bebas dan menikmati aktivitas-aktivitas di ruang publik seperti tidak membiarkan anak disabilitas keluar dari rumah dikarenakan dapat dicemooh, atau berbahaya bagi anak tersebut. Dengan begitu, ia berharap bahwa implementasi “inklusivitas” ini akan segera dilaksanakan bagi masyarakat agar sesuai dengan UU No. 8 Tahun 2016 yang membahas tentang  teman disabilitas bisa: i) berkehidupan maju dan berkembang secara adil dan bermartabat; ii) mempunyai kedudukan hukum dan memiliki hak asasi manusia yang sama sebagai Warga Negara Indonesia; dan iii)masih adanya pembatasan, hambatan, kesulitan, dan pengurangan atau penghilangan hak penyandang disabilitas dapat terselesaikan.

Diskusi pertama dimulai oleh Rachmita Harahap yang menceritakan pengalamannya menjadi bagian dari teman-teman disabilitas yang menggunakan fasilitas umum. Dari pengalaman para teman disabilitas, suatu bangunan yang bisa digunakan orang awam belum sepenuhnya “fungsional” bagi mereka. Pada nyatanya, diperlukan penilaian tambahan mengenai aksesibilitas sebuah bangunan bagi semua pengguna, termasuk “teman-teman” kita.

 

Hak kehidupan orang disabilitas

Sebagai pembicara kedua, Norman Yulian mengangkat topik tentang peran teman disabilitas dalam keluarga dan negara. Pertama, dalam lingkungan keluarga, mereka seharusnya tidak boleh senantiasa dibiarkan hanya beraktivitas di dalam rumah. “Banyak pemikiran negatif yang timbul ketika sebuah keluarga mengatakan bahwa jika keluar rumah, maka akan diperlakukan dengan tidak adil secara manusiawi”. Tutur beliau, “orang disabilitas sebenarnya bisa berprestasi di dunia kerja”. Sebagai contoh umum, para atlet disabilitas (tuna netra, penyandang cacat, tuna grahita, tuna daksa dan tuna rungu) yang mengikuti beberapa dari kompetisi olahraga Asian Paragames 2018, misalnya dalam bidang bola voli duduk; panahan; ten pin bowling; bola basket kursi roda; angkat besi;  judo dan bisa mengharumkan nama bangsa. 

Contoh lainnya adalah Habibie Hapsah, salah seorang penyandang disabilitas yang menjadi seorang desainer. Meskipun memiliki fisik yang terbatas, namun kemampuannya bisa melampaui keterbatasan. Memang, dari dulu ibunya sempat menjual rumah dan merelakan beliau untuk kuliah desain grafis dengan keterbatasan yang dimiliki. Namun ternyata, dia berhasil melampaui keterbatasan tersebut dan menjadikannya sebagai tulang punggung keluarga dengan menjadi online marketer dengan penghasilan 30 juta sebulan.

Berikutnya, Norman Yulian memperjelas kesamaan yang dianut oleh orang disabilitas dengan orang normal, yakni kedua-duanya sama-sama warga negara Indonesia. Dia mengatakan bahwa pemerintah seharusnya memberikan hak yang sama bagi orang disabilitas dalam perilaku seperti pengurusan KTP dan Pilkada. Pada nyatanya, orang disabilitas perlu diberikan asistensi atau peralatan khusus dalam membuat KTP. Misalnya, teman disabilitas yang tunanetra mengalami kesulitan saat harus melakukan rekam iris mata.  Selain itu, kelayakan sarana aksesibilitas dalam ruang publik perlu ditingkatkan dengan memenuhi standar format disabilitas. Misalnya, petunjuk-petunjuk sentuhan lain untuk kawan-kawan tuna netra. Jadi, menurut beliau, inklusivitas itu sangat penting.

Seorang mahasiswa sedang berlakon sebagai teman disabilitas tuna netra

Seorang mahasiswa sedang berlakon sebagai teman disabilitas tuna netra (Foto oleh: Ephraim J.)

“… seperti contohnya, persoalan Pilkada, kan sama, punya hak suara satu, yang umum juga satu. Sekarang gubernur kalau kalah satu suara aja, kalah nggak? Kalah kan? Ya, jadi sama seperti kita. Jadi suara kita pun menjadi sebuah kebutuhan gitu… Misalnya, saya atau mbak Rachmita tidak memilih, maka calon gubernur atau bupati walikota juga beda dua suara pun kan kalah, iya kan ya?” tutur Norman Yulian selakuKetua Dewan Pengurus Pusat Persatuan Penyandang Disabilitas Indonesia (DPP PPDI) Jawa Barat.

Pada nyatanya, beberapa pos pilkada masih belum menyediakan fasilitas dan template khusus bagi teman disabilitas. Jika pos tersebut berada di dataran yang lebih tinggi, tangga dapat disediakan, namun ramp jarang ditemukan. Kemudian, satu contoh yang lain adalah sedikitnya surat suara Braille bagi orang tuna netra. Anehnya, beberapa pos memperbolehkan petugas untuk memandu orang tuna netra tersebut dalam pemilihan pilkada tanpa penggunaan surat suara Braille. Hal ini tidak akan memberikan kebebasan bersuara dalam pilkada bagi teman disabilitas. 

