
Saat bertemu dengan Perdana Menteri Republik Demokratik Timor Leste (RDTL) Xanana Gusmão, 20 Maret 2013, Susilo Bambang Yudhoyono mengutarakan ide membangun Pusat Budaya Indonesia (PBI) di Timor Leste. Selain sebagai wadah kegiatan budaya, ia juga berharap pusat kebudayaan tersebut dapat menjadi sarana rekonsiliasi kedua negara.
Ide bersambut. Pemerintah RDTL sepakat menyediakan lahan seluas 2.500 meter persegi dengan hak guna selama lima puluh tahun. Aturan administrasi setempat melarang pihak asing memiliki lahan, sehingga Timor Leste mengenakanbiaya sewa 1 dollar AS per tahun.
Akhirnya, pada tanggal 7 Februari 2014, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI serta Kementerian Luar Negeri RI, bekerja sama dengan IAI Nasional, mengadakan sayembara desain gedung PBI. 10 Maret 2014, IAI mengumumkan hasil sayembara. Baskoro Tedjo bersama timnya, yaitu Akbar Hantar, Soeryo Dipo Alam, Hizam Fahmi, dan Riana Safitri terpilih sebagai pemenang pertama.
Merepresentasikan Indonesia
Lahan PBI berada di Jalan Bispo de Medeiros, bekas lahan markas Polres Dili ketika negara tersebut belum memisahkan diri dengan Indonesia. Lokasi itu strategis, tepat di seberang Dili Convention Center dan sangat dekat dengan bunderan pusat kota Dili.
Sebagai wadah kegiatan kebudayaan Indonesia, kerangka acuan sayembara ini mensyaratkan agar desain PBI dapat merefleksikan karakter budaya dan ciri khas Indonesia, baik ruang dalam maupun ruang luarnya. Desain tersebut juga harus mewadahi beragam fungsi,antara lain: ruang pembelajaran Bahasa Indonesia, ruang pertunjukan dalam dan luar ruangan, ruang pameran budaya, ruang untuk pusat dokumentasi dan resolusi konflik, dan ruang untuk rumah pintar (sentra pendidikan pemberdayaan masyarakat yang digagas Ani Yudhoyono).
Gestur Terbuka pada Ruang Kota
Baskoro Tedjo dan tim mengambil bentuk-bentuk formal dari beberapa hal yang mencerminkan Indonesia. Ia mengabstraksikan figur kapal untuk bentuk keseluruhan bangunan, yang menggambarkan Indonesia sebagai negara maritim. Ia membuat bentuk atap sebagai kiasan atap rumah tradisional, sementara untuk kulit bangunan ia mengadopsi pola visual batik Indonesia.
Gestur menarik dari desain Baskoro justru terletak pada responsnya terhadap ruang kota. Baskoro membagi bangunan menjadi dua bagian. Atap salah satu bagian dijadikan amphiteater terbuka untuk berbagai pertunjukan budaya. Atap di bagian lain menjadi area kuliner untuk masakan Indonesia, sebuah fungsi komersial di luar kerangka acuan yang ia tambahkan untuk menarik pengunjung.
Kedua pembagian tersebut dipisahkan oleh jalan pintas bagi pedestrian, antara Jalan Bispo de Mendeiros dan Jalan Caicoli. Baskoro membuat desain kawasan PBI tanpa pagar. Setiap pejalan kaki bisa merasakan berada di dalam PBI tanpa harus betul-betul masuk ke dalam gedung. Ia memanfaatkan lanskap bangunan untuk bisa menyublim dengan ruang publik, memungkinkan terciptanya transaksi-transaksi budaya yang lebih bebas. Selain itu, wajah utama bangunan dibuat menghadap persis ke bundaran pusat kota, sehingga bangunan tampak ramah dengan konteks kotanya.