Skeptis Toilet Publik di Ruang Publik

Pameran Toilet Publik di Ruang Publik merupakan inisiasi yang positif. Namun, apakah desain toilet-toilet yang dipamerkan relevan?

Author

Publik. Mungkin memang kata ini yang semakin hilang dari praktik arsitektur dan produk yang dihasilkannya. Minimnya proyek arsitektur yang menggarap ruang publik—yang benar-benar untuk kepentingan publik, bukan yang eksklusif—membuat kerenggangan antara praktik arsitektur dan kehidupan masyarakat semakin terasa. Karya arsitektur kemudian menjadi sesuatu yang berjarak, tak terkoneksi, dan oleh karenanya arsitektur kehilangan relevansi dengan keseharian masyarakat. Pameran-pameran dan diskusi-diskusi arsitektur lebih sering diminati dan diisi hanya oleh mereka yang memang berkecimpung di sekitar bidang ini. Arsitektur hanya menjadi milik mereka yang punya privilese.

Maka sangat menggembirakan ketika akhirnya ada proyek arsitektur yang ingin menggarap ruang publik untuk kepentingan publik. Salah satu proyek itu adalah inisiasi pengadaan toilet publik di Taman Monas, sebagai respons atas isu kurangnya jumlah toilet di taman tersebut. Untuk meluncurkan dan mengenalkan inisiasi tersebut kepada khalayak, karya-karya desain toilet ditampilkan dalam pameran Toilet Publik di Ruang Publik, 10 Februari-2 Maret lalu,di Kota Tua.

Terlepas dari kebaikan inisiasi ini dalam menyelesaikan kebutuhan kolektif di ruang publik, pertanyaan mengenai keterlepasan arsitektur terhadap konteks keseharian yang membuatnya jadi lebih relevan dengan sekitarnya kembali menggelitik saya. Tentu saya tak meragukan kebaikan desain dari konsep-konsep yang ditawarkan oleh sepuluh konsultan arsitektur ternama Indonesia yang berpartisipasi. Hanya saja ada beberapa pertanyaan yang timbul terkait dengan kegusaran saya tadi.

Pertama, ada kecenderungan penyelesaian desain yang dihadirkan melalui wujud fisik bangunan yang tetap. Dari keseluruhan penyajian karya yang dipamerkan, saya tidak menemukan cukup penjelasan kenapa penyelesaian yang dihadirkan harus berupa suatu bangunan yang tetap, yang “masif” dan ajek, dibanding misalnya suatu struktur yang lebih dinamis atau desain yang lebih portabel. Ini membawa saya pada pertanyaan, bagaimana nanti pengaruh kehadiran bangunan-bangunan permanen ini terhadap atmosfer Taman Monas secara keseluruhan?

Pengolahan bentuk fisik bangunan tampak menjadi konsentrasi utama pada masing-masing karya. Kajian mengenai kenyamanan bangunan terkait sirkulasi udara dan pemasukan cahaya yang menjadi salah satu aspek yang banyak berpengaruh, terutama pada bukaannya, dan patut diapresiasi.  Sayangnya, kehadiran bentuk tersebut tidak disertai dengan penjelasan yang cukup memadai tentang mengapa ia hadir sedemikian. Mengapa desain Aboday hadir dengan cerobong-cerobong skylight yang menonjol, misalnya, atau mengapa desain Han Awal & Partners muncul dengan pohon-pohon yang mencuat dari atapnya. Apa fungsinya; apa yang hendak diekspresikan; apa kaitannya dengan penggunaan toilet pada ruang publik.

Desain toilet publik untuk Taman Monas, karya Aboday.

Mungkin konsentrasi pada bentuk fisik membuat hampir karya-karya ini kehilangan apa yang lebih penting: sistem. Dalam skema yang lebih holistik, bagaimana kehadiran toilet-toilet ini akan berhubungan satu sama lain dan mempengaruhi Taman Monas secara keseluruhan tak terjawab. Sistem yang menegaskan bahwa konsep penyelesaian dari arsitek (apa pun bentuknya), ketika diimplementasikan pada tempat yang spesifik ini dan pada publik yang akan menggunakannya, adalah yang paling masuk akal untuk dilakukan.

Bagaimana bangunan-bangunan toilet ini berjaringan satu sama lain dalam konteks Taman Monas juga tidak terbaca. Dari 12 titik penyebaran bangunan-bangunan toilet ini di seluruh areal Taman Monas, saya sulit menemukan bagaimana keberadaan satu toilet dan yang lainnya saling terhubung, misalnya terkait jumlah bilik toilet yang disediakan satu bangunan terhadap cakupan area yang dilayani, yang kemudian berpengaruh terhadap jaraknya dari bangunan toilet lainnya. Selain itu, bayangan mengenai bagaimana pengaruh kehadiran beberapa massa masif sekaligus yang umumnya berukuran 14 m x 8 m ini terhadap suasana Taman Monas juga tidak tergambarkan. Ini yang lalu mengantar saya pada pertanyaan: apa memang fisik yang masif seperti ini yang perlu dihadirkan?