 

Sudut pandang praktisi tentang “inklusi”

Sesi ketiga bersama Rachmita Harahap dan Agus Soeriaatmadja

Sesi ketiga bersama Rachmita Harahap dan Agus Soeriaatmadja (Foto oleh: Ephraim J.)

Dalam diskusi kedua, sesi ketiga dimulai oleh Agus Soeriaatmadja. Dia menjelaskan bahwa faktor kenyamanan sesama pengguna lebih sulit daripada aksesibilitas dalam sebuah ruang publik. Ini dikarenakan setiap pengguna mempunyai sifat kenyamanan yang berbeda-beda, tergantung dengan sifat aktivitas yang dilakukannya, misalnya seorang skateboarder membutuhkan dataran tinggi untuk melakukan berbagai stunt, dan sebaliknya, teman disabilitas hanya membutuhkan dataran tinggi untuk diduduki.

Dengan demikian, kenyamanan setiap pengguna perlu dipertahankan dengan melihat waktu beban sebuah proyek dan faktor lainnya seperti: rasio adukan; material yang digunakan; lighting, dan lain-lain. Misalnya, jika beban waktu proyek sudah dipikirkan sebelum membuat rasio adukan, hal-hal seperti jalanan taman tidak akan rusak dalam jangka waktu yang cepat, sehingga teman disabilitas tidak akan terganggu dengan aktivitas keseharian mereka. Teman disabilitas yang tuna rungu, tuna netra dan penyandang cacat tidak akan tersandung jika jalan yang dipijaknya rata dan tidak berlubang. Aktivitas yang dilakukan setiap karakter pengguna pun perlu dirasakan. Misalnya, apakah ruangan ini bisa dipakai untuk skateboarder, orang lansia, anak-anak, dan juga teman disabilitas.

Teman disabilitas sedang mencoba melewati jalanan yang sedikit rusak di Taman Balai Kota

Dua teman disabilitas memakai kursi roda sedang mencoba melewati jalanan yang sedikit rusak di Taman Balai Kota (Foto oleh: Edgard J.)

Menurut arsitek lanskap ini, Bandung masih jauh dalam implementasi maksimalnya terhadap desain yang universal, meskipun tetap berjalan dalam trek yang benar. Masalah ini biasanya merupakan kausalitas dari komunikasi antar stakeholder. Secara eksternal, proses desain memerlukan komunikasi yang lebih intens antar tiap pekerjaan. Misalnya, selain street furniture, di dalam sebuah kota juga ada lighting dan signage. Lighting memerlukan spesialis lampu agar sebuah suasana sekaligus kenyamanan cahaya terhadap mata dapat tercapai, begitupun, signage juga memerlukan spesialisnya tersendiri agar orang dapat membaca sebuah tulisan dari berbagai arah dengan jelas dan nyaman. Ini menandakan bahwa setiap sub-produk memerlukan informasi spesifik dalam pembuatannya.

Secara internal, biasanya komunikasi antara proses perencanaan, perancangan sampai kemudian pembangunan terputus-putus. Beliau mengatakan bahwa ada dua tipe orang bermasalah: yang bertugas di lapangan tetapi tidak melibatkan stakeholder lain dan memberikan solusi yang terlalu simplistik; dan ada yang dibalik meja. Pada umumnya, proses perancangan ke pembangunan tidak secepat itu, perlu adanya komunikasi dengan user. Contohnya, untuk ruang publik, si perancang perlu komunikasi dengan dinas sosial lalu ke dinas utama, dan sebaliknya sehingga tujuan pembangunan tetap dipertahankan. Dinas sosial adalah pihak yang mengurus operasionalitas suatu proyek, mulai dari penyediakan fasilitas sampai sosialitas sebuah proyek untuk klien-klien yang terlibat. Di sisi lain, dinas utama adalah pihak yang mengurus pengujian kualitas bangunan, mulai dari pengujian kualitas material hingga pengujian struktur sebuah bangunan. 

 

Penutup

Rachmita Harahap berharap dengan adanya acara ini bisa menjadi landasan bagi seluruh peserta sayembara untuk membuat sebuah lingkungan yang terpadu dalam ruang publik bagi “teman disabilitas” mereka. Jugapun, untuk menanggapi sarana dari pembicara-pembicara lain, ada beberapa kesimpulan yang perlu ditegaskan. Pertama, komunikasi antara berbagai stakeholder secara internal maupun eksternal dalam pembuatan sebuah proyek perlu diperhatikan. Kedua, kepentingan hak hidup teman disabilitas juga perlu direalisasikan lebih lagi. Contohya, dalam partisipasinya sebagai WNI yang juga berpengaruh pada perubahan bagi negaranya, mereka perlu diberikan asistensi khusus dalam proses pembuatan KTP dan pemilihan Pilkada. Sebagai penutup, untuk kedepannya, Rachmita Harahap berharap negara Indonesia bisa lebih sigap dan konsisten dalam mengimplementasikan peraturan dan Undang-Undang “Universal Design” dalam pembangunan ruang publik.



comments powered by Disqus
 

Login dahulu