Tulang Bawang Barat, sebuah daerah yang asing di telinga masyarakat Pulau Jawa, apalagi terhadap masyarakat Indonesia secara menyeluruh. Hal ini dikarenakan Kabupaten Tulang Bawang Barat baru saja mengalami pemekaran pada tahun 2008, masih sangat muda dibandingkan wilayah lain seperti Kabupaten Tulang Bawang yang terbentuk pada tahun 1997.

Pada tahun 2014, Pak Umar Ahmad, selaku Bupati Kabupaten Tulang Bawang mengundang tim andramatin untuk membangun Tubaba. Andra Matin yang lalu mengajak Hanafi, seorang seniman yang sudah berkolaborasi dengan Andra Matin di salah satu projek sebelumnya. Hanafi yang akhirnya mengajak Auguste Soesatro, yang mendesain baju berdasarkan karya arsitektur kontemporer tim andramatin. Proses pembangunan Tubaba sendiri terdiri dari 9 proyek utama, dengan 2 proyek yang sudah selesai, dan 7 proyek yang masih dalam tahap pembangunan.

Tujuan utama ke-9 proyek utama dari Tubaba tidaklah sebatas program – program ruang yang memfasilitasi kegiatan masyarakat Tubaba, namun ialah sebuah makna yang lebih mendalam, memberikan sebuah identitas kepada sebuah kota melalui arsitektur dan desain. “Daerah Lampung merupakan daerah yang memiliki populasi transmigran terbanyak di Indonesia, sekitar 75% imigran di Indonesia berdiam di Lampung, dan hal yang seringkali terjadi adalah transmigran – transmigran yang dialokasikan ke desa – desa. Pak Umar menjelaskan bahwa beliau memiliki kecintaan terhadap material beton. “Beton itu jujur, beton itu sederhana, namun beton itu kuat dan tangguh, kokoh seperti masyarakat disini walaupun jumlahnya sedikit.” Jelas Mas Aang (Andra Matin) ketika menambahkan perihal identitas daerah Tubaba.

Keikutsertaan andramatin dalam pembangunan Tubaba ditandai dengan peresmian Masjid As-shobur dan Sessat agung di tahun 2016. Baitul Sobur atau Masjid 99 Cahaya adalah salah satu proyek yang pertama kali dimulai dan sekarang sudah selesai dibangun. Baitul Sobur berbeda dengan tipologi Masjid pada umumnya yang berkubah. Andra Matin ingin membuktikan bahwa bahwa orang-orang Islam itu adalah orang-orang kreatif, orang-orang yang punya kemerdekaan berimajinasi, tanpa harus melanggar asas agama Islam. “Masjid Nabawi juga tidak berkubah.  Masjidil Harram juga tidak punya kubah.  Tapi arsitektur di Soviet malah memiliki kubah. Dalam Alquran tidak ada ketentuan tentang fisik sebuah masjid.” Lanjut Mas Aang. Beliau sendiri menjelaskan bahwa desain Baitul Sobur ini merupakan sebuah terobosan, sebuah konsep yang menurut Pak Bupati dapat dipandang sebagai sesuatu yang revolusioner baik kepada perangkat pemerintahan, maupun kita sebagai masyarakat.

