Mengunjungi Masjidil Haram

Di rumah agamanya, ia merasa asing.

Author

Setelah lima jam duduk terpaku di dalam bus, tibalah saya di titik pemberhentian kendaraan. Sopir masih harus memarkirkan bus yang saya tumpangi. Sambil menunggu, saya menatap ayah. Abah, begitu saya biasa memanggilnya. Abah duduk di sebelah saya. Sayup-sayup saya mendengar lafadz talbiyah yang Abah ucapkan dengan merdu sembari menatap jendela. Matanya tampak lelah.

“Dulu waktu Abah pertama kali umroh, dari kejauhan di dalam bus kita sudah bisa melihat bentuk Masjidil Haram lho,” ucapnya tiba-tiba kepada saya. “Sekarang sudah sedekat ini saja susah...terhalang bangunan-bangunan baru.”

Masterplan proyek perluasan mesjid dan pembangunan gedung pencakar langit

Jika saja saya tidak mendongak ketika mengamati pemandangan luar jendela, saya mungkin tidak akan menyadari betapa dekatnya pemberhentian ini dengan pelataran Masjidil Haram. Masjid itulah yang menyebabkan kami berdua mengunjungi Kota Mekkah. Di dalamnya, Ka’bah—pusar kiblat umat Islam dari berbagai belahan bumi—berdiri.

“Abah ingat saat melihat Masjidil Haram dari kejauhan, seperti disambut langsung oleh tuan rumah. Bersama rombongan satu bus kami membaca talbiyah sampai bisa menitikkan air mata. Terharu. Lelahnya perjalanan jauh langsung terbayar.”  Dari nada suaranya, terdengar rindu yang mendalam pada apa yang ia rasakan di kunjungan pertamanya ke tempat ini, tujuh belas tahun yang lalu.

***

Ka'bah dengan Mecca Royal Clock Tower di belakangnya. Bangunan tertinggi ketiga di dunia setelah gedung pencakar langit Burj Khalifa dan Shanghai Tower. Ikon baru kota Mekkah. Foto diambil ketika saya tawaf di pinggir Ka'bah.

Tampak Ka'bah dari dalam. Saat ini hanya sebagian dari kapasitas Masjidil Haram yang dapat digunakan. Penambahan luas sebesar 400.000 m2 diharapkan akan membuat masjid ini bisa menampung 1,2 juta jama'ah dalam waktu bersamaan.

Ketika berjalan menuju penginapan, saya berusaha memanggil kembali ingatan lama saya. Ini memang bukan kali pertama saya datang ke kota ini. Delapan tahun lalu, saat saya baru lulus dari bangku SMA dan tengah menunggu ujian masuk perguruan tinggi, saya pernah melakukan perjalanan serupa.

Sayangnya, tidak banyak yang saya ingat. Entah karena saya yang memang tidak peka, atau terlalu pelupa. Alih-alih rekaman mengenai tempat ini, yang muncul malah bayangan akan saya yang tengah melakukan ritual umroh. Saya yang bertawaf mengelilingi Ka'bah, saya yang mencium Hajar Aswad, saya yang tengah berdoa minta dimudahkan saat ujian SPMB, serta rangkaian ibadah lainnya yang secara teliti saya jalankan sesuai buku panduan. Takut kalau-kalau umroh saya nantinya tidak diterima dan menjadi sia-sia amalannya. Padahal, bila kata umroh berarti sebuah kegiatan berkunjung atau berziarah ke suatu tempat, seharusnya usaha saya menghadirkan ingatan mengenai tempat sama mudahnya dengan mengingat kehadiran saya di tempat itu sendiri.

"…betapa arsitektur dalam arti yang sejati diilhami dari kedalaman jiwa manusia yang peka dimensi kosmologik.” - Y.B. Mangunwijaya dalam Wastu Citra. -

Tentu saya tidak dapat memahami kota ini seutuhnya hanya dengan empat hari bermalam. Terlebih kegiatan umroh saya lebih banyak berkisar di sekitar Masjidil Haram. Namun begitu, saya bisa dengan jelas melihat usaha yang luar biasa besar dari pemerintah Arab Saudi untuk membangun wilayah yang berada di tengah hamparan sahara ini. Kehadiran alat-alat berat serta konstruksi-konstruksi bangunan baru menjadi pemandangan yang setiap hari mengiringi jamaah. Sesekali terdengar dentuman dari peruntuhan gedung-gedung tua yang akan menjadi bagian dari proyek perluasan masjid. Proyek itu diperkirakan akan rampung di tahun 2016 nanti, bersama dengan beberapa bangunan pencakar langit yang mengelilingi Masjidil Haram. Bangunan tersebut akan dirancang sebagai hotel, apartemen, serta pusat-pusat perbelanjaan baru dan diyakini sebagai salah satu upaya pemerintah Arab Saudi dalam memberikan pelayanan terbaik bagi jama’ah yang mengunjungi Masjidil Haram. 

Di dekat area King Abdul Aziz Endowment Towers, salah satu proyek real estate terbesar di Mekkah yang sudah terbangun. Terdiri dari enam menara apartemen dan sebuah hotel bintang lima.

Mungkin saya datang di waktu yang kurang tepat dan terlalu berprasangka. Namun, terlepas dari baik atau tidaknya keputusan pembangunan besar-besaran yang tengah berlangsung, kunjungan kali ini sungguh meresahkan saya. Di “rumah” agama yang sudah orang tua saya perkenalkan semenjak saya lahir, saya justru merasa terasing. Mungkin itu pula yang dirasakan burung-burung merpati di kota ini. 

Dalam perjalanan saya di sekitar masjid.

Area bangunan tua di sisi belakang King Abdul Aziz Endowment Tower yang, menurut pemandu tur, akan segera dirobohkan.

Papan proyek di belakang Mecca Royal Clock Tower. Pengembangnya, Saudi Binladin Group merupakan salah satu grup developer terbesar di Arab Saudi.

Jama'ah umroh mengintip proyek yang sedang dibangun.

Pintu masuk belakang ke hotel tempat saya menginap.



comments powered by Disqus
 

Login dahulu