
Peristiwa mendatangi pasar, toko, mal, dan pusat perbelanjaan memberi pengalaman lahir dan batin. Kehadiran raga tentu dibarengi kesanggupan untuk bernalar dan berimajinasi. Tatapan mata dan gerak tangan memungkinkan pemunculan sensasi dan pesan. Adegan melihat barang mengandung pengertian mutu, harga, bentuk, warna, dan merek. Adegan memegang cenderung mengantar ke urusan-urusan kesepakatan penjual-pembeli setelah mengajukan pelbagai pertimbangan. Tubuh di ruang belanja melakukan pendefinisian diri bertaut dengan pelbagai benda dan orang. Ruang belanja pun merangsang orang untuk merasa adaptif, represif, konfrontatif. Pelbagai hal berlangsung di ruang belanja.
Pengetahuan dan pengalaman di ruang belanja pernah menjadi materi pembelajaran di sekolah. Kita bisa membuka kembali halaman-halaman buku pelajaran dan buku bacaan terbitan masa Orde Lama sampai Orde Baru. Para penulis buku menghadirkan bacaan mengenai segala hal berkaitan belanja. Cerita-cerita digenapi dengan gambar-gambar. Kita bakal menemukan propaganda dan tata cara pemaknaan identitas, ruang belanja, pesona benda, harga, kepuasan, keindonesiaan, dan ekspresi kultural. Kehadiran materi mengenai ruang belanja tentu menjadi awalan pembentukan pengetahuan dan udar pengalaman bagi bocah atau remaja sesuai situasi zaman. Kita ingin melakukan lacakan acak untuk mengerti agenda imajinasi dan “rekonstruksi” masa lalu.
* * *
Imajinasi kita bisa bergerak mundur ke masa 1940-an dan 1950-an. Murid-murid di Indonesia mendapat buku bacaan berjudul Matahari Terbit susunan J. Lameijn dibantu Oesman, terbitan J.B. Wolters-Groningen, Jakarta, 1950, cetakan ketiga. Gambar-gambar di buku adalah persembahan dari Menno Meeteren Brouwer. Di halaman 103-109, ada bacaan berjudul Serikat Dagang (Koperasi). Cerita tentang kampung.
Adalah sebuah kampung jang djauh letaknja dari kota. Kampung itu ketjil, rumahnja hanja 30 buah dan penduduknjapun tiada kaja. Sawahnja ketjil-ketjil dan hanja dalam musim penghudjan sadja dapat ditanami, karena ta’ ada pengairannja. Tetapi sungguhpun demikian, orang kampung itu senang djuga hatinja. Betul mereka itu tidak menjimpan uang, tetapi hasil sawah dan kebunnja tjukup untuk dimakannja dan membeli pakaian serta keperluannja jang lain-lain.
Kita diajak mengimajinasikan kampung bersahaja. Deskripsi apik mengundang memori suasana kampung di masa silam. Deskripsi mengesankan “oposisi” dengan situasi kota. Kampung tak selalu mendapat definisi miskin. Kesanggupan bertani memberi “jaminan” menjalankan hidup secara beradab dan pantas. Kita pun mulai diajak masuk ke pengertian-pengertian tatanan hidup warga kampung berupa pembentukan serikat dagang atau koperasi.
Di kampung, agenda belanja memiliki pelbagai persoalan mengacu ke peran-peran ekonomi. Dulu, para pedagang keturunan Tionghoa biasa masuk kampung untuk menjajakan pelbagai dagangan.. Kita ajukan kutipan kecil: “Ada djuga seorang-orang Tionghoa jang berdjaja kekampung itu, tetapi tiada tentu datangnja. Kadang-kadang ketika ada jang perlu benar, ia tidak datang.” Warga kampung mesti memiliki siasat agar pengadaan kebutuhan hidup keseharian tidak tersendat atau tegantung pada pedagang Tionghoa. Mereka pun beranggapan bahwa “barang-barang orang Tionghoa itu amat mahal, karena ia tahu, bahwa ia seorang sadja jang berdjualan kesitu dan lagi ia mesti membawa barang itu dari djauh.”
Warga kampung memutuskan membuat serikat dagang, bermaksud melancarkan pemenuhan kebutuhan hidup. Mereka iuran dan menjalankan sistem koperasi. Pengelolaan dan keuntungan disepakati sejak awal bermisi kesejahteraan para anggota. Keputusan mewujud dengan pembangunan serikat dagang bernama Kedai Sepakat. Kita diperkenankan berimajinasi mengenai Kedai Sepakat melalui gambar. Lihat, Kedai Sepakat ada di pinggir jalan kampung! Kita bisa melihat tatanan dagangan meski tak utuh. Di jalan, ada pedagang pikulan, perempuan berjalan, dan dokar. Suasana kampung tampak indah dan bersih.