Ini menyangkut juga pada keterikatan bangunan-bangunan toilet tersebut terhadap konteksnya. Pemicu inisiasi proyek ini salah satunya berangkat dari tapak, yaitu Taman Monas. Taman Monas, saya yakin, adalah satu dari sedikit tempat publik di Jakarta yang masih memiliki atmosfer spesifik yang membedakannya dengan tempat publik lain. Namun, saya membayangkan jika rancangan-rancangan toilet itu saya pindahkan ke Kebun Raya Bogor atau ke tempat lain, bisa-bisa saja. Lain cerita jika toilet-toilet ini dirancang modular dan bukan site-specific. Tapi kelihatannya tidak seperti itu. Ada sesuatu yang “nanggung” dari karya-karya rancangan toilet-toilet tersebut. Rancangan-rancangan itu ingin menetap pasti pada tapaknya, tapi tak hendak mengikatkan diri. Ia seolah bisa saja diletakkan di tapak mana pun dan tidak ada makna dan fungsi yang terganggu. Relevansi kehadirannya secara fisik terhadap konteks yang spesifik ini jadi agak membingungkan. Atau jangan-jangan hal ini memang tidak penting. Jika demikian, mengapa?

Misalnya saja karya rancangan Andramatin yang menghadirkan ruang luar di dalam areal bangunan toilet, yang pemandangannya dapat dinikmati oleh pengguna toilet sambil mencuci tangan di wastafel. Sekeliling ruang luar ini lalu dibatasi dinding yang masif, yang memutus visual terhadap ruang Taman Monas secara keseluruhan. Padahal, bagaimana dapat menghadirkan ruang luar yang merespons vista Taman Monas tetapi pada saat bersamaan mampu menghadirkan privasi pengguna toilet semestinya bisa menjadi tantangan yang menarik bagi arsitek.

Desain toilet publik untuk Taman Monas, karya Andramatin.

Hal terakhir adalah absennya publik yang menjadi pengunjung Taman Monas dalam proses perancangan, yang justru nantinya akan menjadi pengguna toilet-toilet ini. Jika dalam proses merancang rumah tinggal arsitek bekerja sama dengan calon penghuni dan pada desain tempat komersial arsitek berdiskusi dengan klien, maka sayang sekali kalau untuk tiba pada keputusan desain toilet publik di ruang publik ini kesempatan untuk berkolaborasi dengan warga kota yang mengunjungi Monas tidak dilakukan.

Hal ini kemudian membuat konsep desain yang dihadirkan terperangkap pada romantisme toilet sebagai tempat merenung, berkontemplasi, atau duduk berlama-lama layaknya toilet di rumah tinggal. Padahal, perilaku pengguna toilet umum di tempat publik belum tentu berkarakter demikian. Melalui pendekatan partisipatif, pola perilaku pengunjung ketika menggunakan toilet dan harapan mereka mengenai toilet macam apa yang mereka bayangkan justru akan terbaca. Informasi ini tentu akan membantu menghasilkan rancangan yang lebih dari sekadar “toilet bagus”.

Ada keuntungan lain dari proses partisipatif semacam ini. Pada publik yang datang ke Taman Monas akan tumbuh rasa kepemilikan dan keterkaitan yang lebih kuat karena mereka terlibat dalam proses penghadiran toilet-toilet itu. Ini memungkinkan terciptanya sistem pemeliharaan yang berkelanjutan yang dilakukan sendiri oleh pengunjung. Mungkin kita bisa berharap jika nantinya proyek ini berjalan, tak ada cerita pengrusakan atau pengotoran toilet yang dilakukan oleh pengunjung tak bertanggung jawab. Karena bagaimana mengharapkan seseorang bertanggung jawab atas sesuatu yang ia tak merasa”memiliki”?

Jika proyek toilet di ruang publik ini hendak direalisasikan, ini adalah kesempatan yang bagus untuk melakukan eksperimen urban dengan memanfaatkan proses kolaborasi dengan warga kota yang menjadi pengunjung, sekaligus mengukur penerimaan publik terhadap gagasan ini. Proses partisipatif ini tentu akan memberi masukan yang kaya untuk kemudian diolah oleh sang arsitek menuju penyelesaian desain yang lebih relevan.

Terlepas dari rasa skeptis yang muncul, saya bersemangat dengan geliat yang hadir melalui gagasan-gagasan di pameran ini. Pameran ini menjadi pemantik yang membuka peluang untuk kita semua, arsitek maupun bukan, sebagai penghuni kota untuk turut aktif membentuk ruang-ruang publik dan tak hanya menunggu inisiatif dari birokrat yang hanya mereka dan Tuhan yang tahu entah kapan akan terjadi. Saya berharap proyek ini akan benar-benar terealisasi dengan baik, sehingga menjadi portfolio keberhasilan publik dalam merintis gerakan bersama untuk perbaikan kota dan ruang-ruang publiknya. 



comments powered by Disqus
 

Login dahulu