Sessat Agung merupakan proyek kedua yang diselesaikan oleh tim andramatin. Sessat Agung dalam Bahasa Lampung dapat diartikan sebagai balai adat. Sempat dijelaskan bahwa ada arti desain tersendiri di balik bangunan Sessat Agung, yang tentunya berbeda dengan desain Baitul Sobur. Andra Matin mengatakan bahwa Masjid  merupakan  suatu simbol yang menunjukkan adanya relasi antara manusia dan Tuhan. Oleh karena itu, desain dari bangunannya dibuat meninggi ketimbang melebar. Berbeda dengan Sessat Agung yang desainnya mewakili relasi antar sesama manusia dalam beradat istiadat. Oleh sebabnya, desain dibuat dalam bentuk horizontal yang menggambarkan kesetaraan antar manusia, tidak ada yang derajatnya lebih tinggi, ataupun lebih rendah. Pada bagian atap, Sessat Agung ini memiliki repetisi planar yang disusun menjadi 9 segitiga. Desain kanopi sudah diatur sedemikian rupa agar menyerupai siger, sebuah mahkota pengantin wanita Lampung yang berbentuk segitiga, berwarna emas dan bentuknya memiliki cabang – cabang berjumlah sembilan. Kononnya, bila warga hendak mengadakan acara adat Lampung seperti pernikahan. Rakyat akan menggunakan Siger Emas dari alam gaib melalui salah satu kebun warga. Kebun warga yang dipercaya keberadaannya gaib itu, merupakan perkampungan masyarakat Lampung dari masa lalu. Karena suatu hal yang tidak dijelaskan, perkampungan ini hilang beserta seluruh penghuninya. Masyarakat bisa berhubungan dengan warga kampung yang hilang itu dengan cara meminjam Siger, yang dipergunakan dalam kegiatan adat tersebut. Siger gaib itu keberadaannya sekarang sudah tidak ada, kisahnya sekarang hanya tinggal cerita dongeng belaka. Peranan tim andramatin dalam mengangkat cerita ini dan mengadopsinya dalam sebuah desain. Kebanyakan arsitektur dibuat hanya mementingkan sisi fungsionalnya, beberapa hanya ada yang mementingkan segi estetika. Ketika tim andramatin membangun Sessat Agung ini, dengan cerita di baliknya, bangunan ini tidak hanya menjadi bangunan yang fungsional, tidak lagi sebuah bangunan yang memiliki estetika apik. Bangunan ini menjadi sebuah identitas dari warga Lampung. Kisah cerita mereka tidak lagi sebatas dongeng, melainkan cerita yang diabadikan dalam sebuah objek arsitektur, yang implikasinya erat dengan warga sekitar.

Beberapa proyek lainnya masih dalam tahapan pembangunan, diantaranya adalah Q-Forest, gelanggang olahraga, dan sebuah pasar. Q-Forest ialah sebuah hutan lindung yang terletak dibelakang bangunan lainnya. Salah satu sisi dari Q-Forest dimiringkan sehingga tidak menyentuh tanah, dan ditopang dengan sebuah kolom menyerupai silinder, sehingga sistem strukturnya sekilas terlihat seperti sistem struktur kantilever. Tidak hanya struktur dan estetika yang menakjubkan, Q-Forest ini tidak hanya sebuah monumen yang ditujukan untuk mengenang hutan – hutan di Lampung. Pak Umar menyatakan bahwa Q-Forest, selain untuk mengenang, dipersenkan sebagai sebuah sindiran bahwa makin lama hutan – hutan semakin hilang.

Pasar dan gelanggang olahraga serta tentunya beberapa proyek lainnya tentu juga diharapkan untuk menarik perhatian pengunjung. Andra Matin juga menyatakan bahwa tujuan dibuatnya pasar, gelanggang olahraga, dsb, adalah sarana untuk berkumpul rakyat. “Berkumpul nggak harus ke mal kok, tidak harus di toko, di shopping centre.”. Cukup menarik bagaimana tim andramatin hendak mematahkan tren modern, dengan cara memodernisasi tren tradisional. Desain dari pasar serta gelanggang juga cukup menarik sehingga membuat warga cukup nyaman untuk bepergian dan melakukan aktivitas bersama.

Sebagai kesimpulan,“Membangun Tubaba”, bukanlah sebuah mengenai kota, bukan sebatas kumpulan objek arsitektur, melainkan sebuah daerah yang mencerminkan identitas dari warga yang menetap di sana. Sebuah proyek yang patutnya dicontoh sebagai referensi pembangunan Negara Indonesia kedepannya.