Cerita tentang koperasi muncul di buku berjudul Bahasa Indonesia: Bacaan Jilid 3 C terbitan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1980. Buku pelajaran untuk kelas 3 di sekolah dasar. Murid-murid tampil sebagai tokoh mengelola koperasi sekolah. Cerita mengajak anak menjadi orang berani berusaha dan bertanggung jawab. Cerita berjudul Koperasi Sekolah menampilkan tokoh bernama Ima, Ratna, Ridwan, Gunawan, dan Pak Guru.
Bermacam-macam barang dijual di koperasi sekolah itu. Makanan, minuman, dan alat tulis-menulis. Harganya murah. Yang melayani murid-murid sendiri. Mereka ditugaskan bergiliran. Kepala sekolah datang juga di koperasi dan menghampiri mereka. “Anak-anak, berbelanja di koperasi sekolah harus tertib. Koperasi ini milik kamu. Oleh karena itu peliharalah baik-baik! Semua akan mendapat giliran untuk melayani. Jagalah kebersihan! Bicaralah dengan sopan!
Kita bisa mengartikan pesan kepala sekolah bahwa ruangan koperasi harus bersih. Dagangan mesti ditata rapi. Kesadaran ruang untuk belanja membuat pengelola dan pembeli merasa senang. Cerita ini ajakan pada anak untuk mengerti urusan menjaga kebersihan dan kerapian ruangan. Mereka bisa membandingkan pengelolaan ruangan dengan toko-toko umum. Informasi dan imajinasi koperasi sekolah menjadi bekal bagi murid membuat tasfir saat hadir secara ragawi di toko-toko atau koperasi.
* * *
Kita beralih ke bacaan berbeda di buku berjudul Tjahaja karangan Johan van Hulzen, disadur oleh Mahju’ddin dan A. Muchtar, terbitan Noordhoff-Kolff N.V., Jakarta, 1951, cetakan ke-8. Gambar-gambar dibuat oleh Sajuti Karim. Kita mendapat pengertian rekreasi dalam pengalaman bocah benama Djus saat diajak bapak dan ibu pergi ke pekan. Djus berpakaian bagus, bepergian ke pekan bersama ibu dan bapak. Mereka tampak keluarga mapan, mengacu ke penampilan. Pergi ke pekan untuk melihat dan belanja. Deskripsi perjalanan ke pekan melalui mata Djus: “Ramai benar didjalan raja. Orang berdjalan beriring-iring dan ada jang dahulu-mendahului. Semuanja hendak kepekan membawa djualannja. Pedati dan bendipun tidak kurang…”
Pengalaman melihat dan masuk ke toko: “Wah, alangkah ramainja! Pelbagai barang didjual orang. Bagus-bagus kain jang didjual ditoko-toko.” Pengalaman Djus mengajak kita berimajinasi ada perbedaan situasi di pekan. Para pedagang buah dan makanan ada di pinggir djalan. Pedagang dan tatanan dagangan tak memerlukan lahan luas. Situasi berbeda ada di toko. Kita mengandaikan di toko ada tatanan rapi dagangan kain. Pembeli memiliki hak untuk melihat ruangan dan dagangan sambil membuat keputusan membeli. Toko sebagai ruang belanja tentu memiliki tata sajian berbeda dengan para pedagang di luar toko. Pengalaman di pekan masih tersimpan di diri Djus. Pulang ke rumah, Djus masih mengenang: “Terbajang-bajang dimatanja segala jang dilihatnja siang hari tadi. Kain jang bagus-bagus, seterup es, kedai nasi…” Pergi ke pekan adalah rekreasi bagi bocah. Ruang belanja adalah ruang pelesiran.
Pengalaman pergi ke pekan atau pasar juga hadir di buku berjudul Jitno dan Jatni karangan M. Sofian, terbitan Ganaco, Bandung-Jakarta-Amsterdam, 1957. Buku ini bacaan di sekolah rendah. Bacaan berjudul Mengikuti Ibu Kepasar dan Dipasar tampak memuat keterangan gamblang mengenai situasi di pasar. Jitno dan Jatni ikut ibu ke pasar, melihat keramaian. Deskripsi mengenai situasi dan ruang di pasar: “Bermatjam-matjam didjual orang dipasar itu. Disini tempat orang berdjual kain. Disana kedai tjawan pinggan. Sebelah sana lagi daging, ikan dan sajur-sajuran. Buah-buahan lain pula tempatnja. Tiap-tiap tempat ada tempatnja masing-masing.” Kita mendapat informasi pembagian tempat berdagang sesuai dagangan. Barangkali posisi para pedagang dan dagangan tampak rapi. Pasar tak selalu dimengerti berantakan atau amburadul. Di pasar, orang memiliki pilihan untuk mendatangi tempat pedagang.
Cerita tentang bocah ikut ibu pergi ke pasar juga dimuat di buku berjudul Bahasa Kita karangan Baidillah Halian, terbitan Remadja Karja, Bandung, 1970, cetakan ke-16. Buku bacaan bagi murid sekolah dasar kelas IV. Cerita berjudul Ikut Ibu Kepasar mengesankan ada kegembiraan bocah saat ada di pasar. Suasana pasar tampak dalam gambar. Kutipan kalimat-kalimat dalam cerita semakin menjelaskan tentang kenaifan bocah menikmati suasana pasar: “Ramai orang dipasar. Banjak sekali berdjual beli. Pasar Sukasari baru selesai dibangun. Tempat orang berdjualan sudah teratur. Dekat pintu masuk berderat orang berdjual buah-buahan. Tempat itu terbuka. Bermatjam-matjam buah-buahan didjual orang disana. Pepaja, pisang, tomat. Kalau musim durian, tentu banjak durian didjuak orang.” Bacaan dan gambar menjadi acuan informasi bagi pembaca-bocah untuk mengerti pasar.
Pembagian lokasi penjualan membuat pasar jadi rapi, bersih, dan tertib. Di lokasi lain, kita dapatkan keterangan penjual daging: “Ibu menundju kelos tempat orang mendjual daging. Los itu tertutup. Mendjaga supaja lalat djangan masuk. Banjak orang mendjual daging didalam los itu. Jang banjak didjual daging sapi. Daging kerbau dan daging kambingpun ada didjual orang.” Deskripsi-deskripsi itu menerangkan bahwa si bocah bernama Toto memiliki pengalaman penting: hadir di pasar dan melihat pembagian tempat untuk para pedagang. Bacaan ini memungkinan murid-murid memiliki informasi sebelum pergi ke pasar. Informasi bercampur imajinasi dan diejawantahkan dengan kehadiran di pasar.
Karwapi menerbitkan buku berjudul Mari Bersajak, terbitan Pelita Masa, Bandung, 1977. Buku berisi 18 puisi untuk murid sekolah dasar kelas IV, V, VI. Usia pembaca bisa menjelaskan kemampuan membaca puisi dan memberi tafsir. Di halaman 42-43, Karwapi suguhkan puisi berjudul Desa dan Kota. Di atas judul puisi, ada gambar kesibukan orang-orang di pasar.
Kota, desa, sama saja
Masing-masing bergantungan
Jika desa tidak ada
Kota akan kesulitan
Bayangkanlah kota besar
Penduduknya amat banyak
Orang desa tak ke pasar
Mengirim barang berarak
Pasti orang kelaparan
Meski pun uang di saku
Bertumpuk jenis bilangan
Pasar kosong hidup beku
Pasar adalah ruang belanja. Pasar menjadi ruang pertemuan orang-orang desa dan kota. Di pasar, pelbagai komoditas dihadirkan untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan hidup. Pedagang dan pembeli bertemu demi transaksi melalui kesepakatan. Pasar biasa ramai oleh gairah komunikasi antara pedagang dan pembeli. Gairah itu mengandung argumentasi dan pengharapan untuk mendapat barang atau mendapat keuntungan. Tatanan acak para pedagang di pasar membuat komunikasi dan interaksi tak bersekat. Keramaian tentu mencirikan pasar. Orang-orang datang dan pergi. Para Pedagang menata dagangan sambil berharap mendapat rezeki. Di pasar, ruang berkisah kesibukan dan memuat pesan-pesan mengenai identitas orang. Pasar sebagai ruang belanja semakin mengesahkan pertemuan orang desa dan orang kota.
* * *
Orangtua meminta anak untuk belanja ke toko atau kedai adalah kelaziman. Si bocah berangkat ke toko dengan harapan mendapat barang dan merasakan pengalaman “membeli”. Buku berjudul Bendera Berkibar karangan Djohar, terbitan Kementerian Pendidikan, Pengadjaran dan Kebudajaan Republik Indonesia, 1951 memuat cerita bocah belanja ke kedai atau toko. Garapan gambar oleh Sajuti Karim. Buku ini bacaan untuk murid-murid di “sekolah rakjat”. Cerita berjudul Kekedai menampilkan gambar apik. Lihat, si pemilik kedai tampak berjalan di belakang si bocah perempuan! Kita bisa melihat di dalam toko ada tatanan dagangan, ditaruh di lemari. Di bagian luar, kotak-kota berisi dagangan. Kedai sederhana di kampung memang biasa menjual kebutuhan harian: kopi, gula, sabun, beras, jajanan, bumbu masakan. Si bocah perempuan itu ke kedai untuk membeli kopi dan gula. Pengalaman bocah hadir di toko mengartikan ada keberanian membeli sesuai dengan perintah orangtua. Di toko, bocah melihat pelbagai dagangan tapi tak tergoda untuk membeli jajanan.
Ketakjuban di toko diceritakan dalam buku berjudul Bahasaku karangan B.M. Nur dan W.J.S. Purwadarminta, terbitan Tiara, Bandung, 1968, cetakan ke-22. Buku bacaan untuk murid sekolah dasar kelas V. Amir ingin sepeda baru. Keinginan Amir dituruti sang bapak. Berdua pergi ke Toko Madju untuk membeli sepeda. Deskripsi ketakjuban Amir di dalam toko: “Wah, bukan main banjaknja sepeda disitu! Bingung Amir memilihnja, sehingga harus ditolong oleh jang empunja toko. Achirnja terpilih djuga olehnja sebuah. Sepeda itu masih baru tampaknja, lengkap dengan tempat bagasi, pompa, dan lampu berkonja.” Amir girang dengan peristiwa kunjungan ke toko.
Girang juga dirasakan oleh Budi. Kita simak cerita berjudul Baju Baru 5 cm Kain, dimuat di buku berjudul Indonesia Membangun karangan Sunarya, terbitan Tiga Serangkai, Solo, 1976. Buku ditujukan ke murid-murid sekolah dasar kelas IV. Budi pergi ke toko sandang untuk membeli kain. Di gambar, kita lihat pedagang dan Budi sedang bertransaksi. Ruangan toko tampak rapi, berlatar kain digantung dan tatanan kain di atas lemari. Kita menduga Budi merasa senang di dalam toko. Adegan melihat dan memegang kain menjadi urusan mengesankan. Proses transaksi pun memberi pengalaman berbahasa-berkomukasi dan menuruti misi membeli melalui kesepakatan.
Pengimajinasian kota dan toko secara lugu disajikan di buku berjudul Bahasa Indonesia: Belajar Membaca dan Menulis terbitan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1978. Buku pelajaran untuk murid kelas I di sekolah dasar. Buku ini legendaris di Indonesia, referensi memori kolektif. Orang-orang sering mengingat Budi dan Wati sebagai tokoh dalam buku pelajaran. Di halaman 32-33, kita disuguhi cerita kecil berjudul Pergi Ke Kota. Kalimat-kalimat sederhana merangsang imajinasi bocah:
Hari ini sekolah libur
Budi dan bapak pergi ke kota
Mereka naik oplet
Jalannya sangat cepat
Sampai di kota masih pagi
Bapak dan Budi berbelanja di toko
Mereka membeli sepatu dan buku
Mereka pulang naik kereta api
Sampai di rumah masih siang
Cerita seolah diberikan ke bocah-bocah asal desa. Peristiwa pergi ke kota untuk belanja mengesankan tak ada toko di desa atau kampung. Perjalanan ke kota memerlukan alat tranportasi. Belanja sepatu dan buku tentu peristiwa penting bagi Budi. Cerita memang tidak rinci dan utuh. Kita cuma mengandaikan Budi kagum dan senang saat ada di dalam toko: memilih sepatu dan buku. Di toko, mata budi tentu ingin melihat pelbagai hal. Tangan pun tergoda untuk memegang barang-barang. Toko di kota adalah representasi kemodernan ketimbang suasana di desa. Kehadiran di toko tentu peristiwa tak terlupakan.
Pilihan membuka ulang halaman-halaman buku pelajaran dan bacaan pada masa silam memang mengesankan nostalgia. Cerita dan gambar tampil apik dan sederhana. Di halaman-halaman cerita dan gambar, kita bisa mengandaikan diri sebagai bocah dengan imajinasi kehadiran di ruang belanja. Imajinasi sebagai pembaca juga memberi rangsangan untuk mengerti perbedaan pebagai ruang belanja. Cerita dan gambar menjadi representasi perkembangan zaman dan pengisahan Indonesia, dari masa ke masa. Begitu.